
Kondisi Saat Ini Mirip 2015, IHSG Bisa Jatuh 25%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
29 April 2018 15:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan IHSG sepanjang pekan ini membuat gerah pelaku pasar. Bagaimana tidak, hanya dalam kurun 1 minggu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 6,6% ke level 5.919,24. Jika dihitung dari titik tertinggi yang dicapai pada 19 Februari silam, IHSG sudah anjlok sebesar 11,5%.
Investor pun dibuat bertanya-tanya, sampai di titik berapa IHSG akan jatuh?
Situasi yang dialami IHSG pada saat ini sama dengan kondisi pada tahun 2015 lalu. Pada tahun 2015, bursa saham jeblok lantaran laju ekonomi dalam negeri tak mampu memenuhi ekspektasi. Padahal, pelaku pasar sebelumnya menaruh harapan yang tinggi kala Joko Widodo mengambil alih kepemimpinan Indonesia pada 20 Oktober 2014. Terhitung semenjak mantan Wali Kota Solo tersebut dilantik, IHSG mencatatkan rally sebesar 9,8% sampai titik tertingginya di level 5.523,29 yang disentuh pada 7 April 2015.
Namun apa mau dikata, mereformasi ekonomi tak semudah membalikkan telapak tangan. Pertumbuhan ekonomi kuartal 1 diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di angka 4,73% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsesus yang dihimpun oleh Reuters sebesar 4,95% YoY.
Angin segar yang dalam beberapa bulan terakhir menghampiri lantas berubah menjadi mimpi buruk bagi investor. Alih-alih melanjutkan rally atau setidaknya mempertahankan penguatan yang sudah dicapai, IHSG ambrol 25,4% ke titik terendahnya di level 4.120,503 pada 28 September 2015.
Kala itu, tekanan sebenarnya bukan hanya datang dari sisi domestik, melainkan juga dari sisi eksternal berupa rencana normalisasi suku bunga acuan oleh the Federal Reserve selaku bank sentral AS. Walaupun pada akhirnya rencana ini baru di eksekusi pada akhir tahun, namun ketidakpastian yang menggema sepanjang tahun sudah cukup untuk membuat pelaku pasar bermain aman dengan melakukan aksi jual atas saham-saham yang dimilikinya. Pasalnya, jika the Fed benar menaikkan suku bunga, terdapat potensi aliran dana keluar (capital outflow) ke Negeri Paman Sam.
Sama seperti pada tahun 2015, tahun 2018 yang didapuk sebagai tahun keemasan ekonomi Indonesia nyatanya tak terbukti sampai sejauh ini. Asal tahun saja, pemerintah dengan pedenya mematok pertumbuhan ekonomi tahun ini di angka 5,4%, naik signifikan dari capaian tahun lalu yang sebesar 5,07% saja.
Pemulihan daya beli masyarakat, khususnya ditopang oleh tahun politik dan penyelenggaraan Asian Games membuat pemerintah memandang tahun 2018 dengan bara optimisme yang besar. Optimisme pemerintah ini ikut mendukung rally IHSG menjelang akhir tahun 2017 sampai dengan pertengahan Februari tahun ini.
Namun, lagi-lagi kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Daya beli masyarakat Indonesia terbukti masih lemah di tahun Anjing Tanah. Hal ini terlihat dari survei penjualan ritel dan indeks keyakinan konsumen yang tak menggembirakan.
Lemahnya kinerja keuangan kuartal-I 2018 dari emiten perbankan dan barang konsumsi yang merupakan proksi dari kinerja ekonomi secara keseluruhan seolah menegaskan bahwa angka pertumbuhan ekonomi yang akan dirilis pada 7 Mei mendatang tak akan membawa kabar baik bagi IHSG.
Dari sisi eksternal, the Fed kembali menjadi momok bagi bursa saham domestik. Kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini yang semula direncanakan sebanyak 3 kali, kini ditakutkan dapat berubah menjadi 4 kali.
Pasalnya, data-data ekonomi dan kinerja keuangan emiten yang melantai di Wall Street sejauh ini terbilang positif. Jika ekonomi AS sudah 'panas', tentu kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali menjadi sangat mungkin dilakukan. Masalahnya, kalangan pelaku pasar melihat bahwa kenaikan yang terlalu agresif justru bisa 'mematikan' ekonomi Negeri Paman Sam. Hal tersebut tentu bukan kabar baik bagi bursa saham dunia.
Mengingat IHSG 'baru' terkoreksi sebesar 11,5% dari titik tertingginya pada tahun ini, jika berkaca kepada sejarah investor sudah sepatutnya waspada. Pasalnya, kali terakhir situasi seperti ini terjadi pada 2015 silam, koreksi IHSG mencapai 25,4%.
(ank/ank) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Investor pun dibuat bertanya-tanya, sampai di titik berapa IHSG akan jatuh?
Namun apa mau dikata, mereformasi ekonomi tak semudah membalikkan telapak tangan. Pertumbuhan ekonomi kuartal 1 diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di angka 4,73% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsesus yang dihimpun oleh Reuters sebesar 4,95% YoY.
Angin segar yang dalam beberapa bulan terakhir menghampiri lantas berubah menjadi mimpi buruk bagi investor. Alih-alih melanjutkan rally atau setidaknya mempertahankan penguatan yang sudah dicapai, IHSG ambrol 25,4% ke titik terendahnya di level 4.120,503 pada 28 September 2015.
Kala itu, tekanan sebenarnya bukan hanya datang dari sisi domestik, melainkan juga dari sisi eksternal berupa rencana normalisasi suku bunga acuan oleh the Federal Reserve selaku bank sentral AS. Walaupun pada akhirnya rencana ini baru di eksekusi pada akhir tahun, namun ketidakpastian yang menggema sepanjang tahun sudah cukup untuk membuat pelaku pasar bermain aman dengan melakukan aksi jual atas saham-saham yang dimilikinya. Pasalnya, jika the Fed benar menaikkan suku bunga, terdapat potensi aliran dana keluar (capital outflow) ke Negeri Paman Sam.
Sama seperti pada tahun 2015, tahun 2018 yang didapuk sebagai tahun keemasan ekonomi Indonesia nyatanya tak terbukti sampai sejauh ini. Asal tahun saja, pemerintah dengan pedenya mematok pertumbuhan ekonomi tahun ini di angka 5,4%, naik signifikan dari capaian tahun lalu yang sebesar 5,07% saja.
Pemulihan daya beli masyarakat, khususnya ditopang oleh tahun politik dan penyelenggaraan Asian Games membuat pemerintah memandang tahun 2018 dengan bara optimisme yang besar. Optimisme pemerintah ini ikut mendukung rally IHSG menjelang akhir tahun 2017 sampai dengan pertengahan Februari tahun ini.
Namun, lagi-lagi kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Daya beli masyarakat Indonesia terbukti masih lemah di tahun Anjing Tanah. Hal ini terlihat dari survei penjualan ritel dan indeks keyakinan konsumen yang tak menggembirakan.
Lemahnya kinerja keuangan kuartal-I 2018 dari emiten perbankan dan barang konsumsi yang merupakan proksi dari kinerja ekonomi secara keseluruhan seolah menegaskan bahwa angka pertumbuhan ekonomi yang akan dirilis pada 7 Mei mendatang tak akan membawa kabar baik bagi IHSG.
Dari sisi eksternal, the Fed kembali menjadi momok bagi bursa saham domestik. Kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini yang semula direncanakan sebanyak 3 kali, kini ditakutkan dapat berubah menjadi 4 kali.
Pasalnya, data-data ekonomi dan kinerja keuangan emiten yang melantai di Wall Street sejauh ini terbilang positif. Jika ekonomi AS sudah 'panas', tentu kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali menjadi sangat mungkin dilakukan. Masalahnya, kalangan pelaku pasar melihat bahwa kenaikan yang terlalu agresif justru bisa 'mematikan' ekonomi Negeri Paman Sam. Hal tersebut tentu bukan kabar baik bagi bursa saham dunia.
Mengingat IHSG 'baru' terkoreksi sebesar 11,5% dari titik tertingginya pada tahun ini, jika berkaca kepada sejarah investor sudah sepatutnya waspada. Pasalnya, kali terakhir situasi seperti ini terjadi pada 2015 silam, koreksi IHSG mencapai 25,4%.
(ank/ank) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Most Popular