
Impor Melonjak, Saham Barang Konsumsi Kok Anjlok?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 May 2018 15:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia periode April secara mengejutkan tercatat defisit. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan defisit neraca perdagangan bulan lalu sebesar US$ 1,63 miliar, jauh di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yakni surplus sebesar US$ 672 juta.
Penyebab defisit tersebut adalah pertumbuhan impor yang jauh lebih kencang melebihi ekspor: impor meroket hingga 34,68% YoY, sementara ekspor hanya tumbuh sebesar 9,01% YoY. Kinerja impor terdongkrak oleh impor barang konsumsi yang melejit hingga 38,01% YoY menjadi US$ 1,5 miliar, dari yang sebelumnya US$ 1,1 miliar.
Hal ini tentu menjadi pertanda positif bagi daya beli masyarakat Indonesia yang sudah tertekan sepanjang tahun ini. Derasnya impor barang konsumsi memberi sinyal bahwa daya beli sudah mulai pulih.
Seharusnya, saham-saham di sektor barang konsumsi ikut terkerek naik merespon sentimen tersebut. Terlebih, indeks saham sektor barang konsumsi telah anjlok hingga 12,7% sepanjang tahun ini (sampai dengan penutupan perdagangan kemarin, 14/5/2018).
Namun, kenyataannya tak demikian. Sampai dengan berita ini diturunkan, indeks saham sektor barang konsumsi melemah 2,11%, menjadikannya sektor dengan kontribusi negatif terbesar kedua bagi IHSG.
Saham-saham sektor barang konsumsi yang dilepas investor diantaranya: PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-2,94%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-2,12%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-1,91%), PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (-3,46%), dan PT Mayora Indah Tbk/MYOR (-4,18%).
Apa yang menyebabkan pelaku pasar masih melepas saham-saham sektor barang konsumsi?
Melebarnya Defisit NPI
Walaupun impor barang konsumsi meroket, sejatinya defisit neraca perdagangan secara keseluruhan lah yang menjadi perhatian utama investor. Sepanjang kuartal-I 2018, neraca perdagangan membukukan surplus senilai US$ 314,4 juta. Namun, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tercatat membukukan defisit senilai US$ 3,85 miliar. Jika kini neraca perdagangan saja sudah defisit, maka bisa diekspektasikan bahwa defisit NPI kuartal-II akan membengkak.
Hal ini membuat investor meragukan taji dari rupiah dan melakukan aksi jual. Rupiah pun berada dalam tekanan. Sampai dengan berita ini diturunkan, rupiah melemah 0,43% ke level Rp 14.025/dolar AS.
Dalam beberapa periode ke depan, melemahnya rupiah akan menjadi bumerang bagi daya beli masyarakat. Pasalnya, emiten-emiten sektor barang konsumsi yang mengandalkan impor guna memenuhi kebutuhan bahan bakunya bisa dipaksa menaikkan harga jual. Akibatnya, daya beli masyarakat akan tertekan.
Kenaikan Suku Bunga Acuan
Kedua, kenaikan suku bunga acuan yang mungkin akan diambil oleh Bank Indonesia (BI) pada 17 Mei mendatang juga bisa mendatangkan petaka bagi daya beli masyarakat Indonesia. Kini, beberapa ekonom memperkirakan bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25bps.
Jika suku bunga acuan benar dinaikkan, suku bunga kredit juga dimungkinkan terkerek naik, sehingga biaya dana (cost of fund) dari emiten-emiten sektor barang konsumsi akan semakin mahal. Jika pada akhirnya mereka memutuskan untuk mengoper kenaikan biaya dana ini dengan menaikkan harga jual produknya, lagi-lagi daya beli masyarakat yang menjadi taruhannya.
Dengan memperhitungkan hal-hal di atas, memang masih sulit bagi saham-saham sektor barang konsumsi untuk dapat mencatatkan penguatan yang berkelanjutan dalam waktu dekat.
Next Article Pajak Impor Naik, Ini Dampak ke Saham Barang Konsumsi
Penyebab defisit tersebut adalah pertumbuhan impor yang jauh lebih kencang melebihi ekspor: impor meroket hingga 34,68% YoY, sementara ekspor hanya tumbuh sebesar 9,01% YoY. Kinerja impor terdongkrak oleh impor barang konsumsi yang melejit hingga 38,01% YoY menjadi US$ 1,5 miliar, dari yang sebelumnya US$ 1,1 miliar.
Hal ini tentu menjadi pertanda positif bagi daya beli masyarakat Indonesia yang sudah tertekan sepanjang tahun ini. Derasnya impor barang konsumsi memberi sinyal bahwa daya beli sudah mulai pulih.
Namun, kenyataannya tak demikian. Sampai dengan berita ini diturunkan, indeks saham sektor barang konsumsi melemah 2,11%, menjadikannya sektor dengan kontribusi negatif terbesar kedua bagi IHSG.
Saham-saham sektor barang konsumsi yang dilepas investor diantaranya: PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-2,94%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-2,12%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-1,91%), PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (-3,46%), dan PT Mayora Indah Tbk/MYOR (-4,18%).
Apa yang menyebabkan pelaku pasar masih melepas saham-saham sektor barang konsumsi?
Melebarnya Defisit NPI
Walaupun impor barang konsumsi meroket, sejatinya defisit neraca perdagangan secara keseluruhan lah yang menjadi perhatian utama investor. Sepanjang kuartal-I 2018, neraca perdagangan membukukan surplus senilai US$ 314,4 juta. Namun, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tercatat membukukan defisit senilai US$ 3,85 miliar. Jika kini neraca perdagangan saja sudah defisit, maka bisa diekspektasikan bahwa defisit NPI kuartal-II akan membengkak.
Hal ini membuat investor meragukan taji dari rupiah dan melakukan aksi jual. Rupiah pun berada dalam tekanan. Sampai dengan berita ini diturunkan, rupiah melemah 0,43% ke level Rp 14.025/dolar AS.
Dalam beberapa periode ke depan, melemahnya rupiah akan menjadi bumerang bagi daya beli masyarakat. Pasalnya, emiten-emiten sektor barang konsumsi yang mengandalkan impor guna memenuhi kebutuhan bahan bakunya bisa dipaksa menaikkan harga jual. Akibatnya, daya beli masyarakat akan tertekan.
Kenaikan Suku Bunga Acuan
Kedua, kenaikan suku bunga acuan yang mungkin akan diambil oleh Bank Indonesia (BI) pada 17 Mei mendatang juga bisa mendatangkan petaka bagi daya beli masyarakat Indonesia. Kini, beberapa ekonom memperkirakan bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25bps.
Jika suku bunga acuan benar dinaikkan, suku bunga kredit juga dimungkinkan terkerek naik, sehingga biaya dana (cost of fund) dari emiten-emiten sektor barang konsumsi akan semakin mahal. Jika pada akhirnya mereka memutuskan untuk mengoper kenaikan biaya dana ini dengan menaikkan harga jual produknya, lagi-lagi daya beli masyarakat yang menjadi taruhannya.
Dengan memperhitungkan hal-hal di atas, memang masih sulit bagi saham-saham sektor barang konsumsi untuk dapat mencatatkan penguatan yang berkelanjutan dalam waktu dekat.
Next Article Pajak Impor Naik, Ini Dampak ke Saham Barang Konsumsi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular