
Tenang! Harga Minyak Stabil Meski Ada Ancaman Trump
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
21 April 2018 20:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia ditutup menguat tipis di akhir pekan, meski mendapat tekanan dari ciutan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Harga minyak jenis light sweet untuk kontrak pengiriman Juni 2018 naik 0,13% ke US$68,38/barel, sementara brent kontrak pengiriman Juni juga tumbuh 0,38% ke US$74,06/barel.
Dengan pencapaian tersebut, harga minyak mampu menguat di kisaran 2% dalam sepekan ini, atau mampu memecahkan rekor tertinggi sejak akhir 2014.
Sejatinya harga minyak memang berada dalam tren penguatan di akhir pekan, disokong oleh sejumlah sentimen positif seperti jatuhnya cadangan minyak Negeri Paman Sam dan berkurangnya pasokan dari negara-negara produsen minyak utama dunia. Sebelumnya, harga minyak bahkan mampu memecahkan rekor tertinggi sejak akhir 2014.
Namun, kemarin Presiden AS Donald Trump tiba-tiba melemparkan kritikan pada Organisasi Negara-negara Penghasil Minyak (OPEC) atas tindakan pengurangan produksi minyak yang membuat harga minyak dunia melonjak tajam.
"Sepertinya OPEC melakukannya lagi. Dengan jumlah produksi minyak yang mencapai rekor di mana-mana, termasuk kapal-kapal penuh minyak di lautan, harga minyak yang sangat tinggi saat ini dibuat-buat! Tidak bagus dan tidak akan bisa diterima," tulis Trump di akun media sosial, Twitter-nya.
Menyusul cuitan Trump tersebut, harga minyak dunia langsung anjlok hingga 1%, di mana pelaku pasar menangkap bahwa hal itu menjadi indikasi bahwa Trump mampu melakukan intervensi pada kebijakan minyak dunia.
Secara fundamental, Trump sebenarnya tidak asak bicara. Pasalnya, produksi minyak mentah negeri Paman Sam kembali mencatatkan rekor di angka 10,54 juta bph di pekan lalu. Padahal, di akhir tahun 2017, produksi minyak AS masih di bawah angka 10 juta bph.
Capaian tersebut menunjukkan bahwa AS makin mendekati kekuatan Rusia dalam hal produksi minyak mentah. Sebagai catatan, Rusia merupakan produsen minyak terbesar di dunia, dengan angka produksi mencapai 11 juta bph.
Dengan kata lain, Trump memegang "senjata" cadangan minyak yang begitu besar, yang dapat digenjot AS kapan saja, jika ingin menormalisasi harga minyak global. Kepercayaan diri Trump juga nampaknya didukung oleh bertambahnya kilang minyak aktif AS sebanyak 5 unit pekan ini.
Namun, ternyata jatuhnya harga sang emas hitam tak berlangsung lama. Harga brent dan light sweet sama-sama mampu menguat di akhir sesi, dan menutup perdagangan akhir pekan dengan manis. Nampaknya sentimen yang datang dari Saudi masih lebih kuat dibanding aksi Trump.
Seperti diketahui, Arab Saudi berekspektasi kenaikan harga minyak hingga di atas US$80/barel untuk mendukung debut raksasa perminyakan Saudi Aramco di pasar saham. Hal itu menjadi indikasi bahwa Negeri Padang Pasir, sebagai pemimpin OPEC, akan mengarahkan kebijakan pemangkasan produksi yang lebih ketat, meskipun saat ini stok minyak di negara-negara maju mulai terbatas.
Terlebih, kemarin Menteri Energi Arab Saudi Khalid-Al Falih menyatakan tidak terlena pada kenaikan harga minyak beberapa waktu terakhir, dan menyangkal bahwa OPEC sudah mencapai misinya. Hal ini semakin memperkuat masih akan berlanjutnya ikhtiar OPEC untuk mengetatkan produksi hingga akhir 2018.
"Kita harus bersabar. Kita tidak seharusnya bertindak terburu-buru, kita tidak boleh berpuas diri dan mendengarkan suara bahwa misi sudah tercapai,"tegas Al Falih pada CNBC International.
Sebagai catatan, OPEC akan mengadakan pertemuan pada akhir Juni, untuk menentukan langkah selanjutnya dari kesepakatan pemangkasan produksi minyak, berdasarkan kondisi pasar global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/roy) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Dengan pencapaian tersebut, harga minyak mampu menguat di kisaran 2% dalam sepekan ini, atau mampu memecahkan rekor tertinggi sejak akhir 2014.
![]() |
Sejatinya harga minyak memang berada dalam tren penguatan di akhir pekan, disokong oleh sejumlah sentimen positif seperti jatuhnya cadangan minyak Negeri Paman Sam dan berkurangnya pasokan dari negara-negara produsen minyak utama dunia. Sebelumnya, harga minyak bahkan mampu memecahkan rekor tertinggi sejak akhir 2014.
"Sepertinya OPEC melakukannya lagi. Dengan jumlah produksi minyak yang mencapai rekor di mana-mana, termasuk kapal-kapal penuh minyak di lautan, harga minyak yang sangat tinggi saat ini dibuat-buat! Tidak bagus dan tidak akan bisa diterima," tulis Trump di akun media sosial, Twitter-nya.
Menyusul cuitan Trump tersebut, harga minyak dunia langsung anjlok hingga 1%, di mana pelaku pasar menangkap bahwa hal itu menjadi indikasi bahwa Trump mampu melakukan intervensi pada kebijakan minyak dunia.
Secara fundamental, Trump sebenarnya tidak asak bicara. Pasalnya, produksi minyak mentah negeri Paman Sam kembali mencatatkan rekor di angka 10,54 juta bph di pekan lalu. Padahal, di akhir tahun 2017, produksi minyak AS masih di bawah angka 10 juta bph.
![]() |
Capaian tersebut menunjukkan bahwa AS makin mendekati kekuatan Rusia dalam hal produksi minyak mentah. Sebagai catatan, Rusia merupakan produsen minyak terbesar di dunia, dengan angka produksi mencapai 11 juta bph.
Dengan kata lain, Trump memegang "senjata" cadangan minyak yang begitu besar, yang dapat digenjot AS kapan saja, jika ingin menormalisasi harga minyak global. Kepercayaan diri Trump juga nampaknya didukung oleh bertambahnya kilang minyak aktif AS sebanyak 5 unit pekan ini.
Namun, ternyata jatuhnya harga sang emas hitam tak berlangsung lama. Harga brent dan light sweet sama-sama mampu menguat di akhir sesi, dan menutup perdagangan akhir pekan dengan manis. Nampaknya sentimen yang datang dari Saudi masih lebih kuat dibanding aksi Trump.
Seperti diketahui, Arab Saudi berekspektasi kenaikan harga minyak hingga di atas US$80/barel untuk mendukung debut raksasa perminyakan Saudi Aramco di pasar saham. Hal itu menjadi indikasi bahwa Negeri Padang Pasir, sebagai pemimpin OPEC, akan mengarahkan kebijakan pemangkasan produksi yang lebih ketat, meskipun saat ini stok minyak di negara-negara maju mulai terbatas.
Terlebih, kemarin Menteri Energi Arab Saudi Khalid-Al Falih menyatakan tidak terlena pada kenaikan harga minyak beberapa waktu terakhir, dan menyangkal bahwa OPEC sudah mencapai misinya. Hal ini semakin memperkuat masih akan berlanjutnya ikhtiar OPEC untuk mengetatkan produksi hingga akhir 2018.
"Kita harus bersabar. Kita tidak seharusnya bertindak terburu-buru, kita tidak boleh berpuas diri dan mendengarkan suara bahwa misi sudah tercapai,"tegas Al Falih pada CNBC International.
Sebagai catatan, OPEC akan mengadakan pertemuan pada akhir Juni, untuk menentukan langkah selanjutnya dari kesepakatan pemangkasan produksi minyak, berdasarkan kondisi pasar global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/roy) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Most Popular