Jokowi, Subsidi Energi, dan Rating Indonesia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 April 2018 11:26
Jokowi, Subsidi Energi, dan Rating Indonesia
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Saat berkampanye menuju kursi RI-1, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjanjikan reformasi subsidi energi. Beban anggaran subsidi yang tinggi menyebabkan Jokowi tergerak untuk melakukan reformasi. 

Tidak lama setelah menjabat, Jokowi langsung melakukan langkah drastis. Bensin premium tidak lagi disubsidi dan harganya bisa dievaluasi beberapa bulan sekali mengikuti perkembangan pasar. Sementara minyak solar (diesel) diberi subsidi tetap per liter.  

Reformasi subsidi yang agak radikal ini menyebabkan pemerintah berhemat ratusan triliun rupiah dan bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Sementara anggaran untuk subsidi energi bergerak ke arah sebaliknya. 

Jokowi, Subsidi Energi, dan Rating IndonesiaKemenkeu
Kebijakan fiskal yang lebih sehat karena belanja lebih produktif ini membuahkan hasil. Indonesia menerima banyak apresiasi di dunia internasional.  

Tiga lembaga pemeringkat utama yaitu S&P, Moody's, dan Fitch Rating telah memberikan peringkat layak investasi (investment grade) kepada Indonesia. Belum pernah Indonesia bisa mendapatkan status tersebut sejak krisis ekonomi 1998. 

Moody's merupakan lembaga pemeringkat yang mungkin paling dekat akan mengubah rating Indonesia. Fitch baru menaikkan akhir tahun lalu, sementara S&P dikenal konservatif sehingga butuh waktu setelah kenaikan pada Mei 2017. 

Dikabarkan Moody's akan mengeluarkan hasil penilaian (assessment) terhadap Indonesia pada pekan ketiga atau keempat bulan ini. Investor pun berharap akan ada kenaikan rating sehingga menjadi energi pendorong pasar keuangan domestik. 

Ketika rating Indonesia naik, pasar obligasi menjadi yang paling bergairah. Tidak hanya obligasi, pasar saham pun biasanya juga merespons positif. 

Kabar kenaikan rating tentu menjadi oasis penyejuk di tengah dinamika perekonomian global yang masih sangat dinamis. Normalisasi kebijakan moneter di negara maju, perang dagang dan kebijakan proteksionis, hingga memanasnya suhu keamanan Timur Tengah menjadi faktor risiko besar yang menghantui pasar.
Namun, akhir-akhir ini sepertinya pemerintahan Presiden Jokowi berbalik arah. Pemerintah berencana merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual eceran BBM. 

Nantinya, pasokan bensin jenis premium wajib dijaga tetap memadai di seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya di luar Jawa, Madura, dan Bali. Selain itu, setiap kenaikan harga bensin non subsidi harus mendapat restu pemerintah. Langkah ini dilakukan untuk menjaga tingkat inflasi domestik.  

Padahal, reformasi subsidi energi merupakan komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini juga sempat direkomendasikan oleh Tim Reformasi Tatakelola Migas yang diketuai Faisal Basri. 

Berikut rekomendasi tim tersebut soal kebijakan subsidi dan harga bensin:

1. Menghentikan impor RON 88 (premium) dan Gasoil 0,35% sulfur dan menggantikannya masing-masing dengan impor Mogas 92 (pertamax) dan Gasoil 0,25% sulfur.
2. Produksi minyak solar oleh kilang di dalam negeri ditingkatkan kualitasnya sehingga setara dengan Gasoil 0,25% sulfur.
3. Mengalihkan produksi kilang domestik dari bensin RON 88 menjadi bensin RON 92. Dalam jangka pendek, impor Mogas 92 akan meningkat namun disertai penurunan impor RON 88. Dampak keseluruhannya, terutama dalam jangka panjang, diperkirakan bakal positif.
4. Besaran subsidi bensin (RON 92) bersifat tetap, misalnya Rp 500 per liter.
5. Memperhatikan kebutuhan minyak solar untuk transportasi publik dan angkutan barang untuk kepentingan umum, kebijakan subsidi untuk minyak solar dapat tetap menggunakan pola penetapan harga.
6. Pilihan kebijakan terkait dengan pengalihan produksi kilang domestik sehingga seluruhnya dapat memproduksi bensin RON 92:
  • Pembaruan kilang domestik sehingga produksi Bensin RON 88 dapat digantikan dengan Bensin RON 92, dengan masa transisi selama waktu tertentu.
  • Pengelolaan fasilitas kilang TPPI diserahkan sepenuhnya kepada Pertamina untuk memungkinkan peningkatan produksi bensin RON 92 dapat dilakukan maksimal.
  • Selama masa transisi, produk RON 88 yang diproduksi dipasarkan di wilayah sekitar lokasi kilang atau diserahkan kepada kebijakan Pertamina.
  • Besaran subsidi per liter untuk RON 88 lebih kecil dari subsidi untuk Mogas 92.
  • Fasilitasi pemerintah untuk mempercepat pembaruan dan perluasan fasilitas kilang.
  • Harga patokan Bensin RON 88 yang digunakan menggunakan HIP dengan formula perhitungan yang berlaku saat ini.
Bila pemerintah ingin memasifkan kembali bensin premium, maka sama saja tidak mengindahkan rekomendasi dari Tim Reformasi. Sebab, semestinya Indonesia semakin meninggalkan premium dan beralih ke pertamax. Dalam jangka pendek mungkin akan sulit tetapi dalam jangka panjang dampaknya akan positif. 

Bila pemerintah berkeras, maka Pertamina yang akan menjadi korban. Apalagi meskipun disebut harga premium bisa dievaluasi sesuai perkembangan pasar, tetapi jarang sekali pemerintah menaikkan harga. Bahkan tahun ini ada komitmen untuk tidak menaikkan harga BBM. 

Beban yang ditanggung Pertamina tentu semakin berat. Memang pemerintah akan menyuntik anggaran subsidi ke perusahaan plat merah ini, sehingga ujung-ujungnya yang terbebani adalah anggaran. Artinya, Indonesia bisa kembali ke pola lama di mana anggaran subsidi membengkak. 

Lembaga rating kerap menyoroti isu ini, bagaimana subsidi mempengaruhi kesehatan fiskal. Jika Moody's menanggapi negatif perkembangan reformasi subsidi, maka kenaikan peringkat utang Indonesia bisa tertunda. Hal ini tentu bukan kabar baik bagi pasar keuangan domestik.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular