
Rupiah Loyo, Saatnya BI Naikkan Suku Bunga?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 April 2018 14:31

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pekan ini mengalami tekanan berat. Tidak banyak yang bisa dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk meredam pelemahan ini selain melakukan intervensi di pasar.
Pada Rabu (25/4/2018) pukul 14:00 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 13.900. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Pelemahan nilai tukar bukan hanya dialami Indonesia. Dolar AS memang sedang perkasa sehingga depresiasi nilai tukar sulit dihindari.
Terhadap mata uang utama dunia, greenback pun digdaya. Ini terlihat dari Dollar Index yang menguat 0,19%. Dalam sepekan ke belakang, indeks ini menguat 1,48% dan selama sebulan terakhir penguatannya mencapai 2,16%.
Sementara di Asia, dolar AS juga menguat. Bahkan rupiah yang melemah 0,07% masih 'beruntung' karena banyak mata uang lain yang melemah lebih dalam.
Penguatan dolar AS didorong oleh kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Hari ini, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun tercatat 3,0015%. Tertinggi sejak akhir 2013.
Kenaikan yield menjadi alat prediksi untuk meramal pergerakan inflasi ke depan. Lonjakan yield berarti ekspektasi inflasi sedang meningkat.
Dalam situasi seperti ini, muncul bayangan di benak pelaku pasar bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuan secara lebih agresif untuk menjangkar ekspektasi inflasi. Kartu kenaikan suku bunga empat kali sepanjang 2018 kembali muncul di atas meja.
Ujungnya, investor pun memilih bermain aman sembari menunggu kejelasan arah ke depan. Instrumen yang dituju kala ada sentimen kenaikan suku bunga, tidak lain dan tidak bukan, adalah dolar AS. Ini menyebabkan greenback menguat cukup tajam sejak awal pekan.
Pada Rabu (25/4/2018) pukul 14:00 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 13.900. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
![]() |
![]() |
Sementara di Asia, dolar AS juga menguat. Bahkan rupiah yang melemah 0,07% masih 'beruntung' karena banyak mata uang lain yang melemah lebih dalam.
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 109.08 | -0,25 |
Yuan China | 6,31 | -0,11 |
Won Korsel | 1.080,70 | -0,41 |
Dolar Taiwan | 29,69 | -0,26 |
Dolar Singapura | 1,33 | -0,38 |
Ringgit Malaysia | 3,91 | -0,13 |
Peso Filipina | 52,32 | -0,25 |
Baht Thailand | 31,51 | -0,22 |
Penguatan dolar AS didorong oleh kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Hari ini, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun tercatat 3,0015%. Tertinggi sejak akhir 2013.
Kenaikan yield menjadi alat prediksi untuk meramal pergerakan inflasi ke depan. Lonjakan yield berarti ekspektasi inflasi sedang meningkat.
Dalam situasi seperti ini, muncul bayangan di benak pelaku pasar bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuan secara lebih agresif untuk menjangkar ekspektasi inflasi. Kartu kenaikan suku bunga empat kali sepanjang 2018 kembali muncul di atas meja.
Ujungnya, investor pun memilih bermain aman sembari menunggu kejelasan arah ke depan. Instrumen yang dituju kala ada sentimen kenaikan suku bunga, tidak lain dan tidak bukan, adalah dolar AS. Ini menyebabkan greenback menguat cukup tajam sejak awal pekan.
Next Page
Opsi BI Terbatas Atasi Depresiasi Rupiah
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular