
Neraca Dagang Surplus, Bisakah Selamatkan Rupiah?
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
16 July 2018 17:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada Senin (16/7/2018), Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan ekspor Juni 2018 tumbuh 11,47% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke US$13,00 miliar. Lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni tumbuh 16,38% YoY.
Sementara impor naik hingga 12,66% YoY ke US$11,26 miliar. Meski demikian, neraca perdagangan bulan Juni 2018 mencatatkan surplus hingga US$1,74 miliar, mampu mengungguli konsensus yang memperkirakan akan ada surplus sebesar US$579,5 juta. Surplus di bulan Juni 2018 merupakan yang tertinggi sejak September 2017.
Walapun berhasil mencatatkan surplus di bulan lalu, namun sejatinya di sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD) neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan defisit sebesar US$1,02 miliar. Hal ini tidak lepas dari defisit yang cukup dalam pada bulan April dan Mei 2018 lalu, masing-masing sebesar US$1,63 miliar dan US$1,45 miliar.
Satu hal yang paling mencolok dari rilis data BPS hari ini adalah pertumbuhan impor yang cukup jauh dari ekspektasi pasar. Impor bulan Juni 2018 yang naik 12,6% amat jauh di bawah konsensus CNBC Indonesia yang meprediksikan kenaikan sebesar 30,17% YoY.
Apabila diihat per golongan barang, impor bahan baku tercatat turun sebesar 9,51% secara YoY pada Juni 2018. Sementara, impor barang modal dan bahan baku masih mampu mencatatkan pertumbuhan, yakni masing-masing sebesar 19,94% YoY dan 14,56%.
Penurunan impor khususnya bahan baku, nampaknya lebih terjadi karena faktor musiman. Pasalnya, bulan Ramadhan tahun 2017 hampir terjadi di sepanjang bulan Juni 2017. Sementara, pada tahun ini, bulan Ramadhan terbagi dua, setengah di bulan Mei, dan setengah di bulan Juni.
Kenaikan impor barang konsumsi di bulan puasa tahun ini sepertinya sudah terekam di bulan Mei 2018 lalu, saat impor barang konsumsi melonjak hingga 34% YoY. Pada saat itu, impor bahan baku dan barang modal juga melesat kencang, masing-masing sebesar 25% dan 43%. Hal itu juga yang mendorong besarnya defisit neraca perdagangan di bulan Mei 2018.
Kemudian, bagaimana dampak surplus neraca perdagangan bulan Juni 2018 terhadap perekonomian RI?
Surplus neraca perdagangan akan membawa sentimen perbaikan kinerja transaksi berjalan (current account) yang semakin memburuk. Sebagai informasi, transaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit US$5,5 miliar, melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Memang neraca perdagangan RI di periode April-Juni 2018 masih membukukan defisit sebesar US$1,34 miliar secara kumulatif. Tapi, setidaknya kini muncul harapan bahwa defisit transaksi berjalan di 6 bulan awal tahun ini tidak terlalu parah, minimal tidak terlalu jauh dari defisit di kuartal II-2017. Semakin parah defisit transaksi berjalan maka semakin besar juga risiko memburuknya Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).
Biasanya defisit transaksi berjalan bisa ditutup oleh surplus di transaksi modal dan finansial, sehingga NPI masih bisa surplus. Tapi, kali ini rumus itu nampaknya tidak berlaku. Pasalnya, pasar keuangan Indonesia pada 2018 memang agak menegangkan. Berbagai sentimen negatif datang bertubi-tubi, termasuk risiko kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) yang lebih agresif, serta risiko perang dagang.
Akhirnya, investor (terutama asing) cenderung bermain aman dan meninggalkan Indonesia. Hal ini tercermin pada investor asing yang membukukan jual bersih senilai Rp50,07 miliar di bursa saham domestik hingga perdagangan kemarin, sudah mengungguli jual bersih di sepanjang tahun 2017 di kisaran Rp40 miliar. Padahal 7 bulan di tahun ini saja belum genap terlewati.
Kali ini, jumlah surplus transaksi modal dan finansial sudah tidak bisa lagi menambal lubang menganga yang ditinggalkan neraca transaksi berjalan. Sebagai buktinya, NPI kuartal I-2018 mengalami defisit US$3,85 miliar, defisit pertama sejak kuartal III-2011.
Saat performa transaksi modal dan finansial tertekan, sementara defisit neraca transaksi berjalan juga semakin membesar, maka NPI praktis tidak tertolong. Padahal, NPI merupakan salah satu fundamental yang menjadi pijakan penguatan nilai tukar.
Oleh karena itu, rilis data defisit neraca perdagangan hari ini sebenarnya menjadi sentimen positif bagi pelaku pasar, seiring potensi melunaknya defisit neraca transaksi berjalan, dan akhirnya mendorong perbaikan defisit NPI. Hal ini jelas akan menjadi angin segar bagi pergerakan mata uang garuda yang sudah melemah hingga 5,7% secara YTD.
Sebagai catatan, nilai tukar rupiah mampu ditutup menguat tipis sebesar 0,03% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ke angka Rp14.370/US$ di pasar spot, pada perdagangan hari Senin (16/07/2018) pasca diumumkannya data neraca perdagangan Juni 2018.
Data ini juga akan menjadi pemanasan menjelang datangnya sentimen berikutnya bagi pergerakan nilai tukar rupiah, yakni pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) pada hari Kamis, 19 Juli 2018.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/dru) Next Article Subsidi Solar Ditambah, Nasib Rupiah Bisa Makin Suram
Sementara impor naik hingga 12,66% YoY ke US$11,26 miliar. Meski demikian, neraca perdagangan bulan Juni 2018 mencatatkan surplus hingga US$1,74 miliar, mampu mengungguli konsensus yang memperkirakan akan ada surplus sebesar US$579,5 juta. Surplus di bulan Juni 2018 merupakan yang tertinggi sejak September 2017.
Walapun berhasil mencatatkan surplus di bulan lalu, namun sejatinya di sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD) neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan defisit sebesar US$1,02 miliar. Hal ini tidak lepas dari defisit yang cukup dalam pada bulan April dan Mei 2018 lalu, masing-masing sebesar US$1,63 miliar dan US$1,45 miliar.
![]() |
Satu hal yang paling mencolok dari rilis data BPS hari ini adalah pertumbuhan impor yang cukup jauh dari ekspektasi pasar. Impor bulan Juni 2018 yang naik 12,6% amat jauh di bawah konsensus CNBC Indonesia yang meprediksikan kenaikan sebesar 30,17% YoY.
Apabila diihat per golongan barang, impor bahan baku tercatat turun sebesar 9,51% secara YoY pada Juni 2018. Sementara, impor barang modal dan bahan baku masih mampu mencatatkan pertumbuhan, yakni masing-masing sebesar 19,94% YoY dan 14,56%.
Penurunan impor khususnya bahan baku, nampaknya lebih terjadi karena faktor musiman. Pasalnya, bulan Ramadhan tahun 2017 hampir terjadi di sepanjang bulan Juni 2017. Sementara, pada tahun ini, bulan Ramadhan terbagi dua, setengah di bulan Mei, dan setengah di bulan Juni.
Kenaikan impor barang konsumsi di bulan puasa tahun ini sepertinya sudah terekam di bulan Mei 2018 lalu, saat impor barang konsumsi melonjak hingga 34% YoY. Pada saat itu, impor bahan baku dan barang modal juga melesat kencang, masing-masing sebesar 25% dan 43%. Hal itu juga yang mendorong besarnya defisit neraca perdagangan di bulan Mei 2018.
Kemudian, bagaimana dampak surplus neraca perdagangan bulan Juni 2018 terhadap perekonomian RI?
Surplus neraca perdagangan akan membawa sentimen perbaikan kinerja transaksi berjalan (current account) yang semakin memburuk. Sebagai informasi, transaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit US$5,5 miliar, melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
![]() |
Memang neraca perdagangan RI di periode April-Juni 2018 masih membukukan defisit sebesar US$1,34 miliar secara kumulatif. Tapi, setidaknya kini muncul harapan bahwa defisit transaksi berjalan di 6 bulan awal tahun ini tidak terlalu parah, minimal tidak terlalu jauh dari defisit di kuartal II-2017. Semakin parah defisit transaksi berjalan maka semakin besar juga risiko memburuknya Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).
Biasanya defisit transaksi berjalan bisa ditutup oleh surplus di transaksi modal dan finansial, sehingga NPI masih bisa surplus. Tapi, kali ini rumus itu nampaknya tidak berlaku. Pasalnya, pasar keuangan Indonesia pada 2018 memang agak menegangkan. Berbagai sentimen negatif datang bertubi-tubi, termasuk risiko kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) yang lebih agresif, serta risiko perang dagang.
Akhirnya, investor (terutama asing) cenderung bermain aman dan meninggalkan Indonesia. Hal ini tercermin pada investor asing yang membukukan jual bersih senilai Rp50,07 miliar di bursa saham domestik hingga perdagangan kemarin, sudah mengungguli jual bersih di sepanjang tahun 2017 di kisaran Rp40 miliar. Padahal 7 bulan di tahun ini saja belum genap terlewati.
Kali ini, jumlah surplus transaksi modal dan finansial sudah tidak bisa lagi menambal lubang menganga yang ditinggalkan neraca transaksi berjalan. Sebagai buktinya, NPI kuartal I-2018 mengalami defisit US$3,85 miliar, defisit pertama sejak kuartal III-2011.
Saat performa transaksi modal dan finansial tertekan, sementara defisit neraca transaksi berjalan juga semakin membesar, maka NPI praktis tidak tertolong. Padahal, NPI merupakan salah satu fundamental yang menjadi pijakan penguatan nilai tukar.
Oleh karena itu, rilis data defisit neraca perdagangan hari ini sebenarnya menjadi sentimen positif bagi pelaku pasar, seiring potensi melunaknya defisit neraca transaksi berjalan, dan akhirnya mendorong perbaikan defisit NPI. Hal ini jelas akan menjadi angin segar bagi pergerakan mata uang garuda yang sudah melemah hingga 5,7% secara YTD.
Sebagai catatan, nilai tukar rupiah mampu ditutup menguat tipis sebesar 0,03% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ke angka Rp14.370/US$ di pasar spot, pada perdagangan hari Senin (16/07/2018) pasca diumumkannya data neraca perdagangan Juni 2018.
Data ini juga akan menjadi pemanasan menjelang datangnya sentimen berikutnya bagi pergerakan nilai tukar rupiah, yakni pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) pada hari Kamis, 19 Juli 2018.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/dru) Next Article Subsidi Solar Ditambah, Nasib Rupiah Bisa Makin Suram
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular