
Pekan Ini Jadi Milik Bank Sentral
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 June 2018 09:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini menjadi periode yang sibuk bagi pelaku pasar. Bagaimana tidak, investor diwajibkan memantau tiga pertemuan bank sentral besar. Masing-masing punya isu yang harus digarisbawahi dan direspons dengan cara berbeda.
Pertama adalah pertemuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed. Sebelum rapat, pasar sudah berekspektasi bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan menjadi 1,75-2%. Probabilitas kenaikan 25 basis poin ini adalah 96,3%, menurut CME Fedwatch.
Benar saja. Pada Kamis (14/6/2018) waktu Indonesia, The Fed benar-benar menaikkan suku bunga ke tingkat yang sudah diperkirakan. Tidak hanya itu, The Fed pun memberi sedikit kejutan.
Kemungkinan The Fed menaikkan kadar pengetatan moneter kian terbuka. Ini terlihat dari dot plot (proyeksi suku bunga dari The Fed negara bagian) yang semakin bergerak ke atas.
Pada pertemuan Maret, median dot plot masih menunjukkan suku bunga acuan pada akhir 2018 ada di 2-2,5%. Artinya tinggal butuh sekali kenaikan 25 basis poin lagi, atau menjadi tiga kali kenaikan selama 2018.
Namun pada rapat edisi Juni, median sudah bergerak ke 2,25-2,5%. Ini berarti butuh dua kali kenaikan masing-masing 25 basis poin, sehingga sepanjang 2018 kemungkinan terjadi empat kali kenaikan suku bunga.
Semestinya kejutan ini membuat mata uang dolar AS perkasa. Namun ternyata tidak. Greenback justru tertekan habis kala The Fed menaikkan suku bunga. Saat itu, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) malah melemah sampai ke kisaran 0,4%.
Penyebabnya adalah investor saat itu sedang mengantisipasi pertemuan bank sentral yang kedua, yaitu European Central Bank (ECB). Bank sentral Benua Biru diperkirakan mulai mengurangi dosis stimulus moneter melalui pembelian surat-surat berharga alias quantitative easing.
Ini dilakukan karena ekonomi Eropa sudah membaik, sehingga ECB perlu mengarahkan kebijakan moneter cenderung bias ketat untuk mengendalikan ekspektasi inflasi. Perkembangan ini membuat euro menguat cukup tajam terhadap mata uang global. Di hadapan greenback, euro menguat sampai ke level 0,3%.
Pada Jumat (15/6/2018) waktu Indonesia, hasil rapat ECB memutuskan untuk mengakhiri program stimulus moneter pada akhir 2018, dan mulai mengurangi dosisnya pada September tahun ini. Hingga sekarang, ECB masih memborong surat berharga senilai 30 miliar euro (Rp 490,62 triliun) setiap bulannya. Namun mulai September, nilainya akan dikurangi setengahnya sebelum selesai pada akhir tahun.
Pengurangan stimulus atau tapering adalah pintu masuk menuju pengetatan moneter melalui kenaikan suku bunga. ECB memberi sinyal bahwa kenaikan suku bunga sepertinya baru ditempuh pada pertengahan tahun depan, tetapi itu pun masih abu-abu.
"Dewan memperkirakan suku bunga kebijakan akan masih bertahan di level yang sekarang setidaknya sampai musim panas 2019. Suku bunga akan dipertahankan sepanjang itu dibutuhkan," sebut ECB dalam pernyataan resminya.
Kalimat terakhir itu tidak sesuai dengan ekspektasi pasar. Investor memperkirakan setidaknya ECB lebih berani dan mulai tegas mengeksekusi kenaikan suku bunga pada pertengahan tahun depan.
Sikap ECB yang belum tegas dan masih mengambang ini membuat investor mulai melepas euro. Mata uang tunggal Uni Eropa pun melemah cukup tajam terhadap dolar AS.
Selepas ECB, investor langsung disibukkan dengan pertemuan bank sentral yang ketiga yaitu Bank of Japan (BoJ). Pada Jumat (15/6/2018) waktu Indonesia, BoJ memutuskan untuk masih memberlakukan kebijakan moneter longgar dengan suku bunga acuan -0,1%. Ini sesuai dengan ekspektasi pasar.
"Pasar tenaga kerja Jepang membaik, tetapi harga belum betul-betul naik. Oleh karena itu, kebijakan yang paling pantas saat ini adalah lebih sabar dan mempertahankan pelonggaran moneter," ujar Haruhiko Kuroda, Gubernur BoJ, seperti dikutip Reuters.
Jepang memang masih mendambakan inflasi. Ada harapan pada dua bulan pertama 2018, di mana laju inflasi mulai terakselerasi. Namun setelah itu lajunya justru melambat. Situasi ini menandakan ekonomi Negeri Matahari Terbit belum menggeliat, karena tidak ada tekanan kenaikan harga.
Dengan situasi ini, sepertinya jalan menuju pengetatan moneter di Jepang masih panjang. "Saat ini masih terlalu awal untuk bicara soal normalisasi dan exit policy," ujar Kuroda.
Investor merespons hasil rapat BoJ dengan membeli mata uang yen Jepang, sebab yang terjadi sesuai ekspektasi. Yen pun menguat pada saat itu, meski sempat melemah sampai tengah hari.
Di tengah hiruk-pikuk pasar pekan ini, Indonesia santai saja. Pasar keuangan domestik memang libur karena cuti bersama menyambut Hari Raya Idul Fitri. Investor sedang bermaaf-maafan untuk kembali ke fitrah.
Mungkin ada hikmahnya pasar keuangan libur, karena Indonesia menjadi relatif imun terhadap gonjang-ganjing yang terjadi pekan ini. Namun perlu dicatat bahwa saat pasar mulai aktif kembali pada 20 Juni, investor bisa mengalami jetlag karena perlu adaptasi mengikuti dinamika yang sudah bergerak jauh. Pasar Indonesia harus memperpendek jarak (catching up) dengan pasar dunia yang sudah jauh di depan, dan mungkin prosesnya bisa sedikit bergelombang alias bumpy.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Tak Ada Angin Tak Ada Hujan, The Fed Pangkas Bunga Acuan!
Pertama adalah pertemuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed. Sebelum rapat, pasar sudah berekspektasi bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan menjadi 1,75-2%. Probabilitas kenaikan 25 basis poin ini adalah 96,3%, menurut CME Fedwatch.
Benar saja. Pada Kamis (14/6/2018) waktu Indonesia, The Fed benar-benar menaikkan suku bunga ke tingkat yang sudah diperkirakan. Tidak hanya itu, The Fed pun memberi sedikit kejutan.
Pada pertemuan Maret, median dot plot masih menunjukkan suku bunga acuan pada akhir 2018 ada di 2-2,5%. Artinya tinggal butuh sekali kenaikan 25 basis poin lagi, atau menjadi tiga kali kenaikan selama 2018.
Namun pada rapat edisi Juni, median sudah bergerak ke 2,25-2,5%. Ini berarti butuh dua kali kenaikan masing-masing 25 basis poin, sehingga sepanjang 2018 kemungkinan terjadi empat kali kenaikan suku bunga.
Semestinya kejutan ini membuat mata uang dolar AS perkasa. Namun ternyata tidak. Greenback justru tertekan habis kala The Fed menaikkan suku bunga. Saat itu, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) malah melemah sampai ke kisaran 0,4%.
![]() |
Penyebabnya adalah investor saat itu sedang mengantisipasi pertemuan bank sentral yang kedua, yaitu European Central Bank (ECB). Bank sentral Benua Biru diperkirakan mulai mengurangi dosis stimulus moneter melalui pembelian surat-surat berharga alias quantitative easing.
Ini dilakukan karena ekonomi Eropa sudah membaik, sehingga ECB perlu mengarahkan kebijakan moneter cenderung bias ketat untuk mengendalikan ekspektasi inflasi. Perkembangan ini membuat euro menguat cukup tajam terhadap mata uang global. Di hadapan greenback, euro menguat sampai ke level 0,3%.
Pada Jumat (15/6/2018) waktu Indonesia, hasil rapat ECB memutuskan untuk mengakhiri program stimulus moneter pada akhir 2018, dan mulai mengurangi dosisnya pada September tahun ini. Hingga sekarang, ECB masih memborong surat berharga senilai 30 miliar euro (Rp 490,62 triliun) setiap bulannya. Namun mulai September, nilainya akan dikurangi setengahnya sebelum selesai pada akhir tahun.
Pengurangan stimulus atau tapering adalah pintu masuk menuju pengetatan moneter melalui kenaikan suku bunga. ECB memberi sinyal bahwa kenaikan suku bunga sepertinya baru ditempuh pada pertengahan tahun depan, tetapi itu pun masih abu-abu.
"Dewan memperkirakan suku bunga kebijakan akan masih bertahan di level yang sekarang setidaknya sampai musim panas 2019. Suku bunga akan dipertahankan sepanjang itu dibutuhkan," sebut ECB dalam pernyataan resminya.
Kalimat terakhir itu tidak sesuai dengan ekspektasi pasar. Investor memperkirakan setidaknya ECB lebih berani dan mulai tegas mengeksekusi kenaikan suku bunga pada pertengahan tahun depan.
Sikap ECB yang belum tegas dan masih mengambang ini membuat investor mulai melepas euro. Mata uang tunggal Uni Eropa pun melemah cukup tajam terhadap dolar AS.
![]() |
Selepas ECB, investor langsung disibukkan dengan pertemuan bank sentral yang ketiga yaitu Bank of Japan (BoJ). Pada Jumat (15/6/2018) waktu Indonesia, BoJ memutuskan untuk masih memberlakukan kebijakan moneter longgar dengan suku bunga acuan -0,1%. Ini sesuai dengan ekspektasi pasar.
"Pasar tenaga kerja Jepang membaik, tetapi harga belum betul-betul naik. Oleh karena itu, kebijakan yang paling pantas saat ini adalah lebih sabar dan mempertahankan pelonggaran moneter," ujar Haruhiko Kuroda, Gubernur BoJ, seperti dikutip Reuters.
Jepang memang masih mendambakan inflasi. Ada harapan pada dua bulan pertama 2018, di mana laju inflasi mulai terakselerasi. Namun setelah itu lajunya justru melambat. Situasi ini menandakan ekonomi Negeri Matahari Terbit belum menggeliat, karena tidak ada tekanan kenaikan harga.
![]() |
Dengan situasi ini, sepertinya jalan menuju pengetatan moneter di Jepang masih panjang. "Saat ini masih terlalu awal untuk bicara soal normalisasi dan exit policy," ujar Kuroda.
Investor merespons hasil rapat BoJ dengan membeli mata uang yen Jepang, sebab yang terjadi sesuai ekspektasi. Yen pun menguat pada saat itu, meski sempat melemah sampai tengah hari.
![]() |
Di tengah hiruk-pikuk pasar pekan ini, Indonesia santai saja. Pasar keuangan domestik memang libur karena cuti bersama menyambut Hari Raya Idul Fitri. Investor sedang bermaaf-maafan untuk kembali ke fitrah.
Mungkin ada hikmahnya pasar keuangan libur, karena Indonesia menjadi relatif imun terhadap gonjang-ganjing yang terjadi pekan ini. Namun perlu dicatat bahwa saat pasar mulai aktif kembali pada 20 Juni, investor bisa mengalami jetlag karena perlu adaptasi mengikuti dinamika yang sudah bergerak jauh. Pasar Indonesia harus memperpendek jarak (catching up) dengan pasar dunia yang sudah jauh di depan, dan mungkin prosesnya bisa sedikit bergelombang alias bumpy.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Tak Ada Angin Tak Ada Hujan, The Fed Pangkas Bunga Acuan!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular