Dolar AS Belum Terbendung, IHSG anjlok 0,42% ke 6.311,24

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
23 April 2018 13:21
IHSG mengakhiri sesi I dengan turun 0,42% ke level 6.311,24. Pelemahan IHSG senada dengan mayoritas bursa kawasan regional yang juga terjebak di zona merah.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri sesi 1 dengan turun sebesar 0,42% ke level 6.311,24. Pelemahan IHSG senada dengan mayoritas bursa saham kawasan regional yang juga terjebak di zona merah: indeks Nikkei turun 0,29%, indeks Shanghai turun 0,11%, indeks Hang Seng turun 0,36%, indeks Kospi turun 0,18%, indeks SET (Thailand) turun 0,09%, dan indeks KLCI (Malaysia) turun 0,28%.

Nilai transaksi adalah sebesar Rp 3,44 triliun dengan volume 7,16 miliar saham. Frekuensi perdagangan tercatat sebanyak 213.602 kali. Sebanyak enam sektor saham ditransaksikan melemah, dipimpin oleh sektor properti, real estate, dan konstruksi bangunan yang turun hingga 0,96%.

Saham-saham yang berkontribusi paling besar bagi pelemahan IHSG adalah: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,75%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-1,56%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-1,68%), PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (-2,82%), dan PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,44%).

Investor nampak masih berada dalam mode defensif pada hari ini. Pasalnya, laju dolar AS semakin tak terbendung. Sampai dengan berita ini diturunkan, indeks dolar AS yang menggambarkan pergerakan dolar AS terhadap mata uang utama dunia lainnya naik sebesar 0,07% ke level 90,380. Padahal, pada pagi hari tadi penguatannya masih sebesar 0,05% saja. Sebagai catatan, pada perdagangan hari Jumat lalu (20/4/2018) indeks dolar AS menguat signifikan hingga 0,42%.

Rupiah pun tak kuasa membendung kuatnya dolar AS. Kini, rupiah diperdagangkan di level Rp 13.890/dolar AS, melemah 0,11% dibandingkan penutupan hari jumat yang sebesar Rp 13.875/dolar AS. Bahkan, pada saat pembukaan perdagangan rupiah sempat menyentuh level Rp 13.895/dolar AS. Seiring dengan pelemahan rupiah, investor asing mencatatkan jual bersih senilai Rp 279,58 miliar sampai akhir sesi 1.

Penguatan dolar AS masih dipicu oleh ekspektasi atas kenaikan suku bunga acuan oleh the Federal Reserve yang lebih agresif dari perkiraan. Mengutip Thomson Reuters, sebanyak 77% dari perusahaan anggota indeks S&P 500 yang telah mengumumkan kinerja keuangan sampai dengan Kamis pagi waktu setempat (19/4/2018) mencatatkan laba bersih yang lebih tinggi dari ekspektasi.

Lantas, kinerja yang positif dari para emiten ditakutkan akan mendorong inflasi terakselerasi lebih kencang dan memaksa the Federal Reserve selaku bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga acuan lebih dari 3 kali pada tahun ini.

Merespon hal tersebut, imbal hasil obligasi tenor 10 tahun terbitan Negeri Paman Sam kembali terkerek naik bahkan mendekati 3%, yakni di level 2,9658%. Pada akhir perdagangan minggu lalu (20/4/2018), nilainya masih sebesar 2,951.

Imbal hasil yang sudah semakin tinggi ini membuat pelaku pasar melepas kepemilikannya atas instrumen investasi di negara lain dan beralih memeluk dolar AS, sembari menunggu saat yang tepat untuk mulai memburu obligasi pemerintah AS.
Kemudian, tensi geopolitik juga menjadi kurang kondusif, pasca Presiden AS Donald Trump yang mengritik secara keras Organisasi Negara-negara Penghasil Minyak (OPEC) karena dianggap telah memanipulasi kenaikan harga minyak yang belakangan ini terjadi.

"Sepertinya OPEC melakukannya lagi. Dengan jumlah produksi minyak yang mencapai rekor di mana-mana, termasuk kapal-kapal penuh minyak di lautan, harga minyak yang sangat tinggi saat ini dibuat-buat! Tidak bagus dan tidak akan bisa diterima," tulis Trump di melalui akun @realDonaldTrump

Menyusul cuitan Trump tersebut, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) dan Brent langsung anjlok. WTI turun 0,92% menjadi US$ 67,7/barel, sementara Brent turun 0,89% menjadi US$ 73,15/barel. Pada perdagangan hari ini, WTI turun 0,1% menjadi US$ 68,33/barel, sementara brent melemah tipis 0,03% menjadi US$ 74,04/barel.

Jika pada akhirnya Donald Trump benar-benar mengeluarkan kebijakan yang melemahkan harga minyak mentah dunia, tentu ini bukan berita bagus bagi pasar saham. Pasalnya, harga saham emiten yang berada dalam sektor pertambangan dipastikan akan berada dalam tekanan. Kemudian, langkah Trump tersebut tentu akan menimbulkan kerenggangan dengan negara-negara Timur Tengah. Akibatnya, bukan tak mungkin hubungan dagang dan investasi menjadi taruhannya.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(ank/roy) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular