
Newsletter
Berharap Stimulus BI Berlanjut Sambil Pantau Data Inflasi
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 July 2018 05:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga saham Gabungan (IHSG) memang melesat pada perdagangan akhir pekan lalu. Namun, penguatan itu belum mampu menutup koreksi yang terjadi secara mingguan.
Pada perdagangan akhir pekan lalu, IHSG meroket dengan penguatan 2,33%. Meski demikian, IHSG masih terkoreksi 1,02% selama sepekan kemarin.
Pekan lalu, sentimen domestik maupun global kurang kondusif bagi IHSG. Dari dalam negeri, sentimen negatif utamanya hadir dari rilis data perdagangan internasional.
Awal pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia periode Mei 2018 defisit cukup dalam yaitu US$ 1,52 miliar. Pada bulan sebelumnya, neraca perdagangan juga membukukan defisit yang mencapai US$ 1,63 miliar.
Defisit neraca perdagangan membuat pasar menyangsikan prospek transaksi berjalan (current account) Indonesia pada kuartal II-2018. Bisa jadi transaksi berjalan mencetak defisit yang lebih dalam dibandingkan kuartal I-2018 yang sebesar 2,15% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Saat transaksi berjalan defisit, artinya pasokan devisa dari sektor perdagangan kurang memadai. Padahal pasokan devisa dari perdagangan adalah yang bertahan lama (sustain) dibandingkan portofolio di sektor keuangan yang mudah datang dan pergi.
Oleh karena itu, pasar berpersepsi pijakan rupiah untuk terapresiasi tidak terlampau kuat karena minimnya sokongan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Akibatnya, bisa jadi ke depan rupiah lebih melemah lagi.
Saat rupiah dalam tren depresiasi, memegang aset dalam mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Akibatnya, terjadi pelepasan terhadap aset-aset berdenominasi rupiah.
Di pasar saham, selama pekan lalu investor asing membukukan nilai jual bersih Rp 2,14 triliun. Sementara di pasar obligasi, sepanjang 25-28 Juni kepemilikan asing berkurang Rp 1,33 triliun.
Aksi jual ini akhirnya membuat persepsi menjadi kenyataan alias self fulfilling prophecy. Rupiah yang awalnya hanya diperkirakan melemah jadi melemah sungguhan karena maraknya aksi jual, terutama oleh investor asing. Sepanjang pekan lalu, rupiah melemah 1,22% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Sementara dari eksternal, sentimen negatif yang dominan adalah perang dagang yang kini merambat ke perang investasi. Presiden AS Donald Trump berencana membatasi aktivitas investasi China. Caranya adalah melarang entitas yang minimal 25% sahamnya dimiliki oleh pihak China untuk menanamkan modalnya di perusahaan-perusahaan AS.
Langkah ini dilakukan untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual dan teknologi AS. China memang santer dikabarkan ingin menjadi yang terdepan dalam bidang teknologi, cita-cita yang dituangkan dalam program besar bernama Made in China 2025.
Investor dibuat tidak nyaman dengan perkembangan ini. Perang dagang dan investasi tentu akan mengancam prospek pertumbuhan ekonomi global. Dalam situasi gonjang-ganjing seperti ini, pelaku pasar memilih untuk bermain aman dan meninggalkan instrumen berisiko seperti saham.
Aset-aset aman (safe haven) pun kebanjiran peminat dan nilainya naik. Sepanjang pekan lalu, mata uang yen Jepang menguat 0,82% dan franc Swiss terapresiasi 0,34% terhadap greenback.
Namun harapan tiba seiring langkah Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate sampai 50 basis poin menjadi 5,25%. Kenaikan ini di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, yang hanya memperkirakan sebesar 25 basis poin menjadi 5%.
Perry Warjiyo, Gubernur BI, mengungkapkan bahwa kebijakan ini merupakan langkah lanjutan bank sentral untuk selalu preemtif, front loading, dan ahead the curve. Selain itu, kebijakan ini ini ditempuh untuk membuat pasar keuangan Indonesia punya daya saing, karena mampu memberikan keuntungan yang menarik bagi investor.
Kenaikan suku bunga ini bisa dibilang ampuh, karena mampu memancing arus modal untuk masuk ke Indonesia. Di pasar saham, investor asing mencatatkan beli bersih senilai Rp 359,31 triliun yang membuat IHSG melambung lebih dari 2%.
Sementara di pasar obligasi, masuknya arus modal terlihat dari kenaikan harga dan penurunan imbal hasil (yield). Akhir pekan lalu, harga obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik dari 88,462% menjadi 88,583%. Sedangkan yield turun dari 7,823% menjadi 7,803%.
Arus modal di pasar saham dan obligasi ini menjadi bahan bakar bagi penguatan rupiah. Pada perdagangan akhir pekan lalu, rupiah menguat 0,42% terhadap dolar AS. Namun berbagai hal positif itu datang agak terlambat. Sebab mereka tidak mampu menolong kinerja IHSG maupun rupiah yang secara mingguan masih terjebak di zona merah.
Pada perdagangan akhir pekan lalu, IHSG meroket dengan penguatan 2,33%. Meski demikian, IHSG masih terkoreksi 1,02% selama sepekan kemarin.
Pekan lalu, sentimen domestik maupun global kurang kondusif bagi IHSG. Dari dalam negeri, sentimen negatif utamanya hadir dari rilis data perdagangan internasional.
Awal pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia periode Mei 2018 defisit cukup dalam yaitu US$ 1,52 miliar. Pada bulan sebelumnya, neraca perdagangan juga membukukan defisit yang mencapai US$ 1,63 miliar.
Defisit neraca perdagangan membuat pasar menyangsikan prospek transaksi berjalan (current account) Indonesia pada kuartal II-2018. Bisa jadi transaksi berjalan mencetak defisit yang lebih dalam dibandingkan kuartal I-2018 yang sebesar 2,15% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Saat transaksi berjalan defisit, artinya pasokan devisa dari sektor perdagangan kurang memadai. Padahal pasokan devisa dari perdagangan adalah yang bertahan lama (sustain) dibandingkan portofolio di sektor keuangan yang mudah datang dan pergi.
Oleh karena itu, pasar berpersepsi pijakan rupiah untuk terapresiasi tidak terlampau kuat karena minimnya sokongan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Akibatnya, bisa jadi ke depan rupiah lebih melemah lagi.
Saat rupiah dalam tren depresiasi, memegang aset dalam mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Akibatnya, terjadi pelepasan terhadap aset-aset berdenominasi rupiah.
Di pasar saham, selama pekan lalu investor asing membukukan nilai jual bersih Rp 2,14 triliun. Sementara di pasar obligasi, sepanjang 25-28 Juni kepemilikan asing berkurang Rp 1,33 triliun.
Aksi jual ini akhirnya membuat persepsi menjadi kenyataan alias self fulfilling prophecy. Rupiah yang awalnya hanya diperkirakan melemah jadi melemah sungguhan karena maraknya aksi jual, terutama oleh investor asing. Sepanjang pekan lalu, rupiah melemah 1,22% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Sementara dari eksternal, sentimen negatif yang dominan adalah perang dagang yang kini merambat ke perang investasi. Presiden AS Donald Trump berencana membatasi aktivitas investasi China. Caranya adalah melarang entitas yang minimal 25% sahamnya dimiliki oleh pihak China untuk menanamkan modalnya di perusahaan-perusahaan AS.
Langkah ini dilakukan untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual dan teknologi AS. China memang santer dikabarkan ingin menjadi yang terdepan dalam bidang teknologi, cita-cita yang dituangkan dalam program besar bernama Made in China 2025.
Investor dibuat tidak nyaman dengan perkembangan ini. Perang dagang dan investasi tentu akan mengancam prospek pertumbuhan ekonomi global. Dalam situasi gonjang-ganjing seperti ini, pelaku pasar memilih untuk bermain aman dan meninggalkan instrumen berisiko seperti saham.
Aset-aset aman (safe haven) pun kebanjiran peminat dan nilainya naik. Sepanjang pekan lalu, mata uang yen Jepang menguat 0,82% dan franc Swiss terapresiasi 0,34% terhadap greenback.
Namun harapan tiba seiring langkah Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate sampai 50 basis poin menjadi 5,25%. Kenaikan ini di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, yang hanya memperkirakan sebesar 25 basis poin menjadi 5%.
Perry Warjiyo, Gubernur BI, mengungkapkan bahwa kebijakan ini merupakan langkah lanjutan bank sentral untuk selalu preemtif, front loading, dan ahead the curve. Selain itu, kebijakan ini ini ditempuh untuk membuat pasar keuangan Indonesia punya daya saing, karena mampu memberikan keuntungan yang menarik bagi investor.
Kenaikan suku bunga ini bisa dibilang ampuh, karena mampu memancing arus modal untuk masuk ke Indonesia. Di pasar saham, investor asing mencatatkan beli bersih senilai Rp 359,31 triliun yang membuat IHSG melambung lebih dari 2%.
Sementara di pasar obligasi, masuknya arus modal terlihat dari kenaikan harga dan penurunan imbal hasil (yield). Akhir pekan lalu, harga obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik dari 88,462% menjadi 88,583%. Sedangkan yield turun dari 7,823% menjadi 7,803%.
Arus modal di pasar saham dan obligasi ini menjadi bahan bakar bagi penguatan rupiah. Pada perdagangan akhir pekan lalu, rupiah menguat 0,42% terhadap dolar AS. Namun berbagai hal positif itu datang agak terlambat. Sebab mereka tidak mampu menolong kinerja IHSG maupun rupiah yang secara mingguan masih terjebak di zona merah.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular