
BI Ingin Undang (Lagi) Dana Asing, Apa Untungnya?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 July 2018 17:50

Kebijakan BI ini bisa dilihat dari dua kacamata. Pertama, memang Indonesia butuh aliran modal portofolio. Saat ini, Indonesia memang tidak punya pilihan selain mengundang hot money sebanyak mungkin agar bisa menopang rupiah.
Sebab, devisa dari sektor perdagangan tidak bisa diharapkan. BI sendiri mengakui hal itu. Ekspor tidak sebaik yang diharapkan karena penurunan harga komoditas, sementara impor melaju kencang karena pertumbuhan ekonomi yang lebih baik tahun ini.
"Impor meningkat khususnya barang modal. Sementara pertumbuhan ekspor tidak sekuat perkiraan semula, dipengaruhi tren penurunan harga komoditas," kata Perry.
Ini adalah imbas dari industri nasional yang bisa dibilang mati suri. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan industri cenderung melambat dan di bawah pertumbuhan ekonomi secara umum.
Akibatnya ada dua. Ekspor Indonesia lagi dan lagi masih mengandalkan komoditas, lebih dari 50%. Ini kurang berkualitas, karena tidak menumbuhkan nilai tambah di dalam negeri. Lagipula, ekspor menjadi rentan terhadap perlambatan kala harga komoditas turun, seperti yang terjadi saat ini.
Dua, laju impor menjadi deras kala kebutuhan meningkat. Sebab, industri dalam negeri yang tidak berkembang sulit memenuhi peningkatan permintaan saat ekonomi tumbuh. Terutama untuk bahan baku dan barang modal. Akibatnya seperti sekarang, impor melesat jauh meninggalkan ekspor.
Kala devisa dari perdagangan semakin seret, rupiah hanya mengandalkan pasokan dari portofolio di pasar keuangan sebagai fondasi. Tidak ada pilihan lain. Agar rupiah bisa menguat, mau tidak mau dan suka tidak suka harus mengundang uang panas asing.
Dari kacamata ini, langkah BI sudah tepat. Jika prioritas nasional saat ini adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, maka pilihannya tidak ada lain adalah mengundang modal asing sebanyak-banyaknya. Ini tidak akan terjadi (atau setidaknya tidak perlu terlalu tergantung) jika industri manufaktur nasional kuat.
(aji/aji)
Sebab, devisa dari sektor perdagangan tidak bisa diharapkan. BI sendiri mengakui hal itu. Ekspor tidak sebaik yang diharapkan karena penurunan harga komoditas, sementara impor melaju kencang karena pertumbuhan ekonomi yang lebih baik tahun ini.
"Impor meningkat khususnya barang modal. Sementara pertumbuhan ekspor tidak sekuat perkiraan semula, dipengaruhi tren penurunan harga komoditas," kata Perry.
Akibatnya ada dua. Ekspor Indonesia lagi dan lagi masih mengandalkan komoditas, lebih dari 50%. Ini kurang berkualitas, karena tidak menumbuhkan nilai tambah di dalam negeri. Lagipula, ekspor menjadi rentan terhadap perlambatan kala harga komoditas turun, seperti yang terjadi saat ini.
Dua, laju impor menjadi deras kala kebutuhan meningkat. Sebab, industri dalam negeri yang tidak berkembang sulit memenuhi peningkatan permintaan saat ekonomi tumbuh. Terutama untuk bahan baku dan barang modal. Akibatnya seperti sekarang, impor melesat jauh meninggalkan ekspor.
Kala devisa dari perdagangan semakin seret, rupiah hanya mengandalkan pasokan dari portofolio di pasar keuangan sebagai fondasi. Tidak ada pilihan lain. Agar rupiah bisa menguat, mau tidak mau dan suka tidak suka harus mengundang uang panas asing.
Dari kacamata ini, langkah BI sudah tepat. Jika prioritas nasional saat ini adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, maka pilihannya tidak ada lain adalah mengundang modal asing sebanyak-banyaknya. Ini tidak akan terjadi (atau setidaknya tidak perlu terlalu tergantung) jika industri manufaktur nasional kuat.
(aji/aji)
Next Page
Risiko Besar Modal Asing
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular