Terkoreksi, Harga Batu Bara Belum Mampu ke US$120/ton

Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
20 July 2018 12:57
Reli harga batu bara ICE Newcastle kontrak acuan agak tertahan, dengan diperdagangkan melemah 0,25% ke US$119,30/ton pada perdagangan hari Kamis (19/07/2018).
Foto: REUTERS/Stringer
Jakarta, CNBC IndonesiaReli harga batu bara ICE Newcastle kontrak acuan agak tertahan, dengan diperdagangkan melemah 0,25% ke US$119,30/ton pada perdagangan hari Kamis (19/07/2018). Dengan pergerakan tersebut, harga si batu hitam memutus rekor penguatan 3 hari berturut-turut sebelumnya.

Meski demikian, harga batu bara pun belum terlalu jauh dari rekor tertingginya dalam 6,5 tahun terakhir, atau sejak awal tahun 2012. Sebagai informasi, harga batu bara menyentuh angka US$119,6/ton pada perdagangan hari Rabu (18/07/2018).

Sejatinya, harga si batu hitam masih disokong oleh permintaan batu bara China akibat musim semi yang lebih panas dari biasanya. Pembangkit listrik bertenaga batu bara mau tidak mau harus menggenjot produksi listriknya seiring naiknya tingkat penggunaan pendingin ruangan di kota-kota besar.

Terkoreksi, Harga Batu Bara Belum Mampu ke US$120/tonFoto: raditya Hanung


Jika musim semi saja sudah seperti itu, musim panas yang akan datang pada bulan Juli-Agustus tentunya akan memberikan temperatur yang amat panas di Negeri Panda. Konsumsi batu bara, khususnya untuk pembangkitan listrik, diperkirakan akan mencapai puncaknya.

Berdasarkan data dari China Power International Development Limited, penjualan listrik perusahaan mencapai 33.095.069 MWh, pada periode 6 bulan yang berakhir pada 30 Juni 2018. Jumlah itu meningkat 11,66% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Kemudian, beban puncak pembangkit listrik pada musim panas ini diestimasikan mencapai 79 Giga Watt (GW), naik sekitar 4 GW dari beban puncak di tahun lalu, menurut Shandong Economic and Information Commission pada situs resminya, seperti dilansir dari Reuters.

Meski demikian, hari ini harga batu bara melandai dipengaruhi beberapa sentimen. Pertama, aksi ambil untung yang dilakukan oleh pelaku pasar. Pasalnya, hingga perdagangan hari Rabu (18/07/2017), harga batu bara sudah menguat 1,61% dalam sepekan ini. Keuntungan yang menggiurkan untuk dicairkan investor.


Kedua, tensi perang dagang AS-China yang kembali memanas. Dari perkembangan teranyar, Larry Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, menyatakan bahwa Presiden China Xi Jinping telah menghambat kemajuan negosiasi perdagangan antara AS-China. Padahal, bawahan Xi, termasuk penasihat ekonomi senior Liu He, sudah sepakat dengan AS. Xi diklaim telah menolak untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan transfer teknologi China, dan kebijakan perdagangan lainnya.

"Sejauh yang kita ketahui, Presiden Xi saat ini tidak ingin melakukan kesepakatan," kata Kudlow saat menghadiri konferensi Delivering Alpha, seperti dikutip dari Reuters.

Pihak China pun tidak tinggal diam. Beijing langsung mengklaim bahwa tuduhan AS adalah "mengejutkan" dan "bohong".

Ketika ditanya mengenai komentar Kudlow tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying berkata, "Pejabat AS terkait secara tidak terduga mendistorsi fakta dan membuat tuduhan bohong yang mengejutkan dan tidak terbayangkan. Inkonsistensi dan pelanggaran janji AS sudah diketahui secara global," tegasnya, dilansir dari Reuters.

Saling tuduh antara dua raksasa ekonomi terbesar di dunia itu lantas mengindikasikan bahwa perang dagang masih jauh dari kata usai. Eskalasi tensi perang dagang ini lantas memberikan kekhawatiran terganggunya arus perdagangan global, termasuk untuk komoditas batu bara.

Ketiga, impor batu bara Jerman yang diekspektasikan turun 12% pada tahun 2018 ke angka 45 juta ton, dibandingkan dengan level di tahun 2017, menurut proyeksi kelompok importir VDKi, pada hari Kamis (19/07/2018), seperti dikutip dari Reuters.

Hal ini disebabkan semakin mudahnya akses kepada jaringan listrik bersumber energi baru dan terbarukan (EBT) di negara produsen Mercedes-Benz itu, khususnya energi matahari dan angin.

Sebagai catatan, total impor tahun 2017 sebesar 51,2 juta ton sudah turun 10,2% dari setahun sebelumnya, dan sudah jauh di bawah estimasi VDKi sebesar 54,6 juta ton.

Pada tahun 2017, Jerman duduk di posisi ke-4 negara yang paling banyak mengimpor batu bara dari Australia, dengan nilai impor mencapai US$1,23 miliar (Rp17,85 triliun). Adanya sentimen berkurangnya permintaan dari Jerman, lantas membebani harga batu bara Newcastle kemarin. 



(RHG/gus) Next Article China Serap Batu Bara Australia, Harga Berangsur Naik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular