Kali Terakhir Peringkat Dinaikkan, Begini Kinerja IHSG

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
13 April 2018 10:33
Kabar gembira menjelang akhir pekan datang lembaga pemeringkat Moody's Investors Service (Moody's).
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar gembira menjelang akhir pekan datang lembaga pemeringkat Moody's Investors Service (Moody's). Salah satu lembaga pemeringkat kenamaan dunia tersebut menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia sebanyak 1 tingkat ke level Baa2, dari yang sebelumnya Baa3.

Dalam keterangannya, Jumat (13/4/2018), Moody's melihat kebijakan fiskal dan moneter yang prudent dan ketahanan sektor finansial meyakinkan Moody's bahwa Indonesia memiliki ketahanan terhadap guncangan.

Dalam sisi kebijakan moneter, Moody's memandang Bank Indonesia (BI) memprioritaskan stabilitas makro ketimbang pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Target inflasi telah tercapai dalam tiga tahun terakhir dan ekspektasi inflasi yang terjangkar di level yang moderat.

Bank sentral dipandang juga lebih fleksibel dalam meredam gejolak nilai tukar sejak periode tapper tantrum. Selain itu, kebijakan moneter yang lebih efektif dan koordinasi yang lebih baik dengan pemerintah dapat menjaga inflasi tetap stabil di level yang rendah.

Adanya kenaikan peringkat tersebut tentu diharapkan dapat mendongkrak pasar saham, terlebih IHSG telah turun sebesar 0,71% sepanjang tahun ini (sampai dengan penutupan perdagangan kemarin, 12/4/2018). Namun sampai dengan berita ini diturunkan, IHSG justru terkoreksi sebesar 0,08% ke level 6.305,63 poin.

Lantas, apa yang terjadi kali terakhir peringkat Indonesia dinaikkan?

Kali terakhir peringkat Indonesia dinaikkan oleh 3 besar lembaga pemeringkat kenamaan dunia (Standard & Poor's/S&P, Moody's, dan Fitch Ratings) adalah pada 20 Desember 2017. Kala itu, Fitch Ratings menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB.

Salah satu hal utama yang mendorong kenaikan peringkat tersebut adalah ketahanan Indonesia terhadap tekanan eksternal. Memang, terlepas dari banyaknya tekanan eksternal seperti kenaikan suku bunga acuan AS, risiko perang antara AS dengan Korea Utara, sampai dengan negosiasi Brexit, pergerakan pasar keuangan Indonesia sepanjang 2017 dapat dikatakan baik.

Pada perdagangan tanggal 21 Desember, IHSG menguat sebesar 1,21% merespon kabar tersebut. Jika ditarik lebih jauh sampai dengan akhir tahun, imbal hasilnya mencapai 4,03%. Kala itu, sentimen positif dari kenaikan peringkat surat utang melengkapi angin segar yang sebelumnya datang dari disahkannya RUU perpajakan di AS. Rally IHSG pun tak bisa dibendung pada saat itu.

Berpotensi terulang
Kini, hal yang sama tentu berpotensi terulang, terlepas dari IHSG yang masih berkutat di zona merah. Pasalnya, sentimen eksternal saat ini juga memadai bagi IHSG untuk membukukan penguatan.

Dari sisi geopolitik, ketakutan atas memanasnya tensi antara AS dan Rusia mereda, pasca Presiden AS Donald Trump memposting sebuah twit yang isinya menyatakan sebuah kemungkinan bahwa serangan rudal ke Suriah mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

"Tidak pernah mengatakan kapan serangan ke Suriah akan terjadi. Bisa saja segera atau tidak terlalu cepat sama sekali! Dalam keadaan apapun, Amerika Serikat, di bawah pemerintahan saya, telah melakukan pekerjaan yang sangat baik membersihkan wilayah ISIS. Di mana 'Terima Kasih Amerika"' kami?" tegas trump dalam akun Twitter @realDonaldTrump.

Sebelumnya, pelaku pasar sempat dibuat kabur dari isntrumen-instrumen berisiko pasca Donald Trump memposting sebuah twit yang mengindikasikan serangan rudal dalam waktu dekat ke Suriah.

Dari sisi ekonomi, Trump memerintahkan penasihat ekonominya untuk mempertimbangkan kemungkinan bergabung kembali dalam negosiasi Trans Pacific Partnership (TPP), seperti dikutip dari CNBC. Sebelumnya, Trump memutuskan untuk menarik diri dari negosiasi TPP pada masa awal pemerintahannya. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi pasar keuangan dunia. Pasalnya, hal ini memberi sinyal bahwa AS sudah semakin membuka dirinya dalam hal perdagangan.

Terlebih, Presiden Joko Widodo sempat menyuarakan ketertarikannya untuk bergabung dalam blok dagang raksasa tersebut. Putusan ini diambil demi menghindari adanya pengenaan pajak sebesar 15 persen sampai 20 persen untuk setiap produk Indonesia yang diekspor ke negara-negara anggota TPP.

"Kalau enggak masuk blok-blok, produksi dari sini kena pajak 15 sampai 20 persen mau apa kita? Pasti kalah bersaing," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, pada Februari 2016, seperti dikutip dari CNN Indonesia.

"Mau tidak mau kita harus masuk. karena ini era keterbukaan. Tapi ini bukan liberalisasi," tambah Jokowi.

Jika pada akhirnya AS dan Indonesia benar-benar bergabung dalam TPP, maka amunisi ekspor Indonesia menjadi bertambah luas sehingga berpotensi mendongkrak laju perekonomian dalam negeri.

Jika melihat kejadian pada akhir tahun lalu, investor sudah selayaknya memandang pasar saham dalam negeri dengan positif.
(hps) Next Article Peringkat Utang RI di Era Jokowi, Puaskah?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular