BI Ingin Undang (Lagi) Dana Asing, Apa Untungnya?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 July 2018 17:50
BI Ingin Undang (Lagi) Dana Asing, Apa Untungnya?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) hari ini memutuskan untuk menahan suku bunga acuan 5,25%. Namun BI memberi 'kejutan' lain yang diharapkan bisa membantu nilai tukar rupiah. 

"Keputusan tersebut konsisten dengan upaya Bank Indonesia mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi sehingga dapat menjaga stabilitas, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, menjelaskan alasan bank sentral mempertahankan suku bunga. 

Meski menahan suku bunga acuan, BI tengah menyiapkan kebijakan lain untuk memperkuat nilai tukar rupiah. Caranya adalah dengan mengaktifkan kembali instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). 

Padahal, sebelumnya BI sudah berkomitmen menghapus SBI dan menggantikannya dengan Surat Berharga Negara (SBN) sebagai instrumen moneter. Dengan begitu, pasar obligasi negara akan lebih dalam dan bisa membantu pembiayaan pembangunan. 

Mengapa BI ingin kembali membangkitkan SBI? 

"Terjadi capital reversal di emerging market yang membuat kurs negara-negara berkembang melemah, termasuk indonesia. Maka dari itu, penting untuk mengundang portfolio investor. Menjadi penting pasar keuangan tetap dibuat atraktif. Dalam rangka itu kemudian BI sekarang sedang melihat kembali reaktifasi SBI, terkait bagaimana attract aliran modal dari luar," ungkap Mirza Adityaswara. 

Mengundang investasi asing di portofolio alias hot money. Itulah tujuannya. Dengan aliran modal dari uang panas ini diharapkan rupiah menguat karena masuknya devisa ke perekonomian nasional. 



Kebijakan BI ini bisa dilihat dari dua kacamata. Pertama, memang Indonesia butuh aliran modal portofolio. Saat ini, Indonesia memang tidak punya pilihan selain mengundang hot money sebanyak mungkin agar bisa menopang rupiah. 

Sebab, devisa dari sektor perdagangan tidak bisa diharapkan. BI sendiri mengakui hal itu. Ekspor tidak sebaik yang diharapkan karena penurunan harga komoditas, sementara impor melaju kencang karena pertumbuhan ekonomi yang lebih baik tahun ini. 

"Impor meningkat khususnya barang modal. Sementara pertumbuhan ekspor tidak sekuat perkiraan semula, dipengaruhi tren penurunan harga komoditas," kata Perry. 

Ini adalah imbas dari industri nasional yang bisa dibilang mati suri. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan industri cenderung melambat dan di bawah pertumbuhan ekonomi secara umum.

Akibatnya ada dua. Ekspor Indonesia lagi dan lagi masih mengandalkan komoditas, lebih dari 50%. Ini kurang berkualitas, karena tidak menumbuhkan nilai tambah di dalam negeri. Lagipula, ekspor menjadi rentan terhadap perlambatan kala harga komoditas turun, seperti yang terjadi saat ini. 

Dua, laju impor menjadi deras kala kebutuhan meningkat. Sebab, industri dalam negeri yang tidak berkembang sulit memenuhi peningkatan permintaan saat ekonomi tumbuh. Terutama untuk bahan baku dan barang modal. Akibatnya seperti sekarang, impor melesat jauh meninggalkan ekspor. 

Kala devisa dari perdagangan semakin seret, rupiah hanya mengandalkan pasokan dari portofolio di pasar keuangan sebagai fondasi. Tidak ada pilihan lain. Agar rupiah bisa menguat, mau tidak mau dan suka tidak suka harus mengundang uang panas asing. 

Dari kacamata ini, langkah BI sudah tepat. Jika prioritas nasional saat ini adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, maka pilihannya tidak ada lain adalah mengundang modal asing sebanyak-banyaknya. Ini tidak akan terjadi (atau setidaknya tidak perlu terlalu tergantung) jika industri manufaktur nasional kuat. 


Sementara dari kacamata kedua, langkah mengundang arus modal asing semaksimal mungkin bisa menimbulkan risiko besar. Rupiah menjadi rentan berfluktuasi dengan tajam bila uang panas ini meninggalkan Indonesia. 

Saat ini, investor asing sudah menjadi 'pemain inti' di pasar obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN). Per 17 Juli 2018, porsi kepemilikan asing di SBN mencapai 37,96%. Ini merupakan yang tertinggi di antara kelompok investor lainnya. 

Sementara di pasar saham, sekitar 40% aktivitas perdagangan dilakukan oleh investor asing. Jika SBI jadi diaktifkan kembali dan dana asing semakin deras masuk, maka peranan investor asing menjadi kian dominan. 

Pergerakan rupiah menjadi seakan didikte oleh investor asing. Mereka bukanlah investor yang setia, tetapi bisa datang dan pergi sesuka hati. Artinya, rupiah menjadi rentan berfluktuasi cukup tajam. 

Untuk menjaga rupiah, BI harus menguras cadangan devisa. Jika cadangan devisa terus berkurang, maka Indonesia dinilai semakin rentan menghadapi gejolak eksternal. Dana-dana asing itu pun kabur, dan cadangan devisa kembali terpakai untuk stabilisasi. Begitu seterusnya. 

Agar dana asing tidak kabur, BI dan pemerintah harus terus menjaga stabilitas ekonomi domestik. Namun walau sudah kerja keras menjaga perekonomian dalam negeri, jika terjadi 'huru-hara' yang berasal dari eksternal maka dana asing ini akan kabur juga. Kerja keras BI dan pemerintah pun menjadi sia-sia. 

Oleh karena itu, BI memang dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah. Memilih mengundang dana asing maupun membatasinya sama-sama mengandung risiko besar. Namun untuk saat ini, sepertinya Indonesia memang tidak punya pilihan selain mengundang arus modal asing jika memang tujuannya menjaga stabilitas rupiah.


TIM RISET CNBC INDONESIA





Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular