Peringkat Utang RI di Era Jokowi, Puaskah?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 April 2018 11:15
Semenjak Jokowi resmi mengambil alih komando pemerintahan pada 20 Oktober 2014, total sudah 8 kali lembaga pemeringkat besar upgrade
Foto: Infografis, Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar gembira menjelang akhir pekan datang dari lembaga pemeringkat Moody's Investors Service (Moody's). Salah satu lembaga pemeringkat kenamaan dunia tersebut menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia sebanyak 1 tingkat ke level Baa2, dari yang sebelumnya Baa3.

Dalam keterangannya yang dirilis kemarin (13/4/2018), kebijakan fiskal dan moneter yang prudent serta ketahanan sektor finansial meyakinkan Moody's bahwa Indonesia memiliki ketahanan terhadap guncangan.

Dari sisi moneter, Moody's memandang Bank Indonesia (BI) memprioritaskan stabilitas makro ketimbang pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Target inflasi telah tercapai dalam tiga tahun terakhir dan ekspektasi inflasi yang terjangkar di level yang moderat.

Dari sisi fiskal, usaha pemerintah dalam mempertahankan defisit anggaran di bawah 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) juga membantu perekonomian negara tetap stabil.

Semenjak Joko Widodo resmi mengambil alih komando pemerintahan pada 20 Oktober 2014, total sudah 8 kali lembaga pemeringkat besar (Standard & Poor's/S&P, Moody's, dan Fitch Ratings) menaikkan outlook maupun peringkat surat utang pemerintah, dimulai oleh S&P yang menaikkan outlook dari stabil menjadi positif pada 21 Mei 2015, sampai dengan kenaikan peringkat oleh Moody's pada pagi hari ini. Dalam rentang itu, IHSG dan pasar obligasi cenderung menguat.

Peringkat Utang RI di Era JokowiFoto: Tim Riset CNBC Indonesia


Sektor Finansial Hingga Riil Diuntungkan

Dengan adanya kenaikan peringkat oleh Moody's, peluang IHSG untuk dapat memutarbalikkan performanya sepanjang tahun ini yang dapat dikatakan mengecewakan, besar. Sepanjang tahun ini, IHSG telah turun sebesar 1,34%. Hal yang sama juga berpotensi terjadi di pasar obligasi. Pada perdagangan kemarin, imbal hasil obligasi tenor 10 tahun telah turun sebesar 1bps menjadi 6,57%. Sebagai catatan, pergerakan imbal hasil obligasi berbanding terbalik dengan harganya.

Selain pasar keuangan, sektor riil juga akan merasakan manfaatnya. Penurunan imbal hasil obligasi pemerintah di pasar sekunder berpotensi menurunkan imbal hasil yang ditawarkan oleh obligasi korporasi (imbal hasil obligasi korporasi berpatokan pada imbal hasil obligasi pemerintah). Akibatnya, korporasi bisa tergiur untuk melakukan ekspansi karena dapat memperoleh pembiayaan dengan lebih murah. Terlebih, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini ditargetkan mencapai 5,4%, naik tinggi dari capaian tahun 2017 yang sebesar 5,07%.

Terakhir, semakin kokohnya peringkat utang Indonesia akan menjaga minat investor dalam membeli obligasi-obligasi yang diterbitkan pemerintah. Hal ini menjadi penting dikarenakan pengeluaran negara yang lebih besar dari penerimaan membuat Indonesia bergantung pada utang guna memenuhi kebutuhan belanjanya.

Amunisi Jokowi di Tahun Pemilu

Gencarnya lembaga pemeringkat menaikkan peringkat surat utang Indonesia merupakan salah satu amunisi Presiden Joko Widodo dalam menghadapi perhelatan pemilihan presiden pada tahun 2019 mendatang.

Pasalnya, tak sedikit pihak yang mengkritik kenaikan jumlah utang pemerintah di masa pemerintahan sang petahana. Berdasarkan data yang dipaparkan Kementerian Keuangan, tambahan utang pemerintah selama periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencapai Rp 1.166 triliun atau meningkat hingga 191% dibandingkan periode 2012-2014. Kini, total utang pemerintah telah menembus angka Rp 4.000 triliun.

Kenaikan peringkat surat utang ditengah berbagai kritik terkait utang justru membuktikan bahwa kondisi keuangan Indonesia berada dalam posisi yang sehat. Memang, masalah utang tak bisa dinilai hanya dengan melihat nilai nominalnya saja, melainkan harus dicocokkan dengan kapasitas ekonomi negaranya.

Moody's dalam rilis resminya memproyeksikan utang pemerintah Indonesia akan tetap di kisaran 30% terhadap PDB selama beberapa tahun mendatang. Jumlah tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan median dari negara-negara dengan status layak investasi yang sebesar 39% PDB, serta median dari negara dengan peringkat Baa yaitu 46,2% PDB.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/ank) Next Article Kali Terakhir Peringkat Dinaikkan, Begini Kinerja IHSG

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular