
Ini Penyebab Cadangan Devisa RI Turun Lebih dari US$ 3 Miliar
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 July 2018 18:08

Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa Indonesia masih dalam tren menurun. Stabilisasi nilai tukar membuat cadangan devisa pada Juni turun sampai lebih dari US$ 3 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.
Pada Jumat (6/7/2018), Bank Indonesia (BI) mengumumkan cadangan devisa Indonesia per akhir Juni 2018 sebesar US$ 119,8 miliar. Turun US$ 3,1 miliar dibandingkan sebulan sebelumnya.
Cadangan devisa dalam tren meningkat sejak akhir November 2015. Namun tren itu terhenti pada awal 2018, di mana sejak Februari cadangan devisa terus berkurang.
BI menilai penurunan cadangan devisa pada Juni 2018 terutama dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi. Selama Juni, rupiah memang cenderung melemah.
Sejak pertengahan Juni, dolar Amerika Serikat (AS) memang perkasa terhadap mata uang global. Keperkasaan ini muncul setelah Bank Sentral AS, The Federal Reserve/The Fed, menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan 13 Juni lalu.
Tidak hanya menaikkan suku bunga acuan, The Fed juga memberikan sedikit 'kejutan'. Proyeksi suku bunga (dot plot) pada akhir tahun menunjukkan titik tengah di 2,25-2,5%. Padahal pada rapat Maret, median masih di 2-2,25%.
Artinya, The Fed butuh dua kali kenaikan suku bunga masing-masing 25 basis poin lagi untuk berada di 2,25-2,5% pada akhir 2018. Dengan begitu, kenaikan suku bunga sepanjang 2018 menjadi empat kali, bertambah dibanding perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Ditambah lagi, The Fed seakan tanpa pesaing. Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) baru sebatas mengurangi stimulus fiskal pada September dan akan mengakhirinya pada akhir tahun. Namun soal kenaikan suku bunga, ECB menyatakan kemungkinan baru dilakukan setidaknya pada pertengahan 2019, tetapi pasar memperkirakan baru dieksekusi pada September atau mundur tiga bulan.
Sementara Jepang malah agak mengendur. Laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2018 justru melambat, yang menadakan periode stagnasi masih menghantui.
Oleh karena itu, Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) masih akan mempertahankan kebijakan moneter longgar dan suku bunga acuan ultra rendah. Sampai kapan? BoJ hanya meminta pelaku pasar bersabar.
Situasi ini membuat AS lagi-lagi menjadi darling-nya investor global. Berinvestasi di AS akan mendapatkan keuntungan lebih karena tren suku bunga yang cenderung naik. Ini yang tidak bisa diberikan oleh negara-negara maju lainnya.
Dampaknya, dolar AS menguat luar biasa karena minat investor yang berjubel. Penguatan greenback berujung pada tekanan terhadap hampir seluruh mata uang, tidak terkecuali rupiah. Sepanjang Juni, rupiah melemah sampai 3,04 di hadapan dolar AS.
Pada Jumat (6/7/2018), Bank Indonesia (BI) mengumumkan cadangan devisa Indonesia per akhir Juni 2018 sebesar US$ 119,8 miliar. Turun US$ 3,1 miliar dibandingkan sebulan sebelumnya.
Cadangan devisa dalam tren meningkat sejak akhir November 2015. Namun tren itu terhenti pada awal 2018, di mana sejak Februari cadangan devisa terus berkurang.
![]() |
Sejak pertengahan Juni, dolar Amerika Serikat (AS) memang perkasa terhadap mata uang global. Keperkasaan ini muncul setelah Bank Sentral AS, The Federal Reserve/The Fed, menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan 13 Juni lalu.
Tidak hanya menaikkan suku bunga acuan, The Fed juga memberikan sedikit 'kejutan'. Proyeksi suku bunga (dot plot) pada akhir tahun menunjukkan titik tengah di 2,25-2,5%. Padahal pada rapat Maret, median masih di 2-2,25%.
Artinya, The Fed butuh dua kali kenaikan suku bunga masing-masing 25 basis poin lagi untuk berada di 2,25-2,5% pada akhir 2018. Dengan begitu, kenaikan suku bunga sepanjang 2018 menjadi empat kali, bertambah dibanding perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Ditambah lagi, The Fed seakan tanpa pesaing. Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) baru sebatas mengurangi stimulus fiskal pada September dan akan mengakhirinya pada akhir tahun. Namun soal kenaikan suku bunga, ECB menyatakan kemungkinan baru dilakukan setidaknya pada pertengahan 2019, tetapi pasar memperkirakan baru dieksekusi pada September atau mundur tiga bulan.
Sementara Jepang malah agak mengendur. Laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2018 justru melambat, yang menadakan periode stagnasi masih menghantui.
Oleh karena itu, Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) masih akan mempertahankan kebijakan moneter longgar dan suku bunga acuan ultra rendah. Sampai kapan? BoJ hanya meminta pelaku pasar bersabar.
Situasi ini membuat AS lagi-lagi menjadi darling-nya investor global. Berinvestasi di AS akan mendapatkan keuntungan lebih karena tren suku bunga yang cenderung naik. Ini yang tidak bisa diberikan oleh negara-negara maju lainnya.
Dampaknya, dolar AS menguat luar biasa karena minat investor yang berjubel. Penguatan greenback berujung pada tekanan terhadap hampir seluruh mata uang, tidak terkecuali rupiah. Sepanjang Juni, rupiah melemah sampai 3,04 di hadapan dolar AS.
![]() |
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular