
Inflasi Inti Melesat di Juli, Pertanda Baik atau Buruk?
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
01 August 2018 12:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik melaporkan inflasi bulan Juli 2018 mencapai 0,28% secara bulanan (month-to-month/MtM), atau sebesar 3,18% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Inflasi tahunan tercatat masih di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi tahunan sebesar 3,20%. Selain itu, inflasi tahunan bulan lalu juga tercatat lebih besar dari capaian bulan Juni 2018 yang sebesar 3,12%.
Sementara itu, inflasi inti meningkat 0,41% MtM, dan mampu menyumbang andil inflasi paling besar di antara komponen lainnya (makanan bergejolak, harga diatur pemerintah, dan energi), yakni mencapai 0,06%.
Inflasi inti bulanan pada bulan Juli 2018 bahkan lebih tinggi dibandingkan capaian bulan Juni 2018 yang sebesar 0,24% MtM. Padahal bulan Juni 2018 merupakan puncak konsumsi masyarakat, seiring datangnya periode Ramadhan-Idul Fitri.
Secara tahunan, inflasi inti juga melesat mencapai 2,87%, menjadi yang tertinggi di tahun ini. Hal ini lantas bisa menjadi sentimen positif karena ada indikasi pemulihan daya beli.
Sebelumnya, perbaikan konsumsi dan daya beli tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang terus membaik. Bank Indonesia (BI) mencatat Indeks Keyakinan Konsumen pada Juni 2018 sebesar 128,1. Naik 2,4% secara MtM dan 4,66% YoY.
Tidak hanya itu, penjualan ritel pun meningkat. Penjualan ritel Indonesia tercatat naik 8,3% secara YoY pada Mei 2018. Lebih baik ketimbang pencapaian bulan sebelumnya yaitu 4,1% YoY.
Perkembangan ini kian memberi konfirmasi bahwa tekanan daya beli jauh berkurang, bahkan mungkin sudah pulih. Tahun lalu, konsumsi memang tertekan lumayan signifikan karena kenaikan tarif listrik yang bisa mencapai dua kali lipat bagi pelanggan 900 VA.
Namun, naiknya inflasi inti belum tentu terjadi karena adanya pemulihan daya beli masyarakat. Dari sudut pandang lain, kenaikan inflasi inti di bulan Juli 2018 juga bisa disebabkan karena nilai tukar rupiah yang bergejolak.
Sebagai informasi, di sepanjang bulan Juli 2018, mata uang garuda sudah terdepresiasi sebesar 0,63%, hingga menyentuh Rp14.415/US$. Pada bulan Juni 2018, rupiah bahkan anjlok hingga 3,13%. Seperti diketahui, lemahnya nilai tukar rupiah akan mengerek harga-harga barang baku dan barang modal yang masih banyak diimpor oleh Indonesia.
Hal ini tercermin dari indeks harga impor yang terus menanjak pesat di tahun ini. Pada bulan Mei 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 0,78% secara MtM, atau 8,48% secara YoY.
(RHG/dru) Next Article Kali Pertama Sejak 40 Bulan, Inflasi Malaysia di Bawah 1%
Inflasi tahunan tercatat masih di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi tahunan sebesar 3,20%. Selain itu, inflasi tahunan bulan lalu juga tercatat lebih besar dari capaian bulan Juni 2018 yang sebesar 3,12%.
Sementara itu, inflasi inti meningkat 0,41% MtM, dan mampu menyumbang andil inflasi paling besar di antara komponen lainnya (makanan bergejolak, harga diatur pemerintah, dan energi), yakni mencapai 0,06%.
Secara tahunan, inflasi inti juga melesat mencapai 2,87%, menjadi yang tertinggi di tahun ini. Hal ini lantas bisa menjadi sentimen positif karena ada indikasi pemulihan daya beli.
Sebelumnya, perbaikan konsumsi dan daya beli tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang terus membaik. Bank Indonesia (BI) mencatat Indeks Keyakinan Konsumen pada Juni 2018 sebesar 128,1. Naik 2,4% secara MtM dan 4,66% YoY.
Tidak hanya itu, penjualan ritel pun meningkat. Penjualan ritel Indonesia tercatat naik 8,3% secara YoY pada Mei 2018. Lebih baik ketimbang pencapaian bulan sebelumnya yaitu 4,1% YoY.
Perkembangan ini kian memberi konfirmasi bahwa tekanan daya beli jauh berkurang, bahkan mungkin sudah pulih. Tahun lalu, konsumsi memang tertekan lumayan signifikan karena kenaikan tarif listrik yang bisa mencapai dua kali lipat bagi pelanggan 900 VA.
Namun, naiknya inflasi inti belum tentu terjadi karena adanya pemulihan daya beli masyarakat. Dari sudut pandang lain, kenaikan inflasi inti di bulan Juli 2018 juga bisa disebabkan karena nilai tukar rupiah yang bergejolak.
Sebagai informasi, di sepanjang bulan Juli 2018, mata uang garuda sudah terdepresiasi sebesar 0,63%, hingga menyentuh Rp14.415/US$. Pada bulan Juni 2018, rupiah bahkan anjlok hingga 3,13%. Seperti diketahui, lemahnya nilai tukar rupiah akan mengerek harga-harga barang baku dan barang modal yang masih banyak diimpor oleh Indonesia.
Hal ini tercermin dari indeks harga impor yang terus menanjak pesat di tahun ini. Pada bulan Mei 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 0,78% secara MtM, atau 8,48% secara YoY.
Alhasil, biaya produksi perusahaan pun akan membengkak. Pada akhirnya, kenaikan harga di sisi produsen akan ditransmisikan menjadi peningkatan harga jual di konsumen. Pada akhirnya, hal inilah yang mengerek inflasi inti di bulan lalu, bukan perbaikan konsumsi masyarakat.
(RHG/dru) Next Article Kali Pertama Sejak 40 Bulan, Inflasi Malaysia di Bawah 1%
Most Popular