
Pekan Lalu Suram, Harga Minyak AS Rebound ke Rekor Sejak 2014
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
09 July 2018 10:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) bergerak menguat 0,45% ke US$74,13/barel, sementara harga Brent yang menjadi acuan di Eropa juga naik 0,51% ke US$77,5/barel, pada perdagangan hari Jumat (06/07/2018).
Harga minyak AS berhasil rebound mendekati level tertingginya sejak akhir 2014 di level US$ 74,15/barel, yang dicapai pada perdagangan hari Jumat (29/6/2018).
Dalam sepekan lalu, harga minyak AS sebenarnya mencatatkan pelemahan sebesar 0,47%. Brent malah terkoreksi 2,93% di periode yang sama.
Penurunan Brent yang lebih dalam tersebut tidak lepas dari ekspektasi peningkatan produksi minyak mentah dari Arab Saudi, ditambah diturunkannya harga jual resmi (Official Selling Price/OSP) minyak mentah ke Benua Eropa dan beberapa wilayah lainnya.
Sebagai informasi, Arab Saudi melaporkan pada Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bahwa mereka meningkatkan produksi minyak mentahnya hampir 500.000 barel per hari (bph) pada bulan Juni 2018.
Sentimen ini lantas memperkuat janji Raja Salman dari Saudi ke Presiden AS Donald Trump untuk meningkatkan produksi minyak mentah Negeri Padang Pasir jika dibutuhkan. Bahkan, Raja Salman menyampaikan bahwa Saudi bisa melonggarkan peningkatan hingga 2 juta bph.
Serangkaian sentimen negatif tersebut, akhirnya memaksa harga minyak Eropa jatuh cukup dalam sepekan lalu, jauh lebih dalam dibandingkan harga minyak AS.
Sementara itu, pemberat bagi harga minyak light sweet datang dari meningkatnya cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam secara tidak terduga. US Energy Information Administration (EIA) melaporkan, cadangan minyak AS pada minggu yang berakhir 29 Juni naik 1,24 juta barel. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang memperkirakan ada penurunan 3,5 juta barel.
Pasalnya, kenaikan ini terjadi kala pasokan minyak ke penyimpanan di Cushing (Oklahoma) sedang bermasalah. Pasokan minyak dari Kanada menurun karena kerusakan di fasilitas produksi milik Syncrude. Pasokan dari Syncrude bisa mencapai 350.000 barel/hari.
Kemudian, secara keseluruhan, pekan lalu harga minyak global juga mendapatkan sentimen negatif dari meletusnya perang dagang antara AS dengan China. Pada hari Jumat (6/7/2018), AS akhirnya resmi memberlakukan bea masuk baru bagi senilai senilai US$34 miliar produk impor asal China. Sebagai balasannya, China juga telah resmi mengenakan bea masuk baru bagi senilai US$34 miliar produk impor asal AS.
Meski demikian, hari ini nampaknya harga minyak kembali menangkap sentimen positif dari ekspektasi disrupsi pasokan dari Iran. Pemerintah AS berencana untuk menghentikan ekspor minyak Iran, dengan cara mengancam perusahaan-perusahaan asing untuk menghentikan pembelian minyak dari Negeri Persia per awal November 2018. Jika tidak menurut, AS siap meluncurkan sanksi yang berat.
"Tujuan kami adalah untuk meningkatkan tekanan bagi rezim Iran dengan cara mereduksi pendapatannya dari penjualan minyak mentah hingga titik nol. Kita akan bekerja untuk meminimalkan disrupsi ke pasar global, tapi kita percaya bahwa akan ada kapasitas produksi minyak global yang mencukupi," ujar Brian Hook, Direktur Perencanaan Kebijakan Departemen Luar Negeri AS, seperti dikutip dari CNBC International.
Kebijakan AS yang lebih keras dari yang diperkirakan akan menyebabkan produksi Iran turun 1,1 juta barel per hari di saat permintaan minyak global sedang tinggi, mengutip riset dari Morgan Stanley.
Di sisi lain, Negeri Persia dikabarkan tidak gentar. Presiden Hassan Rouhani menegaskan Iran tidak segan untuk menganggu pengiriman minyak dari negara-negara tetangganya.
"AS mengklaim mereka akan menghentikan ekspor minyak Iran. Tidak mungkin Iran tidak bisa mengekspor sementara negara lain di kawasan ini tetap bisa mengekspor. Mengasumsikan Iran menjadi satu-satunya produsen minyak yang tidak bisa mengekspor adalah sebuah kesalahan. AS tidak akan bisa menghambat pendapatan Iran dari minyak," papar Rouhani dalam sebuah video di situs kepresidenan seperti dikutip Reuters.
Sejumlah pejabat teras di Iran sebelumnya mengancam akan memblokade Selat Hormuz jika AS masih bertindak semena-mena. Selat Hormuz merupakan salah satu rute pengiriman utama.
Selain itu, pelemahan dolar AS juga menjadi katalis bagi pergerakan harga minyak hari ini. Dollar Index, yang menunjukkan posisi greenback di hadapan enam mata yang utama, melemah 0,12% pada pukul 10:13 WIB.
Pelemahan dolar AS disebabkan oleh rilis data yang mengecewakan. Pada akhir Juni, angka pengangguran AS tercatat 4%. Lebih rendah dibandingkan pencapaian bulan lalu maupun konsensus pasar yaitu 3,8%.
Hal ini membuat pasar berpikir ulang mengenai rencana The Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan suku bunga secara agresif. Sebab, pasar tenaga kerja belum pulih betul sehingga masih membutuhkan kebijakan moneter yang akomodatif.
Seperti diketahui, depresiasi greenback akan membuat komoditas berdenominasi dolar AS seperti minyak akan relatif lebih murah bagi pembeli yang memegang mata uang lainnya. Hal ini lantas mampu mengerek permintaan sang emas hitam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/hps) Next Article Brent Anjlok Nyaris 1%, Minyak Jauhi US$ 80/barel
Harga minyak AS berhasil rebound mendekati level tertingginya sejak akhir 2014 di level US$ 74,15/barel, yang dicapai pada perdagangan hari Jumat (29/6/2018).
![]() |
Dalam sepekan lalu, harga minyak AS sebenarnya mencatatkan pelemahan sebesar 0,47%. Brent malah terkoreksi 2,93% di periode yang sama.
Sebagai informasi, Arab Saudi melaporkan pada Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bahwa mereka meningkatkan produksi minyak mentahnya hampir 500.000 barel per hari (bph) pada bulan Juni 2018.
Sentimen ini lantas memperkuat janji Raja Salman dari Saudi ke Presiden AS Donald Trump untuk meningkatkan produksi minyak mentah Negeri Padang Pasir jika dibutuhkan. Bahkan, Raja Salman menyampaikan bahwa Saudi bisa melonggarkan peningkatan hingga 2 juta bph.
Serangkaian sentimen negatif tersebut, akhirnya memaksa harga minyak Eropa jatuh cukup dalam sepekan lalu, jauh lebih dalam dibandingkan harga minyak AS.
Sementara itu, pemberat bagi harga minyak light sweet datang dari meningkatnya cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam secara tidak terduga. US Energy Information Administration (EIA) melaporkan, cadangan minyak AS pada minggu yang berakhir 29 Juni naik 1,24 juta barel. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang memperkirakan ada penurunan 3,5 juta barel.
Pasalnya, kenaikan ini terjadi kala pasokan minyak ke penyimpanan di Cushing (Oklahoma) sedang bermasalah. Pasokan minyak dari Kanada menurun karena kerusakan di fasilitas produksi milik Syncrude. Pasokan dari Syncrude bisa mencapai 350.000 barel/hari.
Kemudian, secara keseluruhan, pekan lalu harga minyak global juga mendapatkan sentimen negatif dari meletusnya perang dagang antara AS dengan China. Pada hari Jumat (6/7/2018), AS akhirnya resmi memberlakukan bea masuk baru bagi senilai senilai US$34 miliar produk impor asal China. Sebagai balasannya, China juga telah resmi mengenakan bea masuk baru bagi senilai US$34 miliar produk impor asal AS.
Meski demikian, hari ini nampaknya harga minyak kembali menangkap sentimen positif dari ekspektasi disrupsi pasokan dari Iran. Pemerintah AS berencana untuk menghentikan ekspor minyak Iran, dengan cara mengancam perusahaan-perusahaan asing untuk menghentikan pembelian minyak dari Negeri Persia per awal November 2018. Jika tidak menurut, AS siap meluncurkan sanksi yang berat.
"Tujuan kami adalah untuk meningkatkan tekanan bagi rezim Iran dengan cara mereduksi pendapatannya dari penjualan minyak mentah hingga titik nol. Kita akan bekerja untuk meminimalkan disrupsi ke pasar global, tapi kita percaya bahwa akan ada kapasitas produksi minyak global yang mencukupi," ujar Brian Hook, Direktur Perencanaan Kebijakan Departemen Luar Negeri AS, seperti dikutip dari CNBC International.
Kebijakan AS yang lebih keras dari yang diperkirakan akan menyebabkan produksi Iran turun 1,1 juta barel per hari di saat permintaan minyak global sedang tinggi, mengutip riset dari Morgan Stanley.
Di sisi lain, Negeri Persia dikabarkan tidak gentar. Presiden Hassan Rouhani menegaskan Iran tidak segan untuk menganggu pengiriman minyak dari negara-negara tetangganya.
"AS mengklaim mereka akan menghentikan ekspor minyak Iran. Tidak mungkin Iran tidak bisa mengekspor sementara negara lain di kawasan ini tetap bisa mengekspor. Mengasumsikan Iran menjadi satu-satunya produsen minyak yang tidak bisa mengekspor adalah sebuah kesalahan. AS tidak akan bisa menghambat pendapatan Iran dari minyak," papar Rouhani dalam sebuah video di situs kepresidenan seperti dikutip Reuters.
Sejumlah pejabat teras di Iran sebelumnya mengancam akan memblokade Selat Hormuz jika AS masih bertindak semena-mena. Selat Hormuz merupakan salah satu rute pengiriman utama.
Selain itu, pelemahan dolar AS juga menjadi katalis bagi pergerakan harga minyak hari ini. Dollar Index, yang menunjukkan posisi greenback di hadapan enam mata yang utama, melemah 0,12% pada pukul 10:13 WIB.
Pelemahan dolar AS disebabkan oleh rilis data yang mengecewakan. Pada akhir Juni, angka pengangguran AS tercatat 4%. Lebih rendah dibandingkan pencapaian bulan lalu maupun konsensus pasar yaitu 3,8%.
Hal ini membuat pasar berpikir ulang mengenai rencana The Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan suku bunga secara agresif. Sebab, pasar tenaga kerja belum pulih betul sehingga masih membutuhkan kebijakan moneter yang akomodatif.
Seperti diketahui, depresiasi greenback akan membuat komoditas berdenominasi dolar AS seperti minyak akan relatif lebih murah bagi pembeli yang memegang mata uang lainnya. Hal ini lantas mampu mengerek permintaan sang emas hitam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/hps) Next Article Brent Anjlok Nyaris 1%, Minyak Jauhi US$ 80/barel
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular