
Waspadai Risiko Berlanjutnya Keperkasaan Dolar
Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
25 July 2018 08:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Keperkasaaan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah terus berlanjut. Pada perdagangan kemarin (24/7/2018), rupiah ditutup melemah 0,16% di level Rp 14.496 dan sempat menyentuh Rp 14.555.
Para analis memperkirakan keperkasaan dolar AS dan gejolak ekonomi global masih akan terus berlanjut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pun berpendapat yang sama.
Menko Darmin melihat dolar AS masih akan perkasa setidaknya karena ada rencana bank sentral AS, Federal Reserve, untuk menaikkan suku bunga acuan hingga dua kali sampai tutup tahun ini. Itu beriringan pula dengan perang dagang antara AS dengan China dan berbagai negara lain yang terus berlangsung.
Gejolak ekonomi global bahkan tak mudah diprediksi oleh Bank Dunia. Darmin mencontohkan, sebulan lalu Bank Dunia memprediksi ekonomi dunia akan melambat 0,7%. Namun minggu lalu, diubah menjadi 0,5%.
"Artinya, ini sebener hitung-hitungan yang masih ada spekulasinya. Tetapi semua pihak sepakat ekonomi dunia akan melambat," ujar Darmin di Gedung Pusdiklat Kementerian Luar Negeri, Selasa (24/7/2018).
Dengan kebijakan moneter di AS saat ini, dia mengaku terjadi capital outflows atau aliran modal keluar yang membuat dana segar dari negara berkembang (emerging market) banyak kembali ke Negeri Paman Sam. Negara-negara seperti Indonesia, India, dan Malaysia ditinggal investor karena imbal hasil investasi yang lebih menarik di AS.
"Itu bukan modal yang ditanam untuk investasi yang menghasilkan elektronik, sepatu, atau sejenisnya. Tapi modal yang ditaruh di pasar modal, istilahnya portfolio investment, bukan di sektor riil," jelas Darmin.
"Kalau dia tarik bagaimana mekanismenya terjadi? Dia akan jual. Kalau tadinya membeli saham atau membeli obligasi pemerintah di indonesia, [sekarang] dia menjual," tambah Darmin.
Keperkasaan dolar AS ia yakini masih akan terus berlanjut karena kondisi-kondisi itu.
Hal senada juga disampaikan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara.
Dia memprediksi dengan kebijakan moneter dan fiskal yang dijalankan pemerintah saat ini, rupiah masih bisa bergerak ke level Rp 14.700 per dolar AS. Bahkan, bila pencegahan dari pemerintah tidak maksimal, pelemahan mata uang RI bisa saja menembus Rp 15.000 per dolar AS.
"Prediksinya bergerak di Rp 14.700, dengan catatan Bank Indonesia (BI) konsisten melakukan intervensi cadangan devisa dan menaikkan bunga acuan 25 basis poin (bps) lagi pada saat Fed rate naik," kata Bhima kepada CNBC Indonesia.
"Selain itu, langkah pemerintah penting untuk melakukan stimulus fiskal dan lakukan kebijakan prostabilisasi rupiah termasuk pengendalian impor. Tanpa respons cepat dari sisi fiskal dan moneter, batas psikologis Rp 15.000 bisa jebol," imbuhnya.
Dari dalam negeri, Indonesia pun harus menghadapi tahun politik yang secara alamiah berdampak pada perlambatan investasi masuk karena pasar menjadi kurang atraktif. Khususnya, investasi yang bersifat portofolio.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengungkapkan pandangan serupa.
Menurut dia, sulit untuk menghindar dari bagaimana isu moneter dan fiskal dari AS. Hal itu dia sebut sebagai penyebab utama pelemahan rupiah serta berbagai negara-negara berkembang.
"Ini susah sih, karena pengaruh kondisi eksternal, pengaruh Yuan China. Yuan itu kecenderungan melemah, dan ini diikuti mata uang emerging market," ujar David.
Melihat pasar, David menilai ekspektasi pelemahan atas yuan masih akan terus terjadi. Hal itu terlihat dari bagaimana saat ini yuan di pasar onshore dan offshore memiliki jarak yang masih melebar.
Untuk pengendalian dari dalam negeri, David menilai Bank Indonesia memiliki amunisi baru yang bisa diharapkan memberi efek cepat, seperti reaktivasi lelang SBI dalam rangka menarik dana masuk.
"Tapi dari pemerintah saya belum lihat, baru kemarin ada rencana-renacana saja membatasi impor. Namun itu jangka panjang, seperti rencana menerbitkan SBN valas," ungkap David.
(prm) Next Article Rupiah Tembus Level Terkuatnya Sejak Juni 2018
Para analis memperkirakan keperkasaan dolar AS dan gejolak ekonomi global masih akan terus berlanjut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pun berpendapat yang sama.
Menko Darmin melihat dolar AS masih akan perkasa setidaknya karena ada rencana bank sentral AS, Federal Reserve, untuk menaikkan suku bunga acuan hingga dua kali sampai tutup tahun ini. Itu beriringan pula dengan perang dagang antara AS dengan China dan berbagai negara lain yang terus berlangsung.
"Artinya, ini sebener hitung-hitungan yang masih ada spekulasinya. Tetapi semua pihak sepakat ekonomi dunia akan melambat," ujar Darmin di Gedung Pusdiklat Kementerian Luar Negeri, Selasa (24/7/2018).
Dengan kebijakan moneter di AS saat ini, dia mengaku terjadi capital outflows atau aliran modal keluar yang membuat dana segar dari negara berkembang (emerging market) banyak kembali ke Negeri Paman Sam. Negara-negara seperti Indonesia, India, dan Malaysia ditinggal investor karena imbal hasil investasi yang lebih menarik di AS.
"Itu bukan modal yang ditanam untuk investasi yang menghasilkan elektronik, sepatu, atau sejenisnya. Tapi modal yang ditaruh di pasar modal, istilahnya portfolio investment, bukan di sektor riil," jelas Darmin.
"Kalau dia tarik bagaimana mekanismenya terjadi? Dia akan jual. Kalau tadinya membeli saham atau membeli obligasi pemerintah di indonesia, [sekarang] dia menjual," tambah Darmin.
Keperkasaan dolar AS ia yakini masih akan terus berlanjut karena kondisi-kondisi itu.
Hal senada juga disampaikan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara.
Dia memprediksi dengan kebijakan moneter dan fiskal yang dijalankan pemerintah saat ini, rupiah masih bisa bergerak ke level Rp 14.700 per dolar AS. Bahkan, bila pencegahan dari pemerintah tidak maksimal, pelemahan mata uang RI bisa saja menembus Rp 15.000 per dolar AS.
"Prediksinya bergerak di Rp 14.700, dengan catatan Bank Indonesia (BI) konsisten melakukan intervensi cadangan devisa dan menaikkan bunga acuan 25 basis poin (bps) lagi pada saat Fed rate naik," kata Bhima kepada CNBC Indonesia.
"Selain itu, langkah pemerintah penting untuk melakukan stimulus fiskal dan lakukan kebijakan prostabilisasi rupiah termasuk pengendalian impor. Tanpa respons cepat dari sisi fiskal dan moneter, batas psikologis Rp 15.000 bisa jebol," imbuhnya.
Dari dalam negeri, Indonesia pun harus menghadapi tahun politik yang secara alamiah berdampak pada perlambatan investasi masuk karena pasar menjadi kurang atraktif. Khususnya, investasi yang bersifat portofolio.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengungkapkan pandangan serupa.
Menurut dia, sulit untuk menghindar dari bagaimana isu moneter dan fiskal dari AS. Hal itu dia sebut sebagai penyebab utama pelemahan rupiah serta berbagai negara-negara berkembang.
"Ini susah sih, karena pengaruh kondisi eksternal, pengaruh Yuan China. Yuan itu kecenderungan melemah, dan ini diikuti mata uang emerging market," ujar David.
Melihat pasar, David menilai ekspektasi pelemahan atas yuan masih akan terus terjadi. Hal itu terlihat dari bagaimana saat ini yuan di pasar onshore dan offshore memiliki jarak yang masih melebar.
Untuk pengendalian dari dalam negeri, David menilai Bank Indonesia memiliki amunisi baru yang bisa diharapkan memberi efek cepat, seperti reaktivasi lelang SBI dalam rangka menarik dana masuk.
"Tapi dari pemerintah saya belum lihat, baru kemarin ada rencana-renacana saja membatasi impor. Namun itu jangka panjang, seperti rencana menerbitkan SBN valas," ungkap David.
(prm) Next Article Rupiah Tembus Level Terkuatnya Sejak Juni 2018
Most Popular