Kinerja Komoditas RI: Batu Bara-CPO Menyedihkan, Karet Kuat

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
04 June 2019 17:14
Kinerja Komoditas RI: Batu Bara-CPO Menyedihkan, Karet Kuat
Jakarta, CNBC Indonesia - Gonjang-ganjing politik dan perekonomian global terbukti mampu membuat harga komoditas asal Indonesia terpengaruh.

Hingga hari Selasa (4/6/2019), sejumlah komoditas tercatat mengalami penurunan harga yang cukup tajam sejak awal tahun 2018. Namun sebahagian yang lain juga mampu membukukan penguatan pada periode yang sama.

Berdasarkan pantauan Tim Riset CNBC Indonesia, berikut pergerakan harga sejumlah komoditas sejak awal tahun 2019.



1. Batu Bara
Batu bara terpantau mengalami pelemahan harga yang paling parah. Mengawali tahun 2019 dengan US$ 99,9/metrik ton, harga batu bara acuan Newcastle anjlok hingga 25,18% hingga hari ini.

Pada akhir perdagangan Senin (3/6/2019), harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman Agustus di bursa Intercontinental Exchange (ICE) ditutup di level US$ 74,75/metrik ton.

Perlambatan ekonomi global merupakan sentimen kuat yang terus meneka harga batu bara. Penyebabnya adalah perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China yang tak kunjung usai, bahkan berpotensi semakin tereskalasi.

Dua negara sama-sama telah menaikkan bea impor. AS menaikkan tarif hingga 25% terhadap produk China senilai US$ 200 miliar. Sementara China membalas dengan mengenakan bea tambahan 5%-25% pada aneka produk AS senilai US$ 60 miliar.



Mengingat yang berseteru adalah dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia, maka rantai pasokan global akan terhambat.

Permintaan energi, yang besar berasal dari batu bara, berisiko untuk tidak tumbuh, bahkan terkontraksi.

Di sisi lain, produksi batu bara domestik di China kian meningkat. Biro Statistik Nasional (National Bureau of Statistics/NBS) China mengatakan bahwa tahun ini ada kapasitas produksi batu bara tambahan sebesar 194 juta ton yang siap untuk digarap.

China merupakan konsumen dan produsen batu bara terbesar di dunia, yang akan sangat mempengaruhi keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) di pasar global.

2. Minyak Kelapa Sawit Mentah (crude palm oil/CPO)
Nasib kurang baik kali ini juga menimpa komoditas CPO. Sejak awal tahun 2019, harga kontrak pembelian CPO berjangka di bursa Malaysia Derivatives Exchange melemah 3,06%.

Per hari Senin (3/6/2019) harga CPO acuan kontrak pengiriman Agustus berada di posisi MYR 2.056/ton.

Faktor fundamental yang timpang menjadi penyebab utama pelemahan harga CPO tahun ini, dan sejak tahun 2018.

Bagaimana tidak, pada akhir tahun 2018, inventori minyak sawit di Malaysia melonjak hingga 3,21 juta ton dan merupakan yang tertinggi dalam 19 tahun terakhir.



Sementara ada ancaman penurunan permintaan dari Uni Eropa akibat peraturan baru yang melarang penggunaan sawit sebagai campuran biosolar pada tahun 2030 mendatang. Meskipun baru mulai dikurangi secara bertahap pada tahun 2021, pelaku industri sudah mulai mencari substitusi seperti minyak kedelai dan minyak rapeseed.

Harga CPO juga terpengaruh oleh pergerakan harga minyak kedelai di AS. Akibat adanya perang dagang, China berpotensi mengurangi pembelian kedelai asal Negeri Paman Sam. Hal itu membuat stok kedelai di AS melimpah dan membebani harga.

Mengingat minyak kedelai dan minyak sawit adalah produk substitusi, maka pergerakan harga keduanya akan saling mempengaruhi.

BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
3. Emas
Harga emas sedikit bernasib baik dengan penguatan sebesar 3,6% sejak awal tahun. Berdasarkan data Refinitiv, harga emas kontrak pengiriman Agustus di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) ditutup di posisi US$ 1.327,9/troy ounce pada perdagangan hari Senin (3/6/2019).



Selaku salah satu safe haven, harga emas mendapat sokongan dari ketidakpastian ekonomi global.

Perang dagang AS-China yang diikuti oleh sejumlah data ekonomi beberapa negara yang mengecewakan membuat investor makin gencar untuk mengoleksi emas.

Maklum, pergerakan harga emas memang cenderung lebih stabil jika dibandingkan dengan instrumen-instrumen berisiko seperti saham dan obligasi.

Alhasil, potensi kerugian dapat diredam dengan mengalihkan aset ke dalam bentuk emas. Meskipun keuntungan pun juga kecil.

4. Karet
Harga karet mampu menguat hingga 12,93% sejak awal tahun 2019. Membuka tahun dengan JPY 177/kg, harga karet acuan di bursa Tokyo Commodity Exchange (TOCOM) ditutup di level JPY 192,2/kg pada hari Senin (3/6/2019).

Sebagai informasi, perdagangan karet di bursa TOCOM seringkali menjadi acuan dalam transaksi karet di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Salah satu sentimen pendorong harga karet adalah kebijakan tiga anggota International Tripartite Rubber Council (ITRC), yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia, untuk mengurangi ekspor karet sebesar 240 ribu ton selama empat bulan mulai April 2019.



Diketahui tiga negara tersebut menguasai lebih dari 60% produksi karet dunia.

Namun harga karet masih mendapat tekanan dari aktivitas industri manufaktur, terutama kendaraan bermotor yang lesu.

Di China, penjualan mobil sepanjang bulan April mengalami kontraksi hingga 14,6% year-on-year (YoY) dan merupakan kontaksi bulanan yang ke-10 secara berturut-turut.

Sama halnya dengan di Indonesia, dimana penjualan mobil sepanjang Januari-April 2019 hanya sebesar 337.892 unit, atau turun hingga 14,2% YoY.

Penggunaan karet yang sebagian besar untuk industri ban kendaraan bermotor berpeluang besar untuk tidak tumbuh saat penjualan mobil melambat. Bahkan ada kemungkinan mengalami kontraksi.

5. Minyak Mentah (Brent)
Harga minyak mentah masih terus mendapat support dari kebijakan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya dalam memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari sejak awal tahun 2019.

Sejak saat itu pula harga minyak tercatat menguat hingga 13,42%.

Hingga kemarin, harga minyak mentah Brent kontrak pengiriman Agustus ditutup di posisi US$ 61,02/barel.

Namun belakangan perang dagang AS-China menjadi beban yang cukup berat bagi minyak mentah. Pasalnya proyeksi permintaan energi bisa turun.



Sejak akhir April 2019, harga minyak sudah amblas hingga 20% dan menjadi penurunan paling tajam sejak November 2018.

Kini pelaku pasar masih menantikan keputusan OPEC perihal kelanjutan kebijakan pemangkasan produksi minyak. Pertemuan OPEC akan dilangsungkan di Wina, Austria bulan Juli mendatang.

Bila produksi akan terus dikurangi, seperti yang diindikasikan oleh Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih, maka harga minyak berpotensi untuk kembali terangkat.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular