
Ini Alasan Harga Batu Bara Terus Meroket Sejak April 2018
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
11 June 2018 11:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara ICE Newcastle kontrak berjangka ditutup melemah 0,22% ke US$113,85/ton pada perdagangan hari Jumat (08/06/2018). Meski demikian, dalam sepekan ini harga sang batu hitam masih mampu ditutup menguat 2,52%.
Harga batu bara bahkan mencetak rekor tertingginya sejak awal November 2016 di level US$114,1/ton, pada perdagangan hari Kamis (7/6/2018).
Kemudian, apabila ditinjau secara historis, sudah 8 pekan berturut-turut harga batu bara selalu mencetak performa yang positif secara mingguan. Peningkatan mingguan terbesar terjadi pada rentang 27 April - 4 Mei, di mana harga batu bara mampu menguat sebesar 7,37%. Pada pekan itu pulalah harga batu bara mampu kembali menembus level US$100/ton.
Meningkatnya volume permintaan yang tinggi di tahun ini, khususnya di Asia, menjadi biang keladi meroketnya harga komoditas sumber energi utama dunia ini. Padahal batu bara sempat dikhawatirkan sudah tidak akan populer lagi, mengingat sifatnya yang tidak ramah lingkungan.
Satu hal menarik lainnya, 4 importir utama di Benua Kuning meningkatkan permintaan batu baranya secara bersamaan pada tahun ini. Hal ini tidak biasanya terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
China mengimpor 104,5 juta ton batu bara pada periode Januari-Mei 2018. Jumlah ini meningkat 10,2% dari periode yang sama pada tahun 2017, mengutip data dari Reuters. Sementara itu, India, sang pengimpor terbesar kedua setelah Negeri Panda, mengimpor 77,4 juta ton pada 5 bulan pertama tahun ini, atau naik 3,3% secara tahunan.
Dari Asia Timur, Jepang yang menduduku peringkat no. 3 pengimpor batu bara terbesar di Asia, mengimpor 77,4 juta ton pada periode Januari-Mei 2018, naik 2,4 juta ton dari periode yang sama tahun lalu. Sedangkan, peringkat no.4 Korea Selatan mengimpor 51,7 juta ton, atau naik tipis 500.000 ton secara tahunan.
Apabila ditotal, keempat negara di atas telah mengimpor 16,1 juta ton lebih banyak dari tahun lalu, pada periode Januari-Mei 2018 ini.
Sementara itu, dari sisi pasokan, negara-negara pengekspor batu bara utama nampaknya menemui kesulitan dalam menghadapi permintaan yang tinggi tersebut. Faktanya, ekspor sang batu hitam dari tiga eksportir utama ke Asia cenderung flat pada periode Januari-Mei 2018.
Australia mengekspor 161,8 juta ton pada 5 bulan pertama tahun ini, hanya naik tipis 0,75% dari periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, ekspor Indonesia juga hanya naik sekitar 4%, dan ekspor Afrika Selatan flat di 33,6 juta, di periode yang sama.
Di Australia terhambatnya ekspor terjadi akibat ketidakmampuan untuk menggenjot produksi cukup cepat, sementara di Indonesia terjadi akibat pemerintah yang menerapkan aturan volume Domestic Market Obligation (DMO) yang lebih besar. Sedangkan Afrika Selatan saat ini sedang mengalami hambatan infrastruktur, utamanya pada sistem rel kereta pengiriman.
(RHG/RHG) Next Article China Serap Batu Bara Australia, Harga Berangsur Naik
Harga batu bara bahkan mencetak rekor tertingginya sejak awal November 2016 di level US$114,1/ton, pada perdagangan hari Kamis (7/6/2018).
![]() |
Meningkatnya volume permintaan yang tinggi di tahun ini, khususnya di Asia, menjadi biang keladi meroketnya harga komoditas sumber energi utama dunia ini. Padahal batu bara sempat dikhawatirkan sudah tidak akan populer lagi, mengingat sifatnya yang tidak ramah lingkungan.
Satu hal menarik lainnya, 4 importir utama di Benua Kuning meningkatkan permintaan batu baranya secara bersamaan pada tahun ini. Hal ini tidak biasanya terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
China mengimpor 104,5 juta ton batu bara pada periode Januari-Mei 2018. Jumlah ini meningkat 10,2% dari periode yang sama pada tahun 2017, mengutip data dari Reuters. Sementara itu, India, sang pengimpor terbesar kedua setelah Negeri Panda, mengimpor 77,4 juta ton pada 5 bulan pertama tahun ini, atau naik 3,3% secara tahunan.
![]() |
Dari Asia Timur, Jepang yang menduduku peringkat no. 3 pengimpor batu bara terbesar di Asia, mengimpor 77,4 juta ton pada periode Januari-Mei 2018, naik 2,4 juta ton dari periode yang sama tahun lalu. Sedangkan, peringkat no.4 Korea Selatan mengimpor 51,7 juta ton, atau naik tipis 500.000 ton secara tahunan.
Apabila ditotal, keempat negara di atas telah mengimpor 16,1 juta ton lebih banyak dari tahun lalu, pada periode Januari-Mei 2018 ini.
Sementara itu, dari sisi pasokan, negara-negara pengekspor batu bara utama nampaknya menemui kesulitan dalam menghadapi permintaan yang tinggi tersebut. Faktanya, ekspor sang batu hitam dari tiga eksportir utama ke Asia cenderung flat pada periode Januari-Mei 2018.
Australia mengekspor 161,8 juta ton pada 5 bulan pertama tahun ini, hanya naik tipis 0,75% dari periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, ekspor Indonesia juga hanya naik sekitar 4%, dan ekspor Afrika Selatan flat di 33,6 juta, di periode yang sama.
Di Australia terhambatnya ekspor terjadi akibat ketidakmampuan untuk menggenjot produksi cukup cepat, sementara di Indonesia terjadi akibat pemerintah yang menerapkan aturan volume Domestic Market Obligation (DMO) yang lebih besar. Sedangkan Afrika Selatan saat ini sedang mengalami hambatan infrastruktur, utamanya pada sistem rel kereta pengiriman.
(RHG/RHG) Next Article China Serap Batu Bara Australia, Harga Berangsur Naik
Most Popular