RI Doyan Impor Minyak, BI Akui Harus Siapkan Dolar 'Lebih'

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
11 July 2018 07:48
Tingginya kebutuhan impor juga ditutup oleh devisa ekspor yang naik.
Foto: REUTERS/Sertac Kayar
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) tak memungkiri harus memasok kebutuhan dolar Amerika Serikat (AS) lebih banyak untuk kebutuhan impor minyak yang dalam beberapa bulan terakhir cukup tinggi.

Meski demikian, upaya untuk memenuhi kebutuhan valuta asing bukan hanya berasal dari bank sentral melainkan juga dari devisa ekspor yang mengalami peningkatan.

"Ada kebutuhan valas untuk impor minyak, tapi kita harus bicara secara netto. Tingginya kebutuhan impor juga ditutup oleh devisa ekspor yang naik," ungkap Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo yang dikutip hari Rabu (11/7/2018).

Menurut Dody, tingginya kebutuhan impor minyak tak lepas dari angka produksi minyak nasional yang tidak seimbang dengan tingkat konsumsi yang semakin tinggi tiap tahunnya.

Rata-rata produksi bahan bakar minyak mencapai 1,6 juta barel per hari sementara produksi yang bisa direalisasikan berdasarkan data terakhir SKK Migas hanya 770.00 barel.

"Selain itu, kilang domestik terbatas dalam menghasilkan bahan bakar minyak untuk keperluan domestik," katanya.


Tingkat produksi dan konsumsi bahan bakar minyak yang tak seimbang membuat Indonesia ketergantungan pada minyak impor. Kondisi ini, membuat Indonesia ada di peringkat ketiga importir minyak terbesar di Asia Tenggara.

Bagaimana dampaknya? Neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2018 tertekan akibat sektor migas. Tingginya harga minyak dunia tanpa diiringi dengan produksi yang pas, membuat transaksi migas defisit hingga US$5,03 miliar.

Defisit neraca perdagangan yang terjadi secara terus menerus tentu akan berdampak pada transaksi berjalan. Dikhawatirkan, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) akan terseret ke zona negatif.

BI pun telah memproyeksikan defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2018 berada di atas 2,5% dari produk domestik bruto (PDB) atau lebih tinggi dari kuartal I-2018 yang sebesar 2,1% dari PDB.

Ketika neraca pembayaran terus mengalami defisit, maka nilai tukar rupiah akan kehilangan pijakan untuk menguat. Pergerakan nilai tukar rupiah dalam beberapa bulan terakhir cukup rentan dan sempat menembus level Rp 14.400/US$.
(prm) Next Article China Pangkas Kuota Impor Minyak di 2019

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular