
Perang Dagang Bisa Membuat Impor Kapas dan Kedelai Membanjir
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
05 April 2018 11:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Genderang perang dagang telah ditabuh. Kemarin, pemerintah China resmi mengumumkan rencananya untuk melakukan serangan balik atas kebijakan Amerika Serikat (AS) dengan penerapan bea masuk 25% terhadap 106 produk impor AS senilai US$50 miliar (sekitar Rp 688 Triliun).
Langkah Negeri Tirai Bambu tersebut merupakan kali kedua, di mana sebelumnya China telah membebankan bea masuk kepada 128 produk AS. Apa yang dilakukan pemerintahan China tersebut merupakan respons atas kebijakan Presiden AS Donald Trump yang berencana mengenakan bea masuk kepada 1.300 produk China atas nama perlindungan hak kekayaan intelektual.
Lantas, saat dua kekuatan besar ekonomi dunia tersebut berperang, bagaimana dampaknya ke Indonesia? Tim Riset CNBC Indonesia melihat bahwa perang dagang antara AS-China dapat membawa dampak negatif ke Indonesia, khususnya terkait dengan ancaman melebarnya defisit perdagangan.
Sebagaimana diketahui, dalam hukum ekonomi dikenal arus barang (dan jasa) yang jika terhenti akan berujung pada kemandegan ekonomi. Karenanya, semua negara berlomba-lomba memasarkan produk mereka ke negara lain. Hambatan di tengah proses ini akan berujung pada upaya mengalihkan arus barang ke pasar lain yang lebih terbuka.
Dalam kasus perang dagang AS dan China, energi kedua negara berkekuatan ekonomi terbesar dunia itu untuk menjajaki pasar lainnya pun makin menguat. Tidak heran, saat Trump meneken kenaikan tarif impor baja, pengusaha baja Indonesia ketar-ketir karena aliran baja impor dari China (yang semula ditujukan ke AS) akan membanjir ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ketika perang dagang kedua raksasa itu kian intens, kekhawatiran yang sama bisa merembet ke produk lain, khususnya bagi komoditas-komoditas yang memiliki pasar di Indonesia. Pada ulasan sebelumnya, Tim Riset CNBC Indonesia telah mengestimasi produk yang paling berpotensi membanjiri pasar Indonesia, saat perang dagang AS-China terjadi.
Dari sisi China, produk yang perlu diwaspadai adalah produk teknologi tinggi (hi-tech) seperti peralatan telekomunikasi (kode SITC 764) dan alat pemroses data otomatis (kode SITC 752). Pasalnya, kedua komoditas tersebut memiliki pasar yang besar di Indonesia, terbukti dari impor Indonesia yang mencapai US$3,08 miliar (sekitar Rp 42,35 triliun) untuk kedua produk tersebut pada 2016.
Sementara itu dari sisi AS, hanya komoditas buah-buahan (kode SITC 057) yang pada waktu itu diidentifikasi berpotensi mengalir ke Indonesia. Itupun dampaknya kemungkinan tidak terlalu besar, karena pada 2016 Indonesia hanya mengimpor produk ini senilai US$101,34 juta (sekitar Rp1,39 triliun), relatif jauh lebih kecil dibandingkan impor komoditas hi-tech dari China. Namun, analisis sebelumnya dilakukan saat hanya lima produk AS (dari 128 produk) yang dipublikasikan China akan dikenakan bea impor, yakni daging babi, aluminium daur ulang, pipa baja, buah-buahan, dan minuman anggur (wine). Saat ini skala perang dagang telah meluas, dimana China mempublikasikan seluruh 106 produk baru yang akan dikenakan bea impor. Tentu saja ceritanya menjadi berbeda, karena dari daftar 106 produk tersebut, setidaknya ada 3 produk yang menjadi komoditas utama impor Indonesia dari AS pada tahun lalu, yakni minyak sayur (termasuk minyak kedelai), kapas, serta propana dan butana cair.
Pada 2017, Indonesia mengimpor minyak sayur dari AS senilai US$ 1,13 miliar (Rp 15,54 triliun), kapas sebesar US$ 513,22 juta (Rp 7,06 triliun), dan propana dan butana cair sejumlah US$ 367,60 (Rp 5,05 triliun). Nilai yang fantastis tersebut menjadi indikasi bahwa pasar ketiga produk tersebut amat besar di Indonesia. Alhasil, ketiga produk itulah yang paling berpotensi membanjiri pasar Indonesia saat China merealisasikan tarif impor 25% untuk 106 produk AS.
Kekhawatiran derasnya aliran produk-produk tersebut ke dalam negeri juga diperkuat dengan kuatnya estimasi produksi kapas dan kedelai AS di tahun ini. Berdasarkan outlook komoditas agrikultur AS yang dirilis US Department of Agriculture (USDA) pada Maret 2018, produksi kedelai diproyeksikan naik sebesar 2,2% pada tahun ini menjadi 4,39 miliar gantang/bushel (setara 119,52 juta ton) per tahun.
Kemudian, berdasarkan hasil survei kepada petani kedelai di AS, USDA melaporkan bahwa petani akan melakukan penanaman dengan luas tanam sebesar 88,9 juta are pada 2018. Angka itu memang turun 1% dari rekor tahun lalu sebesar 90,1 juta are, namun tetap saja masih merupakan yang terbesar di sepanjang sejarah AS, hanya kalah oleh capaian tahun lalu.
Seperti kedelai, produksi kapas pada Maret 2018 juga tercatat meningkat 22,49% ke 9,76 miliar pound, dibandingkan capaian 2016/2017. Selain itu, luasan tanam pada Maret juga bertambah 25,13% menjadi 12,36 juta are.
Suburnya produksi dua komoditas agrikultur utama itu tentu saja mengindikasikan masih kuatnya volume ekspor kedelai dan kapas tahun ini. Apabila perang dagang benar-benar terjadi, dan keran ekspor ke China tertutup, AS berpotensi membanjiri Indonesia dengan kedelai dan kapas, dalam jumlah yang lebih besar dari sebelumnya.
Ujung-ujungnya, defisit neraca perdagangan Indonesia yang saat ini sudah berlangsung akan semakin parah. Sebagai catatan, sepanjang 2018, Indonesia sudah mencatatkan defisit neraca perdagangan selama dua bulan berturut-turut.
Pada Januari, Indonesia mencatat defisit neraca perdagangan sebesar US$670 juta, sementara pada Februari sebesar US$110 juta. Defisit pada awal tahun ini merupakan yang pertama sejak 2013.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto pernah menilai bahwa defisit neraca perdagangan bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 melambat dibandingkan kuartal sebelumnya. Bahkan, pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa semakin akut jika neraca perdagangan tak kunjung surplus.
Selain itu, defisit neraca perdagangan yang terus berlangsung tentu akan melemahkan nilai tukar rupiah dan memperbesar defisit transaksi berjalan Indonesia. Perlu diingat bahwa defisit transaksi berjalan kuartal-IV 2017 sudah lebih tinggi dibandingkan dengan defisit pada kuartal IV-2016.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Babak Baru Perang Dagang, AS dan China Resmi Mulai Negosiasi
Langkah Negeri Tirai Bambu tersebut merupakan kali kedua, di mana sebelumnya China telah membebankan bea masuk kepada 128 produk AS. Apa yang dilakukan pemerintahan China tersebut merupakan respons atas kebijakan Presiden AS Donald Trump yang berencana mengenakan bea masuk kepada 1.300 produk China atas nama perlindungan hak kekayaan intelektual.
Lantas, saat dua kekuatan besar ekonomi dunia tersebut berperang, bagaimana dampaknya ke Indonesia? Tim Riset CNBC Indonesia melihat bahwa perang dagang antara AS-China dapat membawa dampak negatif ke Indonesia, khususnya terkait dengan ancaman melebarnya defisit perdagangan.
Ketika perang dagang kedua raksasa itu kian intens, kekhawatiran yang sama bisa merembet ke produk lain, khususnya bagi komoditas-komoditas yang memiliki pasar di Indonesia. Pada ulasan sebelumnya, Tim Riset CNBC Indonesia telah mengestimasi produk yang paling berpotensi membanjiri pasar Indonesia, saat perang dagang AS-China terjadi.
Dari sisi China, produk yang perlu diwaspadai adalah produk teknologi tinggi (hi-tech) seperti peralatan telekomunikasi (kode SITC 764) dan alat pemroses data otomatis (kode SITC 752). Pasalnya, kedua komoditas tersebut memiliki pasar yang besar di Indonesia, terbukti dari impor Indonesia yang mencapai US$3,08 miliar (sekitar Rp 42,35 triliun) untuk kedua produk tersebut pada 2016.
Sementara itu dari sisi AS, hanya komoditas buah-buahan (kode SITC 057) yang pada waktu itu diidentifikasi berpotensi mengalir ke Indonesia. Itupun dampaknya kemungkinan tidak terlalu besar, karena pada 2016 Indonesia hanya mengimpor produk ini senilai US$101,34 juta (sekitar Rp1,39 triliun), relatif jauh lebih kecil dibandingkan impor komoditas hi-tech dari China. Namun, analisis sebelumnya dilakukan saat hanya lima produk AS (dari 128 produk) yang dipublikasikan China akan dikenakan bea impor, yakni daging babi, aluminium daur ulang, pipa baja, buah-buahan, dan minuman anggur (wine). Saat ini skala perang dagang telah meluas, dimana China mempublikasikan seluruh 106 produk baru yang akan dikenakan bea impor. Tentu saja ceritanya menjadi berbeda, karena dari daftar 106 produk tersebut, setidaknya ada 3 produk yang menjadi komoditas utama impor Indonesia dari AS pada tahun lalu, yakni minyak sayur (termasuk minyak kedelai), kapas, serta propana dan butana cair.
![]() |
Kekhawatiran derasnya aliran produk-produk tersebut ke dalam negeri juga diperkuat dengan kuatnya estimasi produksi kapas dan kedelai AS di tahun ini. Berdasarkan outlook komoditas agrikultur AS yang dirilis US Department of Agriculture (USDA) pada Maret 2018, produksi kedelai diproyeksikan naik sebesar 2,2% pada tahun ini menjadi 4,39 miliar gantang/bushel (setara 119,52 juta ton) per tahun.
Kemudian, berdasarkan hasil survei kepada petani kedelai di AS, USDA melaporkan bahwa petani akan melakukan penanaman dengan luas tanam sebesar 88,9 juta are pada 2018. Angka itu memang turun 1% dari rekor tahun lalu sebesar 90,1 juta are, namun tetap saja masih merupakan yang terbesar di sepanjang sejarah AS, hanya kalah oleh capaian tahun lalu.
![]() |
Suburnya produksi dua komoditas agrikultur utama itu tentu saja mengindikasikan masih kuatnya volume ekspor kedelai dan kapas tahun ini. Apabila perang dagang benar-benar terjadi, dan keran ekspor ke China tertutup, AS berpotensi membanjiri Indonesia dengan kedelai dan kapas, dalam jumlah yang lebih besar dari sebelumnya.
Ujung-ujungnya, defisit neraca perdagangan Indonesia yang saat ini sudah berlangsung akan semakin parah. Sebagai catatan, sepanjang 2018, Indonesia sudah mencatatkan defisit neraca perdagangan selama dua bulan berturut-turut.
Pada Januari, Indonesia mencatat defisit neraca perdagangan sebesar US$670 juta, sementara pada Februari sebesar US$110 juta. Defisit pada awal tahun ini merupakan yang pertama sejak 2013.
![]() |
Selain itu, defisit neraca perdagangan yang terus berlangsung tentu akan melemahkan nilai tukar rupiah dan memperbesar defisit transaksi berjalan Indonesia. Perlu diingat bahwa defisit transaksi berjalan kuartal-IV 2017 sudah lebih tinggi dibandingkan dengan defisit pada kuartal IV-2016.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Babak Baru Perang Dagang, AS dan China Resmi Mulai Negosiasi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular