
Duh, Dalam Lima Bulan 2018 Risiko Investasi RI Melambung
Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
09 May 2018 14:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Credit Default Swap (CDS), sebuah ukuran yang menunjukkan tingkat persepsi risiko investasi untuk investor di Indonesia ternyata telah meningkat drastis dalam tiga bulan pertama tahun 2018. Di awal tahun 2018, CDS Indonesia (kontrak 5 tahun) masih menunjukkan angka yang menggembirakan yakni mencapai 76,56 bps. Namun hari ini, Rabu (9/5/2018) CDS Indonesia telah melambung mencapai 129,19 bps.
Nilai CDS digunakan sebagai indikator fundamental yang paling dicari oleh para investor besar dan para fund manager di seluruh dunia. Semakin tinggi CDS maka semakin tinggi risiko investasi yang harus dihadapi investor.
Angka CDS per 9 Mei 2018 seperti dalam data Reuters ini merupakan yang tertinggi sejak Mei 2017 lalu. Di mana Mei 2017 kemarin mencapai 131,54 bps.
Reuters menulis tingginya CDS Indonesia merupakan akibat dari merosotnya nilai tukar, tingginya harga minyak dunia, dan stagnasi yang terjadi dalam pertumbuhan ekonomi.
Rupiah memang menunjukkan level tertingginya sejak 2015 lalu. Saat ini rupiah per dolar AS masih melanjutkan pelemahannya. Dolar AS masih berada di dekat Rp 14.100.
Pada Rabu (9/5/2018) pukul 12:00 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 14.075. Rupiah melemah 0,21 % dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Pelemahan rupiah masih mendorong harga jual dolar AS di salah satu bank swasta nasional berada di atas Rp 14.200.
Jika melihat Indonesian Crude Price (ICP), harga minyak mentah Indonesia bulan April 2018 ditetapkan sebesar US$ 67,43 (Rp 937.277) per barel, atau naik US$ 5,56 dibanding bulan Maret sebesar US$ 61,87 per barel.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam keterangan resminya menyebut kenaikan harga sejalan dengan kondisi harga minyak mentah utama di pasar internasional pada April 2018 dibandingkan bulan sebelumnya.
Sementara, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) hari Senin (7/5/2018) hanya sekitar 5,06%.
Capaian tersebut berada jauh di bawah ekspektasi karena konsensus ekonom yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,18%.
Market 'menghukum' Indonesia saat ini melalui kenaikan risiko investasi atau CDS. Melambungnya rupiah, stagnasi pertumbuhan ekonomi, sampai harga minyak yang terus melambung di tengah gejolak perbaikan ekonomi AS dan perang dagang memunculkan sebuah fakta, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) harus hati-hati.
Jika tak mau ditinggalkan investornya, maka perbaikan atau obat harus segera diambil.
IHSG sendiri, telah melemah 9,1% year to date atau sejak awal 2018. Sementara investor asing telah melepas kepemilikan sahamnya hingga Rp 36,9 triliun selama 2018 ini.
Lelang surat utang pemerintah belakangan juga tidak menunjukkan hasil maksimal. Selain itu, pasar obligasi secara umum memang sedang tertekan. Imbal hasil (yield) obligasi negara AS tenor 10 tahun naik dan kemudian menembus level 3% akibat kekhawatiran percepatan laju inflasi dan bertambahnya pasokan untuk membiayai fiskal yang semakin ekspansif di bawah pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
Dalam situasi seperti ini, investor lebih memilih memegang mata uang karena mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan untuk meredam laju inflasi. Hasilnya adalah yield naik dan dolar AS terapresiasi.
Kenaikan yield SBN memang patut dicermati oleh pemerintah. Pasalnya, kenaikan yield akan mempengaruhi belanja negara khususnya pembayaran utang.
(wed) Next Article Ternyata Ini Penyebab Risiko Utang RI Terus Melonjak
Nilai CDS digunakan sebagai indikator fundamental yang paling dicari oleh para investor besar dan para fund manager di seluruh dunia. Semakin tinggi CDS maka semakin tinggi risiko investasi yang harus dihadapi investor.
Angka CDS per 9 Mei 2018 seperti dalam data Reuters ini merupakan yang tertinggi sejak Mei 2017 lalu. Di mana Mei 2017 kemarin mencapai 131,54 bps.
![]() |
Reuters menulis tingginya CDS Indonesia merupakan akibat dari merosotnya nilai tukar, tingginya harga minyak dunia, dan stagnasi yang terjadi dalam pertumbuhan ekonomi.
Rupiah memang menunjukkan level tertingginya sejak 2015 lalu. Saat ini rupiah per dolar AS masih melanjutkan pelemahannya. Dolar AS masih berada di dekat Rp 14.100.
Pada Rabu (9/5/2018) pukul 12:00 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 14.075. Rupiah melemah 0,21 % dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Pelemahan rupiah masih mendorong harga jual dolar AS di salah satu bank swasta nasional berada di atas Rp 14.200.
Jika melihat Indonesian Crude Price (ICP), harga minyak mentah Indonesia bulan April 2018 ditetapkan sebesar US$ 67,43 (Rp 937.277) per barel, atau naik US$ 5,56 dibanding bulan Maret sebesar US$ 61,87 per barel.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam keterangan resminya menyebut kenaikan harga sejalan dengan kondisi harga minyak mentah utama di pasar internasional pada April 2018 dibandingkan bulan sebelumnya.
Sementara, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) hari Senin (7/5/2018) hanya sekitar 5,06%.
Capaian tersebut berada jauh di bawah ekspektasi karena konsensus ekonom yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,18%.
Market 'menghukum' Indonesia saat ini melalui kenaikan risiko investasi atau CDS. Melambungnya rupiah, stagnasi pertumbuhan ekonomi, sampai harga minyak yang terus melambung di tengah gejolak perbaikan ekonomi AS dan perang dagang memunculkan sebuah fakta, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) harus hati-hati.
Jika tak mau ditinggalkan investornya, maka perbaikan atau obat harus segera diambil.
IHSG sendiri, telah melemah 9,1% year to date atau sejak awal 2018. Sementara investor asing telah melepas kepemilikan sahamnya hingga Rp 36,9 triliun selama 2018 ini.
Lelang surat utang pemerintah belakangan juga tidak menunjukkan hasil maksimal. Selain itu, pasar obligasi secara umum memang sedang tertekan. Imbal hasil (yield) obligasi negara AS tenor 10 tahun naik dan kemudian menembus level 3% akibat kekhawatiran percepatan laju inflasi dan bertambahnya pasokan untuk membiayai fiskal yang semakin ekspansif di bawah pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
Dalam situasi seperti ini, investor lebih memilih memegang mata uang karena mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan untuk meredam laju inflasi. Hasilnya adalah yield naik dan dolar AS terapresiasi.
Kenaikan yield SBN memang patut dicermati oleh pemerintah. Pasalnya, kenaikan yield akan mempengaruhi belanja negara khususnya pembayaran utang.
(wed) Next Article Ternyata Ini Penyebab Risiko Utang RI Terus Melonjak
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular