Rupiah Loyo, Saatnya BI Naikkan Suku Bunga?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 April 2018 14:31
Saatnya Menaikkan Suku Bunga?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Namun, para ekonom melihat kenaikan suku bunga adalah opsi yang masih cukup jauh. Para ekonom memperkirakan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate masih akan ditahan di 4,25% setidaknya sampai akhir tahun. 

Eugenia Victorino Fabon, Ekonom ANZ, menilai sebenarnya permintaan domestik sudah mulai tumbuh. Ini terlihat dari impor yang tumbuh kencang, yang merupakan pertanda investasi akan tumbuh karena impor didominasi bahan baku dan barang modal. 

Namun, lanjut Fabon, di sisi lain pertumbuhan permintaan juga masih relatif terbatas. Sinyal ini datang dari laju inflasi 2018 yang masih lambat, utamanya inflasi inti yang di bawah 3%. 

"Dengan perkembangan ini, BI punya ruang untuk mempertahankan stance netral. Suku bunga acuan pun kami perkirakan tetap sampai akhir 2018," sebutnya. 

Sementara Moody's Analytics dalam risetnya menyebutkan kenaikan suku bunga yang terlalu dini akan melukai perekonomian Indonesia. Kenaikan suku bunga akan membuat likuiditas mengetat dan ekonomi mengerut. Konsumsi masyarakat yang belum pulih sepenuhnya akan kembali melambat. 

"Kami memperkirakan suku bunga acuan masih akan ditahan sampai semester I-2018. Inflasi sejauh ini masih sesuai target," sebut riset Moody's. 

Tim Riset CNBC Indonesia pun menilai sepertinya masih terlalu dini bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuan, meski kebijakan moneter ketat tengah menjadi tren global. Ada beberapa hal yang bisa menjadi faktor penunda kenaikan suku bunga acuan. 

Pertama adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang menjadi titik lemah Indonesia. Masih ada harapan defisit transaksi berjalan bisa dikendalikan agar tidak terlalu dalam. 

Neraca perdagangan memang defisit sejak Desember 2017 sampai Februari 2018. Namun muncul harapan pada Maret, kala neraca perdagangan mencatat surplus yang cukup besar, mencapai US$ 1,09 miliar. 

Dalam bulan-bulan ke depan, ada peluang neraca perdagangan bisa mencatat surplus lagi. Apalagi dengan pelemahan rupiah justru bisa mendorong ekspor dan mengerem impor, yang membuat neraca perdagangan lebih sehat. 

Dengan dukungan neraca perdagangan, diharapkan defisit transaksi berjalan bisa dikendalikan. Kekhawatiran pembengkakan defisit di sisi ini bisa sedikit mereda. Saat defisit transaksi berjalan terkendali dengan baik, maka rupiah akan memiliki pijakan yang kuat. 

Kedua adalah faktor pertumbuhan ekonomi. Bagaimanapun, Indonesia masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi mepet-mepet di 5% bukan berkah, karena tidak cukup untuk menciptakan kualitas yang optimal. 

Menurut kajian Bappenas, setiap 1% pertumbuhan ekonomi saat ini bisa menciptakan sekitar 700.000 lapangan kerja. Dengan pertumbuhan ekonomi katakanlah 5%, maka kesempatan kerja baru yang tercipta adalah 3,5 juta.  

Sementara per Agustus 2017, angka pengangguran adalah 5,5% atau 7,04 juta jiwa. Jadi, pertumbuhan ekonomi 5% belum cukup untuk mengangkat derajat para tuna karya.  

Kala suku bunga acuan naik, perbankan akan sangat cepat menyesuaikan dengan kenaikan tersebut. Akibatnya likuiditas akan ketat dan ekonomi pun mengerut. 

Apalagi konsumen maupun dunia usaha domestik masih relatif lesu. Ini terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Pada Maret, IKK tercatat sebesar 121,6. Lebih rendah dari Februari 2018 yang sebesar 122,5. 

Kemudian, survei penjualan ritel sepanjang Februari tumbuh sebesar 1,5% year-on-year (YoY). Pertumbuhannya masih kalah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 3,7% YoY.  

Bahkan jika dilihat secara month-to-month (MtM), penjualan barang-barang ritel pada Februari turun 1,7%. Ini artinya, sepanjang dua bulan pertama tahun ini, penjualan barang-barang ritel tak pernah tumbuh positif secara bulanan. 

Kenaikan suku bunga acuan akan semakin mencekik konsumen maupun dunia usaha. Meski ada potensi rupiah menguat, tetapi itu harus dibayar dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi. 

Ketiga, tekanan terhadap rupiah kali ini mungkin saja bersifat temporer. Isu yang hangat saat ini adalah yield obligasi pemerintah AS dan potensi pengetatan moneter agresif oleh The Fed.  

Sentimen semacam ini datang dan pergi, timbul-tenggelam. Mungkin ada waktunya pasar akan melupakan isu ini dan kembali menyoroti fundamental ekonomi. 

Oleh karena itu, mungkin memang belum waktunya BI menaikkan suku bunga acuan. Cadangan devisa Indonesia sampai saat ini masih cukup memadai. Jika penggunaan cadangan devisa sudah dirasa berlebihan, Indonesia masih memiliki pertahanan lapis dua yaitu bantuan dari luar baik itu bilateral dan multilateral.

TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular