Bunga Acuan BI Sudah Naik, Kok Rupiah Masih Melemah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 July 2018 17:07
Bunga Acuan BI Sudah Naik, Kok Rupiah Masih Melemah?
Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) cenderung tertekan hari ini. Kuatnya sentimen global lebih dominan ketimbang stimulus kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). 

Pada Jumat (2/7/2018), US$ 1 di penutupan pasar spot berada di Rp 14.375. Rupiah melemah 0,35% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu. 

Padahal rupiah mampu menguat signifikan saat pembukaan pasar, yaitu mencapai 0,52%. Namun seiring perjalanan pasar, rupiah bergerak fluktuatif dan akhirnya cukup stabil di area depresiasi. 

Reuters

Rupiah tidak sendiri, berbagai mata uang utama Asia pun tidak bertaji di hadapan dolar AS. Dengan depresiasi 0,35%, rupiah menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam ketiga di Asia setelah yuan China dan won Korea Selatan. 

Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang Asia terhadap dolar AS pada pukul 16:10 WIB, mengutip Reuters:
 
Mata UangBid TerakhirPerubahan (%)
Yen Jepang110,77-0,10
Yuan China6,66-0,57
Won Korea Selatan1.118,23-0,39
Dolar Taiwan30,54-0,25
Rupee India68,64-0,28
Dolar Singapura1,37-0,31
Baht Thailand33,13-0,33
Peso Filipina53,37-0,12
 
Dolar AS yang sempat tertekan hari ini kembali garang. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama, menguat 0,14% ke 94,771 pada pukul 16:11 WIB. 

Reuters

Greenback kembali mendapat momentum penguatan setelah investor kini kembali melirik rilis data terbaru di Negeri Paman Sam yaitu indeks Personal Consumption Expenditure (PCE). Pada Mei 2018, PCE meningkat 2,3% secara year-on-year (YoY), tertinggi sejak Maret.  

Kemudian indeks PCE inti (di luar komponen volatile food dan energi) naik 2% YoY,  tertinggi sejak April 2012. Sebagai catatan, indeks PCE inti merupakan alat utama The Federal Reserve/The Fed untuk mengukur inflasi.  

PCE inti kini telah menyentuh target The Fed yaitu 2%. Ini merupakan kali pertama PCE inti mencapai target dalam enam tahun terakhir. 

Pelaku pasar pun kemudian semakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali sepanjang 2018, atau dua kali lagi. Lebih banyak ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.

Ini menjadi bahan bakar baru bagi dolar AS untuk kembali menguat. Dengan data terbaru ini, perkiraan tersebut semakin terkonfirmasi.
 

Dari dalam negeri, ternyata sentimen kenaikan suku bunga acuan tidak bertahan lama. Akhir pekan lalu, BI menaikkan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate sebesar 50 basis poin ke 5,25%. Lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan kenaikan 25 basis poin menjadi 5%.

Namun ternyata prospek kenaikan suku bunga di AS lebih menarik perhatian investor. Arus modal pun lagi-lagi mengarah ke Negeri Paman Sam, yang terlihat dari perkasanya dolar AS. 

Masuknya aliran dana ke AS terlihat dari penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah. Pada pukul 16:20 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 2,8309%. Turun dibandingkan akhir pekan lalu yaitu 2,851%. Penurunan yield berarti harga sedang naik, yang menandakan permintaan sedang ramai.

Sementara rupiah ditinggalkan arus modal sehingga bergerak melemah. Di pasar saham, jual bersih investor asing hari ini tercatat Rp 130,44 miliar.


Ke depan, tekanan terhadap rupiah sepertinya masih akan terus terjadi. Pasalnya, potensi The Fed menaikkan suku bunga secara agresif akan semakin terkonfirmasi menyusul data-data ekonomi AS yang terus membaik. 

Akhir pekan ini, akan ada lagi rilis data yang bisa menggerakkan pasar yaitu kondisi ketenagakerjaan periode Juni 2018. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan perekonomian AS menciptakan 195.000 lapangan kerja pada Juni.  

Ini membuat angka pengangguran berada di 3,8%. Angka pengangguran ini merupakan yang terendah dalam 18 tahun terakhir. 

Membaiknya ekonomi AS membuat kebutuhan untuk mengetatkan kebijakan moneter semakin besar, dalam rangka menghindarkan perekonomian dari bahaya overheating. Ketika suku bunga AS naik, maka arus modal akan semakin tersedot ke Negeri Adidaya sehingga greenback semakin berjaya terhadap mata uang dunia, termasuk rupiah. 

Kedua adalah harga minyak. Ke depan, ada kemungkinan harga minyak dunia naik akibat sanksi ekonomi terhadap Iran dan Venezuela yang semakin di depan mata. Kenaikan harga minyak akan membuat defisit neraca perdagangan Indonesia semakin dalam.

Sepanjang Januari-Mei 2018, neraca migas Indonesia mencatatkan defisit US$ 5,03 miliar. Jika harga minyak semakin tinggi, maka defisit ini bisa tambah menganga.

Defisit di neraca migas akan menyeret neraca perdagangan secara keseluruhan ke zona negatif. Ketika neraca perdagangan defisit, maka transaksi berjalan (current account) pun terancam.

Apabila defisit transaksi berjalan kian bertambah, maka rupiah akan semakin kehilangan pijakan untuk menguat. Sebab, aliran devisa yang berasal dari perdagangan barang dan jasa menjadi seret, padahal ini merupakan sumber devisa yang bertahan lama (sustain).  

Rupiah akan terus mengandalkan aliran modal portofolio alias hot money untuk menguat. Dengan sifat hot money yang mudah datang dan pergi, penguatan rupiah pun sulit untuk bertahan lama. 

Perang dagang juga bisa menjadi salah satu risiko bagi rupiah. Saat perang dagang memanas, maka investor akan cenderung bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk yang berbasis rupiah. 

Saat pasar keuangan Indonesia ditinggalkan karena investor lari ke pelukan safe haven assets, maka rupiah akan semakin tertekan. Padahal rupiah praktis hanya mengandalkan arus modal di sektor keuangan untuk menguat.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular