
Bos BEI: Asing Khawatir Bobot Investasi ke Indonesia Turun
Monica Wareza, CNBC Indonesia
21 May 2018 13:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membuat bobot saham-saham Indonesia di indeks MSCI berkurang. Kondisi ini membuat investor asing mengurangi porsi investasi di pasar saham Indonesia.
Direktur Utama BEI Tito Sulistio mengatakan akumulasi jual asing yang terjadi saat ini merupakan bentuk kekhawatiran akan ada potensi pengurang bobot investasi untuk Indonesia. Menurut Tito, ada dua hal yang ia khawatirkan yang berpotensi asing tidak masuk pasar saham domestik.
Pertama, masuknya 234 saham A-Shares China ke dalam penyusunan indeks MSCI. Masuknya saham-saham tersebut membuat porsi saham-saham Indonesia menjadi terdilusi.
Kedua, rencana pencatatan saham perdana (IPO) yang akan dilakukan oleh perusahaan minyak terbesar di dunia, Saudi Aramco.
"Permasalahnya China membuka saham seri A nya, ada 234 saham seri A China masuk dalam perhitungan MSCI. Sehingga bobot China naik, ini memang secara hitung mendilusi boboy kita sekitar 0,04%. Ya sudah kejadian kan yang ditakutin," kata Tito di Gedung BEI, Jakarta, Senin (21/5).
Tito menyebutkan China membuka saham seri A nya, ada 230 saham seri A China masuk dalam perhitungan MSCI. Sehingga bobot China naik, ini memang secara hitung mendilusi boboy kita sekitar 0,04%. Sementara Indonesia hanya punya porsi Sebesar 2,2% dari total dana sebesar US$ 12,7 triliun yang ikut dalam MSCI.
Sementara itu, beberapa waktu lalu MSCI Small Cap Indeks atau jajaran saham Indonesia berkapitalisasi kecil mengeluarkan lima saham yakni PT Totalindo Eka Persada Rbk (TOPS), PT Intiland Development Tbk (DILD), PT Indofarma Tbk (INAF), PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA), dan PT Wijaya Karya Beton (WTON). Untuk menggantikannya, hanya satu saham yang masuk dalam indeks tersebut yakni hanya satu saham yakni PT Trada Alam Minera (TRAM).
Sementara itu, MSCI Global Standard Index untuk Indonesia mengeluarkan saham PT XL Axiata Tbk (EXCL). Sebagai penggantinya Morgan Stanley memasukan saham PT Indah Kiat Pulp Tbk (INKP).
Hal ini berbanding terbalik dengan yang dilakukan indeks tersebut atas saham-saham di China, tercatat terdapat 302 saham dari negara tirai bambu tersebut masuk dalam daftar terseubt.
"Kemudian yang saya khawatir kenapa China masuknya di kategori emerging market, harusnya masuk developt market," imbuh dia.
Hal lainnya yang dikhawatirkan Tito adalah langkah IPO Saudi Aramco. Sebab nilai kapitalisasi pasar Saudi Aramco jika jadi IPO diperkirakan lebih dari US$ 1 triliun. Hal itu tentu juga akan mengurangi bobot Indonesia di MSCI.
Untuk itu, dia selalu mendorong peningkatan kapitalisasi pasar agar menjadi Rp 10 triliun pada 2020 mendatang agar bobot Indonesia tak makin terdilusi di MSCI. Langkah tersebut masih sangat berat mengingat hingga hari ini saja market cap IHSG baru berada tak jauh dari Rp 6.400 triliun.
Dari awal tahun hingga akhir pekan lalu, nilai jual bersih investor asing tercatat mencapai Rp 41 triliun.
(hps) Next Article Jelang Rilis Data Inflasi AS, Bursa Eropa Tetap Tegar
Direktur Utama BEI Tito Sulistio mengatakan akumulasi jual asing yang terjadi saat ini merupakan bentuk kekhawatiran akan ada potensi pengurang bobot investasi untuk Indonesia. Menurut Tito, ada dua hal yang ia khawatirkan yang berpotensi asing tidak masuk pasar saham domestik.
Pertama, masuknya 234 saham A-Shares China ke dalam penyusunan indeks MSCI. Masuknya saham-saham tersebut membuat porsi saham-saham Indonesia menjadi terdilusi.
"Permasalahnya China membuka saham seri A nya, ada 234 saham seri A China masuk dalam perhitungan MSCI. Sehingga bobot China naik, ini memang secara hitung mendilusi boboy kita sekitar 0,04%. Ya sudah kejadian kan yang ditakutin," kata Tito di Gedung BEI, Jakarta, Senin (21/5).
Tito menyebutkan China membuka saham seri A nya, ada 230 saham seri A China masuk dalam perhitungan MSCI. Sehingga bobot China naik, ini memang secara hitung mendilusi boboy kita sekitar 0,04%. Sementara Indonesia hanya punya porsi Sebesar 2,2% dari total dana sebesar US$ 12,7 triliun yang ikut dalam MSCI.
Sementara itu, beberapa waktu lalu MSCI Small Cap Indeks atau jajaran saham Indonesia berkapitalisasi kecil mengeluarkan lima saham yakni PT Totalindo Eka Persada Rbk (TOPS), PT Intiland Development Tbk (DILD), PT Indofarma Tbk (INAF), PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA), dan PT Wijaya Karya Beton (WTON). Untuk menggantikannya, hanya satu saham yang masuk dalam indeks tersebut yakni hanya satu saham yakni PT Trada Alam Minera (TRAM).
Sementara itu, MSCI Global Standard Index untuk Indonesia mengeluarkan saham PT XL Axiata Tbk (EXCL). Sebagai penggantinya Morgan Stanley memasukan saham PT Indah Kiat Pulp Tbk (INKP).
Hal ini berbanding terbalik dengan yang dilakukan indeks tersebut atas saham-saham di China, tercatat terdapat 302 saham dari negara tirai bambu tersebut masuk dalam daftar terseubt.
"Kemudian yang saya khawatir kenapa China masuknya di kategori emerging market, harusnya masuk developt market," imbuh dia.
Hal lainnya yang dikhawatirkan Tito adalah langkah IPO Saudi Aramco. Sebab nilai kapitalisasi pasar Saudi Aramco jika jadi IPO diperkirakan lebih dari US$ 1 triliun. Hal itu tentu juga akan mengurangi bobot Indonesia di MSCI.
Untuk itu, dia selalu mendorong peningkatan kapitalisasi pasar agar menjadi Rp 10 triliun pada 2020 mendatang agar bobot Indonesia tak makin terdilusi di MSCI. Langkah tersebut masih sangat berat mengingat hingga hari ini saja market cap IHSG baru berada tak jauh dari Rp 6.400 triliun.
Dari awal tahun hingga akhir pekan lalu, nilai jual bersih investor asing tercatat mencapai Rp 41 triliun.
(hps) Next Article Jelang Rilis Data Inflasi AS, Bursa Eropa Tetap Tegar
Most Popular