
IHSG Anjlok 1,9% Kinerja Mingguan Terburuk Sejak Akhir 2016
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
23 March 2018 11:22

Jakarta, CNBC Indonesia - IHSG terkoreksi sangat dalam pada perdagangan terakhir di pekan ini. Sampai dengan berita ini diturunkan, IHSG anjlok hingga 1,9% ke level 6.134,99 poin.
Pelemahan IHSG senada dengan bursa saham regional yang juga kompak berada di zona merah: indeks Nikkei turun 3,54%, indeks Shanghai turun 2,93%, indeks Hang Seng turun 2,91%, indeks Strait Times turun 1,85%, indeks Kospi turun 2,21%, indeks SET (Thailand) turun 0,74%, dan indeks KLCI (Malaysia) turun 0,64%.
Jika dihitung secara mingguan sampai dengan berita ini diturunkan, IHSG sudah anjlok sebesar 2,7%, dimana ini merupakan pelemahan mingguan terbesar yang pernah dialami IHSG semenjak minggu keempat Desember 2016. Kala itu, IHSG anjlok hingga sebesar 3,9% secara mingguan.
Sentimen negatif bagi IHSG dan bursa saham regional datang utamanya dari sisi eksternal. Pertama, investor nampak masih menghindari aset-aset beresiko pasca the Federal Reserve mengumumkan hasil pertemuannya kemarin (22/3/2018).
Beberapa hasil dari pertemuan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang kurang suportif bagi pasar saham. Pertama, potensi kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini kini sudah di depan mata.
Kedua, pengetatan pada tahun 2019 dan 2020 diproyeksikan akan bertambah setidaknya 1 kali dari yang sudah ditetapkan sebelumnya. Ketiga, adanya kebingungan yang berasal dari tak selarasnya proyeksi ekonomi the Fed dengan pernyataan resminya.
Dalam proyeksi ekonomi yang disampaikan The Fed, bank sentral AS tersebut menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini mencapai 2,7%, dari yang sebelumnya 2,5%. Untuk tahun depan, angkanya dinaikkan 0,3% menjadi 2,4%, dari yang sebelumnya 2,1%.
Masalahnya, pernyataan yang dirilis The Fed seolah menentang proyeksi yang mereka buat sendiri. Dalam pernyataan resminya, The Fed mengatakan bahwa aktivitas ekonomi tumbuh pada level yang moderat sejak pertemuannya pada Januari lalu. Padahal, pada pertemuan bulan Januari, aktivitas ekonomi dinyatakan tumbuh dalam tingkat yang solid.
Jika the Fed melihat aktivitas ekonomi tumbuh dalam ritme yang biasa saja (moderat), lantas mengapa proyeksi pertumbuhan ekonomi dinaikkan secara signifikan?
Belum selesai pelaku pasar melakukan price-in atas hal-hal tersebut, Donald Trump kembali membuat gempar ekonomi dunia dengan menandatangani kebijakan pengenaan bea impor yang menargetkan impor asal China senilai hingga US$ 60 miliar atau sekitar Rp 824 triliun.
Kebijakan baru itu didesain untuk 'menghukum' China atas praktik perdagangannya yang disebut oleh pemerintahan Trump mencuri hak kekayaan intelektual perusahaan-perusahaan AS. Kebijakan itu pada awalnya akan dikenakan pada produk-produk tertentu di sektor teknologi di mana China memiliki keuntungan dibandingkan AS.
Walaupun nantinya akan ada periode diskusi sepanjang 30 hari guna melakukan perundingan dagang dengan China, tetapi ketakutan pelaku pasar sudah atas terjadinya perang dagang dalam skala global benar-benar tak terhindarkan. Pasalnya, Kementerian Perdagangan China sudah mempublikasikan daftar 128 produk AS yang berpotensi menjadi target tindakan balasan, termasuk daging babi, wine, buah-buahan, dan baja.
Anjloknya IHSG salah satunya dipicu oleh aksi jual investor asing. Baru saja kembali ke pasar saham Indonesia dengan melakukan beli bersih senilai Rp 127,01 miliar kemarin, kini mereka telah melakukan jual bersih sebesar Rp 347,17 miliar.
(hps) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Pelemahan IHSG senada dengan bursa saham regional yang juga kompak berada di zona merah: indeks Nikkei turun 3,54%, indeks Shanghai turun 2,93%, indeks Hang Seng turun 2,91%, indeks Strait Times turun 1,85%, indeks Kospi turun 2,21%, indeks SET (Thailand) turun 0,74%, dan indeks KLCI (Malaysia) turun 0,64%.
Jika dihitung secara mingguan sampai dengan berita ini diturunkan, IHSG sudah anjlok sebesar 2,7%, dimana ini merupakan pelemahan mingguan terbesar yang pernah dialami IHSG semenjak minggu keempat Desember 2016. Kala itu, IHSG anjlok hingga sebesar 3,9% secara mingguan.
Beberapa hasil dari pertemuan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang kurang suportif bagi pasar saham. Pertama, potensi kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini kini sudah di depan mata.
Kedua, pengetatan pada tahun 2019 dan 2020 diproyeksikan akan bertambah setidaknya 1 kali dari yang sudah ditetapkan sebelumnya. Ketiga, adanya kebingungan yang berasal dari tak selarasnya proyeksi ekonomi the Fed dengan pernyataan resminya.
Dalam proyeksi ekonomi yang disampaikan The Fed, bank sentral AS tersebut menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini mencapai 2,7%, dari yang sebelumnya 2,5%. Untuk tahun depan, angkanya dinaikkan 0,3% menjadi 2,4%, dari yang sebelumnya 2,1%.
Masalahnya, pernyataan yang dirilis The Fed seolah menentang proyeksi yang mereka buat sendiri. Dalam pernyataan resminya, The Fed mengatakan bahwa aktivitas ekonomi tumbuh pada level yang moderat sejak pertemuannya pada Januari lalu. Padahal, pada pertemuan bulan Januari, aktivitas ekonomi dinyatakan tumbuh dalam tingkat yang solid.
Jika the Fed melihat aktivitas ekonomi tumbuh dalam ritme yang biasa saja (moderat), lantas mengapa proyeksi pertumbuhan ekonomi dinaikkan secara signifikan?
Belum selesai pelaku pasar melakukan price-in atas hal-hal tersebut, Donald Trump kembali membuat gempar ekonomi dunia dengan menandatangani kebijakan pengenaan bea impor yang menargetkan impor asal China senilai hingga US$ 60 miliar atau sekitar Rp 824 triliun.
Kebijakan baru itu didesain untuk 'menghukum' China atas praktik perdagangannya yang disebut oleh pemerintahan Trump mencuri hak kekayaan intelektual perusahaan-perusahaan AS. Kebijakan itu pada awalnya akan dikenakan pada produk-produk tertentu di sektor teknologi di mana China memiliki keuntungan dibandingkan AS.
Walaupun nantinya akan ada periode diskusi sepanjang 30 hari guna melakukan perundingan dagang dengan China, tetapi ketakutan pelaku pasar sudah atas terjadinya perang dagang dalam skala global benar-benar tak terhindarkan. Pasalnya, Kementerian Perdagangan China sudah mempublikasikan daftar 128 produk AS yang berpotensi menjadi target tindakan balasan, termasuk daging babi, wine, buah-buahan, dan baja.
Anjloknya IHSG salah satunya dipicu oleh aksi jual investor asing. Baru saja kembali ke pasar saham Indonesia dengan melakukan beli bersih senilai Rp 127,01 miliar kemarin, kini mereka telah melakukan jual bersih sebesar Rp 347,17 miliar.
(hps) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Most Popular