
Naik 7% Pekan Lalu, Harga Batu Bara Stabil di Atas US$100/ton
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
07 May 2018 11:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara berhasil rebound pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, dengan menguat 0,45% ke US$100,55/ton. Hasil positif tersebut berhasil dibukukan setelah sebelumnya harga si batu hitam terkoreksi dua hari berturut-turut di kisaran 1%.
Dengan catatan tersebut, harga batu bara berhasil meningkat sebesar 7,37% dalam sepekan lalu. Besarnya penguatan tersebut lantas membawa harga batu bara kembali bertengger di atas level US$100/ton.
Padahal sejak awal Maret 2018, harga batu bara terus menerus tertekan, dan hanya mampu bergerak di harga rata-rata US$95/ton hingga awal pekan lalu.
Trump akan memutuskan langkahnya pada 12 Mei mendatang. Bila rencana Trump benar-benar terjadi dan AS memutuskan memberikan sanksi ekonomi baru terhadap Iran, maka pasokan minyak dari Negeri Persia akan terganggu. Padahal Iran merupakan salah satu eksportir minyak utama di dunia.
Sebagai informasi naiknya harga harga minyak pada umumnya diikuti dengan harga batu bara, seiring sentimen makroekonomi yang positif biasanya mendorong permintaan kedua komoditas tersebut secara bersamaan, khususnya dalam siklus kondisi ekonomi global yang menggeliat.
Selain itu, naiknya harga minyak juga berpengaruh pada meningkatnya harga minyak diesel yang merupakan bahan baku penting untuk pertambangan batu bara. Alhasil, biaya produksi batu bara pun akan melonjak, dan akhirnya mengerek harga batu bara.
Faktor lainnya yang mampu menyokong harga batu bara pekan lalu datang dari sentimen meningkatnya permintaan si batu hitam, khususnya dari wilayah Asia. Melemahnya permintaan dari China akibat kebijakan pembatasan impor batu bara, nampaknya mampu diimbangi oleh peningkatan impor batu bara oleh India, Jepang, dan Korea Selatan.
Dari Korea Selatan, lebih dari 40% pembangkit listrik tenaga nuklir dinon-aktifkan saat ini, yang akhirnya menyebabkan mendorong permintaan batu bara.
Permintaan batu bara untuk dua tahun mendatang masih diekspektasikan stabil pada levelnya saat ini, meskipun berita utama di koran mungkin menyiratkan bahwa permintaan akan segera berakhir. Namun, pada kenyataannya, permintaan akan tetap solid beberapa tahun ke depan," ucap Hans van Cleef, ekonom energi senior dari ABN Amro, seperti dikutip dari Reuters.
Meskipun menyandang status sebagai "sumber energi kotor", batu bara tetap menjadi bahan bakar yang paling banyak digunakan di dunia, khususnya di Benua Asia yang mengutilisasi 73,78% batu bara termal dunia saat ini.
Bahkan, dengan rencana China untuk mengalihkan sumber energi ke energi bersih, permintaan batu bara saat ini masih tergolong kuat, seiring masih banyaknya pembangkit listrik dan fasilitas industri yang bergantung pada si batu hitam.
Namun, penguatan harga batu bara pekan lalu juga cenderung terbatas oleh investor yang mewaspadi perkembangan perundingan perdagangan antara Washington dan Beijing. Delegasi dari AS mengunjungi China pada Kamis-Jumat waktu setempat di pekan lalu, untuk memulai negosiasi perdagangan.
Sebelum ada kesepakatan yang substansial, sepertinya investor masih akan memasang mode defensif karena risiko perang dagang bisa muncul kapan saja. Perkembangan terbaru, Trump dalam cuitannya di media sosial Twitter menyatakan akan segera bertemu dengan delegasi AS yang sudah pulang ke Negeri Paman Sam, untuk membahas tindak lanjut ke depan.
Mengutip laporan Reuters, dalam perundingan yang berlangsung dua hari tersebut, pemerintahan Trump menuntut pemotongan surplus perdagangan China dengan AS sebesar US$200 miliar (Rp 2.786 triliun), tarif yang lebih jauh lebih rendah, dan subsidi untuk pengembangan teknologi canggih.
Di sisi lain, Beijing juga meminta AS untuk mengurangi sanksi bagi ZTE. Seperti diketahui, sebelumnya Negeri Paman Sam melarang perusahaan asal AS untuk mengekspor produknya ke ZTE, yang menjadi sebuah langkah yang mengancam kelangsungan bisnis perusahaan teknologi asal Negeri Tirai Bambu tersebut.
Apabila akhirnya tidak ada hasil yang baik dari pertemuan AS-China, tentunya akan menjadi energi negatif bagi harga batu bara ke depan, seiring munculnya sentimen terganggunya rantai perdagangan global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Next Article China Serap Batu Bara Australia, Harga Berangsur Naik
Dengan catatan tersebut, harga batu bara berhasil meningkat sebesar 7,37% dalam sepekan lalu. Besarnya penguatan tersebut lantas membawa harga batu bara kembali bertengger di atas level US$100/ton.
Padahal sejak awal Maret 2018, harga batu bara terus menerus tertekan, dan hanya mampu bergerak di harga rata-rata US$95/ton hingga awal pekan lalu.
![]() |
Energi positif bagi harga batu bara pekan lalu datang dari penguatan harga minyak global yang dipicu oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang berencana menarik diri dari perjanjian nuklir Iran yang dibuat oleh pemerintahan mantan presiden AS Barack Obama, bersama-sama dengan China, Prancis, Jerman, Rusia, dan Inggris.
Sebagai catatan, harga minyak jenis light sweet akhirnya mampu menembus level US$70/barel untuk pertama kalinya sejak November 2014, pada peka lalu. Capaian tersebut merupakan buah dari peningkatan harga minyak mentah AS tersebut sebesar lebih dari 2% dalam sepekan terakhir.
Sebagai catatan, harga minyak jenis light sweet akhirnya mampu menembus level US$70/barel untuk pertama kalinya sejak November 2014, pada peka lalu. Capaian tersebut merupakan buah dari peningkatan harga minyak mentah AS tersebut sebesar lebih dari 2% dalam sepekan terakhir.
Trump akan memutuskan langkahnya pada 12 Mei mendatang. Bila rencana Trump benar-benar terjadi dan AS memutuskan memberikan sanksi ekonomi baru terhadap Iran, maka pasokan minyak dari Negeri Persia akan terganggu. Padahal Iran merupakan salah satu eksportir minyak utama di dunia.
Sebagai informasi naiknya harga harga minyak pada umumnya diikuti dengan harga batu bara, seiring sentimen makroekonomi yang positif biasanya mendorong permintaan kedua komoditas tersebut secara bersamaan, khususnya dalam siklus kondisi ekonomi global yang menggeliat.
Selain itu, naiknya harga minyak juga berpengaruh pada meningkatnya harga minyak diesel yang merupakan bahan baku penting untuk pertambangan batu bara. Alhasil, biaya produksi batu bara pun akan melonjak, dan akhirnya mengerek harga batu bara.
Faktor lainnya yang mampu menyokong harga batu bara pekan lalu datang dari sentimen meningkatnya permintaan si batu hitam, khususnya dari wilayah Asia. Melemahnya permintaan dari China akibat kebijakan pembatasan impor batu bara, nampaknya mampu diimbangi oleh peningkatan impor batu bara oleh India, Jepang, dan Korea Selatan.
Dari Korea Selatan, lebih dari 40% pembangkit listrik tenaga nuklir dinon-aktifkan saat ini, yang akhirnya menyebabkan mendorong permintaan batu bara.
Permintaan batu bara untuk dua tahun mendatang masih diekspektasikan stabil pada levelnya saat ini, meskipun berita utama di koran mungkin menyiratkan bahwa permintaan akan segera berakhir. Namun, pada kenyataannya, permintaan akan tetap solid beberapa tahun ke depan," ucap Hans van Cleef, ekonom energi senior dari ABN Amro, seperti dikutip dari Reuters.
Meskipun menyandang status sebagai "sumber energi kotor", batu bara tetap menjadi bahan bakar yang paling banyak digunakan di dunia, khususnya di Benua Asia yang mengutilisasi 73,78% batu bara termal dunia saat ini.
Bahkan, dengan rencana China untuk mengalihkan sumber energi ke energi bersih, permintaan batu bara saat ini masih tergolong kuat, seiring masih banyaknya pembangkit listrik dan fasilitas industri yang bergantung pada si batu hitam.
Namun, penguatan harga batu bara pekan lalu juga cenderung terbatas oleh investor yang mewaspadi perkembangan perundingan perdagangan antara Washington dan Beijing. Delegasi dari AS mengunjungi China pada Kamis-Jumat waktu setempat di pekan lalu, untuk memulai negosiasi perdagangan.
Sebelum ada kesepakatan yang substansial, sepertinya investor masih akan memasang mode defensif karena risiko perang dagang bisa muncul kapan saja. Perkembangan terbaru, Trump dalam cuitannya di media sosial Twitter menyatakan akan segera bertemu dengan delegasi AS yang sudah pulang ke Negeri Paman Sam, untuk membahas tindak lanjut ke depan.
Mengutip laporan Reuters, dalam perundingan yang berlangsung dua hari tersebut, pemerintahan Trump menuntut pemotongan surplus perdagangan China dengan AS sebesar US$200 miliar (Rp 2.786 triliun), tarif yang lebih jauh lebih rendah, dan subsidi untuk pengembangan teknologi canggih.
Di sisi lain, Beijing juga meminta AS untuk mengurangi sanksi bagi ZTE. Seperti diketahui, sebelumnya Negeri Paman Sam melarang perusahaan asal AS untuk mengekspor produknya ke ZTE, yang menjadi sebuah langkah yang mengancam kelangsungan bisnis perusahaan teknologi asal Negeri Tirai Bambu tersebut.
Apabila akhirnya tidak ada hasil yang baik dari pertemuan AS-China, tentunya akan menjadi energi negatif bagi harga batu bara ke depan, seiring munculnya sentimen terganggunya rantai perdagangan global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Next Article China Serap Batu Bara Australia, Harga Berangsur Naik
Most Popular