Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kita tentu mengenal sebuah peribahasa Melayu yang berkata "dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah". Peribahasa tersebut layak untuk kita perhatikan, ketika dua ekonomi terbesar dunia melancarkan perang dagang.
Pada Kamis lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah secara resmi meneken aturan pengenaan bea masuk terhadap produk impor asal China senilai US$60 miliar, atau sekitar Rp 824 Triliun.
Dalam Senate Finance Committee, badan AS yang mengatur barang-barang yang dikenai pajak dan bea, US Trade Representative Robert Lighthizer memasukkan barang-barang impor asal China yang bakal dikenai bea masuk, meliputi produk aeronautika, rel modern, kendaraan energi baru, dan produk teknologi tinggi (hi-tech).
Selang sehari kemudian, pemerintah China membalas dengan merilis daftar 128 daftar barang-barang impor asal AS senilai US$3 miliar, yang akan dikenai tarif baru. Mengutip Reuters, Negeri Tirai Bambu itu berencana memberlakukan tarif 25% pada impor daging babi dan aluminium daur ulang, serta tarif sebesar 15% untuk pipa baja, buah-buahan, dan minuman anggur.
Memang, sampai sekarang belum ada kejelasan mengenai daftar lengkap komoditas apa saja yang bakal jadi "korban", termasuk juga besaran kenaikan tarif per barang. Namun, setidaknya dari sejumlah komoditas yang sudah dilaporkan di atas, kami meihat bahwa perang antara dua "gajah" ekonomi dunia itu bisa memukul Indonesia.
Sebagaimana diketahui, dalam hukum ekonomi dikenal arus barang (dan jasa) yang jika terhenti akan berujung pada kemandegan ekonomi. Karenanya, semua negara berlomba-lomba memasarkan produk mereka ke negara lain. Hambatan di tengah proses ini akan berujung pada upaya mengalihkan arus barang ke pasar lain yang lebih terbuka.
Dalam kasus perang dagang AS dan China, energi kedua negara berkekuatan ekonomi terbesar dunia itu untuk menjajaki pasar lainnya pun makin menguat. Tidak heran, saat Trump meneken kenaikan tarif impor baja, pengusaha baja Indonesia ketar-ketir karena aliran baja impor dari China (yang semula ditujukan ke AS) akan membanjir ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ketika perang dagang kedua raksasa itu kian intens, kekhawatiran yang sama bisa merembet ke produk lain, khususnya bagi komoditas-komoditas yang memiliki pasar di Indonesia.
Berdasarkan perkembangan terakhir, komoditas yang teridentifikasi bisa beralih ke Indonesia ternyata cukup banyak.
Untuk mengecek produk-produk dari China yang kena bea impor baru, kami mengacu pada data perdagangan dari UN Comtrade Database pada tahun 2016 dan melakukan cek silang terhadap sejumlah komoditas tersebut.
Khusus untuk komoditas hi-tech, kami mengambil sampel dua komoditas, yakni Telecommunication Equipment (Kode SITC 764) dan Automatic Data Processing Machines (Kode SITC 752).
Apabila meninjau dari sisi barang-barang yang diekspor China, terlihat bahwa Negeri Panda itu mengekspor perlengkapan telekomunikasi dan mesin pemroses data otomatis dalam jumlah yang signifikan ke AS, masing-masing sebesar US$45,88 miliar dan US$39,12 miliar. Karenanya, bisa dimengerti kenapa China bersikap reaktif dengan balas mengenakan bea impor produk AS.
Sebagai langkah untuk menyelamatkan ekspornya, China bisa saja mencari peluang ekspor di pasar lain, termasuk Indonesia yang ternyata mengimpor dua komoditas di atas dari China dalam jumlah besar. Bahkan untuk perlengkapan telekomunikasi, nilai ekspor ke Indonesia mencapai US$2,23 miliar.
Untuk komoditas rel modern, Indonesia juga ternyata mengimpornya dari China dengan nilai US$17,91 juta, atau hampir separuh dari nilai impor Negeri Paman Sam untuk komoditas serupa sebesar US$48,86 juta. Dengan maraknya proyek infrastruktur di pemerintahan Jokowi, tidak mustahil impor Indonesia dari China untuk komoditas ini akan bertambah dan memperburuk defisit perdagangan nasional.
Bagaimana dengan produk AS yang berpeluang dilempar ke Indonesia? Sejauh ini memang tidak ada produk AS (yang ada dalam daftar China) yang dominan dalam struktur impor kita, selain buah-buahan. Meskipun tidak kami uraikan jenis buahnya secara spesifik, tetapi secara keseluruhan Indonesia mengimpor produk buah-buahan (plus kacang) dari AS sebesar US$101,34 juta. Nilai itu sekitar sepertiga dari nilai impor Negeri Panda untuk produk sejenis sebesar US$378,46 juta.
Dengan demikian, produk yang paling berpotensi membanjiri pasar Indonesia ketika China menaikkan tarif impor atas produk AS, adalah produk buah-buahan, meskipun dampaknya mungkin tidak terlalu besar. Namun, seandainya skala perang dagang China dan AS meluas, dan kemudian China memutuskan untuk menerapkan bea impor untuk komoditas kacang kedelai, tentu ceritanya akan berbeda.
Pada tahun 2016, Negeri Paman Sam mengekspor komoditas kacang kedelai dalam jumlah yang besar ke China, yakni dengan nilai ekspor mencapai US$ 14,18 miliar. Menariknya, ternyata AS juga mengekspor kacang kedelai dalam jumlah fantastis ke Indonesia, yaitu sebesar US$ 991,43 juta (sekitar Rp 13,67 triliun). Bahkan, kacang kedelai merupakan komoditas yang paling banyak diimpor Indonesia dari AS pada periode tersebut.
Apabila skenario di atas terjadi dan kran ekspor ke China tertutup, AS berpotensi membanjiri Republik Indonesia dengan kacang kedelai, dalam jumlah yang lebih besar dari sebelumnya. Ujung-ujungnya, defisit neraca perdagangan Indonesia yang saat ini sudah berlangsung akan semakin parah.
Sebagai catatan, sepanjang tahun 2018, Indonesia sudah mencatatkan defisit neraca perdagangan selama 2 bulan berturut-turut. Pada Januari, Indonesia mencatat defisit neraca perdagangan sebesar US$670 juta, sementara pada Februari sebesar US$110 juta. Defisit di awal tahun ini juga merupakan yang pertama kalinya sejak tahun 2013 silam.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto pernah menilai bahwa defisit neraca perdagangan yang berlangsung selama 2 bulan beruntun bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi triwulan I 2018 menurun dibandingkan triwulan IV 2017. Bahkan, pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa semakin akut jika neraca perdagangan tak kunjung surplus.
Selain itu, defisit neraca perdagangan yang terus berlangsung tentu akan melemahkan nilai tukar rupiah dan memperbesar defisit transaksi berjalan Indonesia. Perlu diingat bahwa defisit transaksi berjalan triwulan IV 2017 sudah lebih tinggi dibandingkan dengan defisit pada triwulan yang sama tahun 2016.
Pada triwulan IV 2017 defisit transaksi berjalan mencapai US$ 5,8 miliar (2,2% dari PDB), atau meningkat dari triwulan IV 2016 sebesar US$ 1,8 miliar (0,7% dari PDB). Bank Indonesia (BI) sendiri menyebutkan bahwa peningkatan defisit ini utamanya dipicu oleh menyusutnya surplus neraca perdagangan barang. Apabila defisit transaksi berjalan ini semakin melebar, bukan tidak mungkin Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) berujung defisit.
Pada akhirnya, situasi pelik ini perlu dilawan dengan dua kebijakan. Pertama, lawan negara yang menerapkan kebijakan proteksionistik dengan mengenakan tarif serupa untuk produk yang berpeluang membanjiri Indonesia. Misalnya, untuk kasus potensi derasnya aliran baja dari Negeri Tirai Bambu, maka Indonesia harus berani menerapkan tarif yang lebih tinggi untuk komoditas tersebut.
Kedua, ketergantungan impor kita terhadap produk luar negeri harus bisa diminimalisasi. Komoditas seperti perlengkapan telekomunikasi dan alat pemrosesan data yang sudah diulas di atas, seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri. Oleh karena itu, penguatan industri Indonesia menjadi syarat utama.
Kesimpulannya, Indonesia harus berani bertarung melawan mereka yang mengingkari norma perdagangan global, baik dari pengembangan internal maupun secara eksternal. Supaya setidaknya Indonesia tidak menjadi pelanduk yang terjebak jadi korban di tengah pertarungan dua gajah. **
(RHG/RHG)