
Akankah SBI Bersaing dengan Obligasi Pemerintah?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 July 2018 15:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah 'mati suri' lebih dari setahun, Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bangkit lagi. Hari ini, BI melelang SBI tenor 9 dan 12 bulan setelah kali terakhir melaksanakan lelang pada pertengahan Desember 2016.
Pada Selasa (23/7/2018), total penawaran yang masuk dalam lelang tersebut adalah Rp 14,24 triliun. Masing-masing Rp 7,885 triliun untuk SBI 9 bulan dan Rp 6,355 triliun untuk yang tenor 12 bulan.
Dari jumlah tersebut, BI memenangkan Rp 5,975 triliun. Masing-masing Rp 4,18 triliun untuk tenor 9 bulan dan Rp 1,795 triliun untuk yang 12 bulan.
Suku bunga yang dimenangkan oleh BI adalah 6,0458% untuk SBI 9 bulan da 6,1734% untuk 12 bulan. Agak jauh di bawah rata-rata penawaran yaitu 6,38198% untuk 9 bulan dan 6,71515% untuk 12 bulan.
Dana ini sedikit banyak membantu rupiah bertahan di zona positif. Pada pukul 15:00 WIB, US$ 1 berada di Rp 14.470. Rupiah masih menguat meski tipis di 0,03%.
BI mengumumkan reaktifikasi instrumen ini dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Juli 2018, pekan lalu. Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI, mengatakan tujuan SBI dihidupkan kembali adalah untuk menarik arus modal, terutama dari luar negeri.
"Terjadi capital reversal di emerging market yang membuat kurs negara-negara berkembang melemah, termasuk indonesia. Maka dari itu, penting untuk mengundang portfolio investor. Menjadi penting pasar keuangan tetap dibuat atraktif. Dalam rangka itu kemudian BI sekarang sedang melihat kembali reaktifasi SBI, terkait bagaimana attract aliran modal dari luar," ungkap Mirza Adityaswara.
Mengundang investasi asing di portofolio alias hot money, itulah tujuannya. Dengan aliran modal dari uang panas ini diharapkan rupiah menguat karena masuknya devisa ke perekonomian nasional. Melihat rupiah yang masih menguat bisa jadi ditopang oleh dana masuk dalam lelang SBI.
Akan tetapi, ada kekhawatiran kehadiran SBI akan menyebabkan perebutan dana dengan obligasi pemerintah alias Surat Berharga Negara (SBN). Apalagi besok akan ada lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Untuk lelang esok hari, pemerintah memasang target indikatif Rp 6 triliun. Naik dibandingkan target indikatif dalam lelang SBSN sebelumnya pada 10 Juli yaitu Rp 4 triliun.
Artinya, pemerintah cukup percaya diri sehingga menaikkan target ini. Sebab dalam lelang 10 Juli pemerintah berhasil meraup Rp 8 triliun, dua kali lipat dari target indikatif.
Namun dengan lelang SBI hari ini, ada kemungkinan sebagian dana investor sudah terlanjur masuk ke instrumen bank sentral. Oleh karena itu, bisa jadi lelang SBSN besok akan kurang semarak karena sebagian uang investor sudah terpakai untuk membeli SBI.
Untuk menstabilkan rupiah, memang dibutuhkan instrumen sebanyak mungkin di pasar keuangan sehingga arus modal asing punya 'wadah'. Namun obligasi negara pada dasarnya bukan hanya instrumen investasi, melainkan pembiayaan pembangunan. Obligasi digunakan pemerintah untuk menambal defisit yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur, subsidi, bantuan sosial, gaji pegawai, dan sebagainya. Saat likuiditas mengetat, kedua instrumen ini akan berebut dana dan terjadi crowding out.
Saat ini prioritas utama BI (dan pemerintah) adalah stabilitas rupiah. Untuk itu, SBN pun harus memberi tempat kepada SBI.
Stabilisasi rupiah kembali berpotensi memakan korban baru. Korban itu adalah pembiayaan pembangunan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru) Next Article Tarik 'Hot Money' Asing, BI Kaji Aktifkan Kembali SBI
Pada Selasa (23/7/2018), total penawaran yang masuk dalam lelang tersebut adalah Rp 14,24 triliun. Masing-masing Rp 7,885 triliun untuk SBI 9 bulan dan Rp 6,355 triliun untuk yang tenor 12 bulan.
Dari jumlah tersebut, BI memenangkan Rp 5,975 triliun. Masing-masing Rp 4,18 triliun untuk tenor 9 bulan dan Rp 1,795 triliun untuk yang 12 bulan.
Dana ini sedikit banyak membantu rupiah bertahan di zona positif. Pada pukul 15:00 WIB, US$ 1 berada di Rp 14.470. Rupiah masih menguat meski tipis di 0,03%.
BI mengumumkan reaktifikasi instrumen ini dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Juli 2018, pekan lalu. Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI, mengatakan tujuan SBI dihidupkan kembali adalah untuk menarik arus modal, terutama dari luar negeri.
"Terjadi capital reversal di emerging market yang membuat kurs negara-negara berkembang melemah, termasuk indonesia. Maka dari itu, penting untuk mengundang portfolio investor. Menjadi penting pasar keuangan tetap dibuat atraktif. Dalam rangka itu kemudian BI sekarang sedang melihat kembali reaktifasi SBI, terkait bagaimana attract aliran modal dari luar," ungkap Mirza Adityaswara.
Mengundang investasi asing di portofolio alias hot money, itulah tujuannya. Dengan aliran modal dari uang panas ini diharapkan rupiah menguat karena masuknya devisa ke perekonomian nasional. Melihat rupiah yang masih menguat bisa jadi ditopang oleh dana masuk dalam lelang SBI.
Akan tetapi, ada kekhawatiran kehadiran SBI akan menyebabkan perebutan dana dengan obligasi pemerintah alias Surat Berharga Negara (SBN). Apalagi besok akan ada lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Untuk lelang esok hari, pemerintah memasang target indikatif Rp 6 triliun. Naik dibandingkan target indikatif dalam lelang SBSN sebelumnya pada 10 Juli yaitu Rp 4 triliun.
Artinya, pemerintah cukup percaya diri sehingga menaikkan target ini. Sebab dalam lelang 10 Juli pemerintah berhasil meraup Rp 8 triliun, dua kali lipat dari target indikatif.
Namun dengan lelang SBI hari ini, ada kemungkinan sebagian dana investor sudah terlanjur masuk ke instrumen bank sentral. Oleh karena itu, bisa jadi lelang SBSN besok akan kurang semarak karena sebagian uang investor sudah terpakai untuk membeli SBI.
Untuk menstabilkan rupiah, memang dibutuhkan instrumen sebanyak mungkin di pasar keuangan sehingga arus modal asing punya 'wadah'. Namun obligasi negara pada dasarnya bukan hanya instrumen investasi, melainkan pembiayaan pembangunan. Obligasi digunakan pemerintah untuk menambal defisit yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur, subsidi, bantuan sosial, gaji pegawai, dan sebagainya. Saat likuiditas mengetat, kedua instrumen ini akan berebut dana dan terjadi crowding out.
Saat ini prioritas utama BI (dan pemerintah) adalah stabilitas rupiah. Untuk itu, SBN pun harus memberi tempat kepada SBI.
Stabilisasi rupiah kembali berpotensi memakan korban baru. Korban itu adalah pembiayaan pembangunan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru) Next Article Tarik 'Hot Money' Asing, BI Kaji Aktifkan Kembali SBI
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular