
Inflasi Kuartal I-2018 'Jinak', Tapi Tetap Ada PR
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 April 2018 11:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Satu kali adalah kecelakaan, dua kali kebetulan, tetapi kalau sudah tiga kali namanya pola. Pepatah itu sepertinya cocok untuk menggambarkan inflasi di Indonesia. Sudah tiga tahun berturut-turut Indonesia bisa mempertahankan inflasi rendah dan stabil di kisaran 3%.
Pada 2015, inflasi tercatat 3,35%. Kemudian pada 2016 adalah 3,02%, dan 2017 di 3,61%. Kalau sudah tiga kali, mungkin kita bisa sebut ini sebagai pola baru inflasi domestik.
Pola baru ini masih berlanjut pada 2018, setidaknya sampai kuartal satu. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, laju inflasi Maret sebesar 0,2% secara bulanan dan 3,4% secara tahunan. Ini membuat laju inflasi tahun kalender sepanjang kuartal I-2018 sebesar 0,99%.
Pada tiga bulan pertama 2017, laju inflasi tercatat 1,18%. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, pencapaian 2018 sedikit lebih baik.
Awal tahun lalu, inflasi memang agak tinggi karena tekanan di harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices). Pada Januari, pemerintah menaikkan biaya Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) mencapai dua kali lipat. Kemudian pada Februari, ada kenaikan tarif listrik tahap I.
Faktor-faktor tersebut sudah tidak ada pada 2018. Bahkan pemerintah berkomitmen untuk tidak menaikkan tarif listrik dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sepanjang tahun ini. Ini membuat laju inflasi, setidaknya sampai kuartal I, masih 'jinak'. Administered prices yang mewarnai inflasi 2017 kini sudah tidak terlihat.
Rupiah
Namun ada hal yang menjadi faktor inflatoir selama kuartal I-2018, yaitu depresiasi nilai tukar rupiah. Sepanjang kuartal I-2018, rupiah melemah 1,41% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Bersama rupee dan dolar Hong Kong, rupiah menjadi mata uang di kelompok merah. Sementara yen Jepang, dolar Singapura, ringgit Malaysia, sampai baht Thailand mampu menguat terhadap greenback.
Pelemahan rupiah membuat biaya impor meningkat. Padahal impor tahun ini mengalir deras seiring perbaikan pertumbuhan ekonomi.
Indonesia masih punya kebiasaan di mana kala pertumbuhan ekonomi terakselerasi pasti disertai peningkatan impor. Sebab, industri dalam negeri belum bisa memenuhi kenaikan permintaan (terutama untuk bahan baku dan barang modal) sehingga mau tidak mau mesti ada impor.
Harga pangan juga patut mendapat perhatian, meski sejauh ini tekanannya masih minimal. Pasalnya, ada kemungkinan panen raya tidak sebaik perkiraan.
Suhu udara sepertinya kurang mendukung untuk mencapai panen beras yang optimal. Beras membutuhkan suhu 25-30 derajat celcius untuk mencapai pertumbuhan optimal, sementara pada kuartal I lalu rata-rata suhu adalah 24,71 derajat celcius.
Pada 2015, inflasi tercatat 3,35%. Kemudian pada 2016 adalah 3,02%, dan 2017 di 3,61%. Kalau sudah tiga kali, mungkin kita bisa sebut ini sebagai pola baru inflasi domestik.
Pola baru ini masih berlanjut pada 2018, setidaknya sampai kuartal satu. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, laju inflasi Maret sebesar 0,2% secara bulanan dan 3,4% secara tahunan. Ini membuat laju inflasi tahun kalender sepanjang kuartal I-2018 sebesar 0,99%.
Awal tahun lalu, inflasi memang agak tinggi karena tekanan di harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices). Pada Januari, pemerintah menaikkan biaya Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) mencapai dua kali lipat. Kemudian pada Februari, ada kenaikan tarif listrik tahap I.
Faktor-faktor tersebut sudah tidak ada pada 2018. Bahkan pemerintah berkomitmen untuk tidak menaikkan tarif listrik dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sepanjang tahun ini. Ini membuat laju inflasi, setidaknya sampai kuartal I, masih 'jinak'. Administered prices yang mewarnai inflasi 2017 kini sudah tidak terlihat.
Rupiah
Namun ada hal yang menjadi faktor inflatoir selama kuartal I-2018, yaitu depresiasi nilai tukar rupiah. Sepanjang kuartal I-2018, rupiah melemah 1,41% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Bersama rupee dan dolar Hong Kong, rupiah menjadi mata uang di kelompok merah. Sementara yen Jepang, dolar Singapura, ringgit Malaysia, sampai baht Thailand mampu menguat terhadap greenback.
![]() |
Indonesia masih punya kebiasaan di mana kala pertumbuhan ekonomi terakselerasi pasti disertai peningkatan impor. Sebab, industri dalam negeri belum bisa memenuhi kenaikan permintaan (terutama untuk bahan baku dan barang modal) sehingga mau tidak mau mesti ada impor.
Harga pangan juga patut mendapat perhatian, meski sejauh ini tekanannya masih minimal. Pasalnya, ada kemungkinan panen raya tidak sebaik perkiraan.
Suhu udara sepertinya kurang mendukung untuk mencapai panen beras yang optimal. Beras membutuhkan suhu 25-30 derajat celcius untuk mencapai pertumbuhan optimal, sementara pada kuartal I lalu rata-rata suhu adalah 24,71 derajat celcius.
![]() |
Next Page
Cermati Inflasi Inti
Pages
Most Popular