
Subsidi Solar Ditambah, Nasib Rupiah Bisa Makin Suram
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
03 July 2018 16:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati tambahan subsidi bahan bakar minyak jenis solar tahun depan sebesar Rp 1.500 - Rp 2.000 per liter, atau meningkat dari dua tahun sebelumnya sebesar Rp 500 per liter.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Djoko Siswanto mengatakan bahwa keputusan untuk mengusulkan tambahan subsidi solar tak lepas dari realisasi subsidi di 2018 yang saat ini rata-ratanya mencapai Rp 2.000 liter.
"Kami usulkan Rp 1.500-Rp 2.000 per liter karena realisasi rata-rata sudah Rp 2.000 per liter," kata Djoko di gedung parlemen, Selasa (3/7/2018).
Pada tahun depan, pemerintah pun memutuskan untuk menambah volume subsidi bahan bakar minyak menjadi di kisaran 16 juta kiloliter - 17,18 juta kiloliter dari yang pada tahun lalu sebesar 16,23 juta kiloliter.
Di satu sisi, kebijakan ini sebenarnya berpotensi menekan angka inflasi dalam jangka pendek. Tak dapat dipungkiri bahwa naik-turunnya inflasi memang sangat dipengaruhi oleh naik-turunnya harga BBM (Bahan Bakar Minyak), yang memang memengaruhi hajat hidup masyarakat bagaikan "candu" dalam perekonomian.
Sebagai contoh, saat era presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY), harga BBM jenis premium dinaikkan dinaikkan sebanyak dua kali pada tahun 2005, dari semula Rp1.810/liter menjadi Rp 4.500/liter. Akibatnya inflasi tahunan meningkat dari 6,4% pada 2004, menjadi sebesar 17,11% pada 2005.
Inflasi yang tinggi dengan mudah akan mendorong masyarakat yang berdiri tipis di atas garis kemiskinan, terjerembab ke dalam jurang kemiskinan. Hal itu terbukti dari tingkat kemiskinan 2006 yang melonjak signifikan menjadi 17,8%, dari capaian 2005 sebesar 16%.
Dengan pengalaman historis demikian, menahan harga BBM dengan cara menaikkan alokasi subsidi dapat menjadi salah satu kebijakan untuk menahan melambungnya inflasi dan tingkat kemiskinan. Namun, perlu diingat bahwa setiap kebijakan selalu memiliki trade-off. Secara jangka panjang, kenaikan subsidi BBM dapat semakin membebani nilai tukar rupiah, yang sekarang ini sudah terpuruk lumayan parah.
Tercatat hingga hari ini, mata uang garuda sudah terdepresiasi sebesar 6% lebih sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD), menjadi salah satu yang terburuk di kawasan Asia Tenggara. Salah satu penyebabnya adalah defisit neraca perdagangan yang sudah mencapai US$2,8 miliar di sepanjang tahun 2018.
Dari data teranyar, defisit neraca perdagangan Bulan Mei 2018 mencapai US$1,52 miliar, atau nyaris seburuk Bulan April 2018 sebesar US$1,63 miliar. Sebagai catatan, defisit neraca perdagangan Bulan April 2018 merupakan yang terparah sejak 4 tahun silam.
Dengan ditahannya harga solar, konsumsi komoditas ini pun akan terus bertambah, karena harganya yang masih terjangkau. Alhasil, sebagai net importir minyak, Indonesia mau tidak mau akan terus meningkatkan impornya, untuk memenuhi tumbuhnya konsumsi tersebut.
Di saat harga minyak mentah global sedang menguat pesat, tentunya situasi ini akan semakin menambah beban bagi neraca perdagangan Indonesia. Sebagai informasi, harga minyak mentah jenis Brent, yang menjadi acuan di Benua Eropa, sudah menanjak sebesar 18,8% di sepanjang semester I-2018.
Dengan semakin membengkaknya defisit neraca perdagangan, tentunya defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) akan semakin parah. Padahal, neraca transaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit US$ 5,5 miliar, atau 2,15% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Capaian itu melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Adanya akselerasi impor saat ini bahkan sudah diamini Bank Indonesia (BI) akan memaksa CAD di kuartal II-2018 berada di atas 2,5% PDB. "Kuartal dua memang ada akselerasi impor sehingga memang kami melihat transkasi berjalan di kuartal kedua bisa di atas 2,5% dan di bawah 3%," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di hadapan wartawan hari Selasa (3/7/2018).
Dengan semakin banyaknya impor minyak, akibat ditahannya harga solar, badai impor akan semakin tidak terbandung. Defisit CAD bisa saja mengulang situasi di 2013 yang mencapai 4% PDB.
Seiring risiko melebarnya defisit transaksi berjalan ada di depan mata, pelaku pasar akhirnya akan mewaspadai risiko memburuknya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Rupiah pun jadi tidak memiliki pijakan untuk terapresiasi.
(RHG/dru) Next Article Mau CAD Turun? Ada Cara Susah, Tapi Ada yang Gampang Kok
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Djoko Siswanto mengatakan bahwa keputusan untuk mengusulkan tambahan subsidi solar tak lepas dari realisasi subsidi di 2018 yang saat ini rata-ratanya mencapai Rp 2.000 liter.
"Kami usulkan Rp 1.500-Rp 2.000 per liter karena realisasi rata-rata sudah Rp 2.000 per liter," kata Djoko di gedung parlemen, Selasa (3/7/2018).
Di satu sisi, kebijakan ini sebenarnya berpotensi menekan angka inflasi dalam jangka pendek. Tak dapat dipungkiri bahwa naik-turunnya inflasi memang sangat dipengaruhi oleh naik-turunnya harga BBM (Bahan Bakar Minyak), yang memang memengaruhi hajat hidup masyarakat bagaikan "candu" dalam perekonomian.
Sebagai contoh, saat era presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY), harga BBM jenis premium dinaikkan dinaikkan sebanyak dua kali pada tahun 2005, dari semula Rp1.810/liter menjadi Rp 4.500/liter. Akibatnya inflasi tahunan meningkat dari 6,4% pada 2004, menjadi sebesar 17,11% pada 2005.
Inflasi yang tinggi dengan mudah akan mendorong masyarakat yang berdiri tipis di atas garis kemiskinan, terjerembab ke dalam jurang kemiskinan. Hal itu terbukti dari tingkat kemiskinan 2006 yang melonjak signifikan menjadi 17,8%, dari capaian 2005 sebesar 16%.
![]() |
Dengan pengalaman historis demikian, menahan harga BBM dengan cara menaikkan alokasi subsidi dapat menjadi salah satu kebijakan untuk menahan melambungnya inflasi dan tingkat kemiskinan. Namun, perlu diingat bahwa setiap kebijakan selalu memiliki trade-off. Secara jangka panjang, kenaikan subsidi BBM dapat semakin membebani nilai tukar rupiah, yang sekarang ini sudah terpuruk lumayan parah.
Tercatat hingga hari ini, mata uang garuda sudah terdepresiasi sebesar 6% lebih sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD), menjadi salah satu yang terburuk di kawasan Asia Tenggara. Salah satu penyebabnya adalah defisit neraca perdagangan yang sudah mencapai US$2,8 miliar di sepanjang tahun 2018.
Dari data teranyar, defisit neraca perdagangan Bulan Mei 2018 mencapai US$1,52 miliar, atau nyaris seburuk Bulan April 2018 sebesar US$1,63 miliar. Sebagai catatan, defisit neraca perdagangan Bulan April 2018 merupakan yang terparah sejak 4 tahun silam.
![]() |
Dengan ditahannya harga solar, konsumsi komoditas ini pun akan terus bertambah, karena harganya yang masih terjangkau. Alhasil, sebagai net importir minyak, Indonesia mau tidak mau akan terus meningkatkan impornya, untuk memenuhi tumbuhnya konsumsi tersebut.
Di saat harga minyak mentah global sedang menguat pesat, tentunya situasi ini akan semakin menambah beban bagi neraca perdagangan Indonesia. Sebagai informasi, harga minyak mentah jenis Brent, yang menjadi acuan di Benua Eropa, sudah menanjak sebesar 18,8% di sepanjang semester I-2018.
Dengan semakin membengkaknya defisit neraca perdagangan, tentunya defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) akan semakin parah. Padahal, neraca transaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit US$ 5,5 miliar, atau 2,15% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Capaian itu melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
![]() |
Adanya akselerasi impor saat ini bahkan sudah diamini Bank Indonesia (BI) akan memaksa CAD di kuartal II-2018 berada di atas 2,5% PDB. "Kuartal dua memang ada akselerasi impor sehingga memang kami melihat transkasi berjalan di kuartal kedua bisa di atas 2,5% dan di bawah 3%," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di hadapan wartawan hari Selasa (3/7/2018).
Dengan semakin banyaknya impor minyak, akibat ditahannya harga solar, badai impor akan semakin tidak terbandung. Defisit CAD bisa saja mengulang situasi di 2013 yang mencapai 4% PDB.
Seiring risiko melebarnya defisit transaksi berjalan ada di depan mata, pelaku pasar akhirnya akan mewaspadai risiko memburuknya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Rupiah pun jadi tidak memiliki pijakan untuk terapresiasi.
(RHG/dru) Next Article Mau CAD Turun? Ada Cara Susah, Tapi Ada yang Gampang Kok
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular