
Harga Minyak dan Konsumsi China Dukung Harga Batu Bara
Houtmand P Saragih & Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
11 May 2018 10:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara ICE Newcastle kontrak berjangka ditutup menguat 0,79% ke US$101,5/ton pada perdagangan kemarin, didukung oleh kuatnya konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik utama di China dan melambungnya harga minyak dunia.
Mengutip Bloomberg, konsumsi batu bara harian di 6 pembangkit listrik utama di Negeri Tirai Bambu meningkat menjadi 705.000 ton pada 9 Mei, atau mencapai level tertingginya sejak 10 Februari 2018 lalu. Secara month-to-month (MtM), level tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 11%.
Tingginya tingkat konsumsi tersebut mengonfirmasi sentimen masih kuatnya permintaan batu bara Negeri Tirai Bambu, bahkan dengan kebijakan pembatasan impor serta rencana untuk mengalihkan sumber energi ke energi bersih.
Sebagai informasi, impor batu bara China periode Januari-April 2018 sudah meningkat 9,3% year-on-year (YoY) ke level 97,68 juta ton. Sementara itu, ekspor batu bara Australia juga tercatat naik sebesar 3,8% secara week-to-week (WtW) ke level 7,1 juta ton, pada pekan yang berakhir pada 7 Mei. Capaian pengiriman batu bara dari Negeri Kangguru tersebut merupakan level tertinggi sejak pertengahan Maret 2018.
Nampaknya, masih banyak pembangkit listrik dan fasilitas industri di China yang bergantung pada si batu hitam. Sebagai catatan, meskipun menyandang status sebagai "sumber energi kotor", batu bara tetap menjadi bahan bakar yang paling banyak digunakan di dunia, khususnya di Benua Asia yang mengutilisasi 70% batu bara termal dunia saat ini.
Sentimen lainnya bagi penguatan harga batu bara adalah melambungnya harga minyak dunia hingga menyentuh level tertingginya sejak akhir November 2014, disokong oleh keputusan presiden AS Donald Trump untuk keluar dari kesepakatan nuklir Iran.
Alhasil, saat ini Iran sudah di ambang pengenaan sanksi yang akan mempengaruhi produksi dan distribusi minyak asal Negeri Persia tersebut. Sebagai informasi, Iran mengekspor minyak sebanyak 450.000 barel/hari ke Eropa dan 1,8 juta barel/hari ke Asia. Dengan sanksi ekonomi, dunia akan kehilangan potensi tersebut dan berujung pada kenaikan harga sang emas hitam.
Mundurnya Negeri Paman Sam dari kesepakatan nuklir yang dibuat pada 2015 tersebut bahkan mulai mengarah ke konflik bersenjata. Setelah pengumuman Trump, Israel (yang merupakan sekutu utama AS) menyerang pasukan Iran yang membantu pemerintah Suriah memerangi pemberontak dan ISIS. Negeri Zionis berdalih bahwa serangan tersebut diluncurkan sebagai balasan serangan misil kubu Suriah ke Dataran Tinggi Golan.
Jika skala perang semakin meluas, maka harga minyak masih berpotensi semakin melambung. Pasalnya, produksi dan distribusi minyak dari Timur Tengah dipastikan akan semakin terganggu.
Next Article China Serap Batu Bara Australia, Harga Berangsur Naik
Mengutip Bloomberg, konsumsi batu bara harian di 6 pembangkit listrik utama di Negeri Tirai Bambu meningkat menjadi 705.000 ton pada 9 Mei, atau mencapai level tertingginya sejak 10 Februari 2018 lalu. Secara month-to-month (MtM), level tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 11%.
Tingginya tingkat konsumsi tersebut mengonfirmasi sentimen masih kuatnya permintaan batu bara Negeri Tirai Bambu, bahkan dengan kebijakan pembatasan impor serta rencana untuk mengalihkan sumber energi ke energi bersih.
![]() |
Nampaknya, masih banyak pembangkit listrik dan fasilitas industri di China yang bergantung pada si batu hitam. Sebagai catatan, meskipun menyandang status sebagai "sumber energi kotor", batu bara tetap menjadi bahan bakar yang paling banyak digunakan di dunia, khususnya di Benua Asia yang mengutilisasi 70% batu bara termal dunia saat ini.
Sentimen lainnya bagi penguatan harga batu bara adalah melambungnya harga minyak dunia hingga menyentuh level tertingginya sejak akhir November 2014, disokong oleh keputusan presiden AS Donald Trump untuk keluar dari kesepakatan nuklir Iran.
Alhasil, saat ini Iran sudah di ambang pengenaan sanksi yang akan mempengaruhi produksi dan distribusi minyak asal Negeri Persia tersebut. Sebagai informasi, Iran mengekspor minyak sebanyak 450.000 barel/hari ke Eropa dan 1,8 juta barel/hari ke Asia. Dengan sanksi ekonomi, dunia akan kehilangan potensi tersebut dan berujung pada kenaikan harga sang emas hitam.
Mundurnya Negeri Paman Sam dari kesepakatan nuklir yang dibuat pada 2015 tersebut bahkan mulai mengarah ke konflik bersenjata. Setelah pengumuman Trump, Israel (yang merupakan sekutu utama AS) menyerang pasukan Iran yang membantu pemerintah Suriah memerangi pemberontak dan ISIS. Negeri Zionis berdalih bahwa serangan tersebut diluncurkan sebagai balasan serangan misil kubu Suriah ke Dataran Tinggi Golan.
Jika skala perang semakin meluas, maka harga minyak masih berpotensi semakin melambung. Pasalnya, produksi dan distribusi minyak dari Timur Tengah dipastikan akan semakin terganggu.
Next Article China Serap Batu Bara Australia, Harga Berangsur Naik
Most Popular