
Bunga Acuan AS Naik, IHSG Berpotensi Lanjutkan Penguatan
Tim CNBC Indonesia, CNBC Indonesia
22 March 2018 09:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Para investor pasar modal tanah air merespon positif kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve yang menaikkan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate (FFR). Buktinya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan hari ini dibuka menguat 0,30% ke 6.331,98 Poin.
Penguatan IHSG pada awal perdagangan ini masih ditopang oleh saham emiten-emiten kecil yang langsung mengalami penguatan diatas 15% pada pembukaan perdagangan. Saham PT Dwi Guna Laksana Tbk (DWGL) menguat 22,83%, saham PT Dharma Samudera Fishing In Tbk (DSFI) menguat 21,68% dan saham PT Kobexindo Tractors Tbk (KOBX) menguat 20,18%.
Tanggapan pelaku pasar di bursa regional terhadap kenaikan bunga The Fed memang cukup variatif. Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan pelemahan tipis. Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan S&P 500 masing-masing melemah 0,18%, sementara Nasdaq terkoreksi 0,26%.
Di Asia, Indeks Hang Seng meresponnya dengan menguat 0,5% ketika pembukaan perdagangan. Indeks Kospi dibuka menguat 0,4%. Hanya bursa Jepang yang merespon negatif kenaikan ini. Indeks Nikkei 225 dibuka melemah 0,13%.
Untuk perdagangan hari ini, Kamis (22/3/2018), terdapat sejumlah faktor yang bisa membuat IHSG kembali melanjutkan penguatan. Pertama adalah perkembangan di AS, di mana The Fed sudah menaikkan suku bunga dan semua sesuai ekspektasi pasar. Tidak adanya kejutan dari AS membuat investor bisa tenang dan melanjutkan "berbelanja" di bursa saham Indonesia.
Setelah enam hari beruntun terkoreksi, harga aset di bursa domestik juga masih murah. Sejak awal tahun, koreksi IHSG mencapai 0,67%. Masih bisa dimanfaatkan investor untuk melakukan aksi borong.
Sejumlah emiten juga masih akan melaporkan kinerjanya seperti PNBS dan INTP. Bila hasilnya positif, maka akan menjadi tambahan energi untuk laju IHSG.
Posisi dolar AS yang galau juga bisa dimanfaatkan rupiah untuk menguat. Penguatan rupiah diharapkan bisa berkontribusi positif untuk IHSG, setidaknya mengurangi minat investor asing untuk melepas asetnya.
Harga komoditas juga sepertinya kondusif bagi IHSG. Harga minyak masih melanjutan reli, kali ini penguatannya mencapai 3%.
Kenaikan harga si emas hitam dipicu oleh kepatuhan anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dalam mengurangi produksi. Pengurangan produksi bulan ini mencapai 138%.
Selain itu, lonjakan harga minyak juga disebabkan oleh kekhawatiran meningkatnya tensi di Timur Tengah. Hal ini mengemuka setelah pertemuan Trump dengan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman. Kemungkinan sanksi bagi Iran akan diterapkan kembali, setelah sempat dicabut di mana pemerintahan Presiden Barack Obama, pun mengemuka.
Namun, masih ada risiko bagi IHSG untuk kembali terjerembab di zona merah. Koreksi Wall Street bisa menjadi sentimen negatif bagi bursa Asia termasuk Indonesia.
Meski semua masih sesuai ekspektasi, tetapi jangan dilupakan bahwa masih ada kemungkinan (walau kecil) The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga. Bila pelaku pasar di Asia membacanya demikian, maka koreksi Wall Street bisa menular ke Benua Kuning.
Berikutnya adalah pasar juga menantikan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang akan diumumkan hari ini. Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, BI masih akan menahan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate di 4,25%.
Masa penantian menunggu pengumuman BI bisa membuat pasar bersikap hati-hati. Ini bisa memperlambat laju IHSG.
Risiko lainnya adalah meski IHSG sudah minus sejak awal tahun, tetapi valuasinya masih relatif mahal. Price to earnings ratio (P/E) IHSG masih di 17,84%. Lebih tinggi ketimbang Straits Times (11,64 kali), KLCI (16,85 kali), SETi (17,04 kali), Nikkei 225 (15,43 kali), Hang Seng (13,06 kali), SSEC (14,84 kali), sampai Kospi (12,1 kali).
Investor, terutama di pasar obligasi, juga perlu waspada terhadap dampak kenaikan Federal Funds Rate. Biasanya setelah kenaikan suku bunga di AS, ada dana asing yang mengalir keluar. Meski mungkin hanya berlangsung beberapa hari, tetapi risiko ini tetap perlu dicermati.
(roy/roy) Next Article Pasca Libur Lebaran, IHSG Anjlok
Penguatan IHSG pada awal perdagangan ini masih ditopang oleh saham emiten-emiten kecil yang langsung mengalami penguatan diatas 15% pada pembukaan perdagangan. Saham PT Dwi Guna Laksana Tbk (DWGL) menguat 22,83%, saham PT Dharma Samudera Fishing In Tbk (DSFI) menguat 21,68% dan saham PT Kobexindo Tractors Tbk (KOBX) menguat 20,18%.
Untuk perdagangan hari ini, Kamis (22/3/2018), terdapat sejumlah faktor yang bisa membuat IHSG kembali melanjutkan penguatan. Pertama adalah perkembangan di AS, di mana The Fed sudah menaikkan suku bunga dan semua sesuai ekspektasi pasar. Tidak adanya kejutan dari AS membuat investor bisa tenang dan melanjutkan "berbelanja" di bursa saham Indonesia.
Setelah enam hari beruntun terkoreksi, harga aset di bursa domestik juga masih murah. Sejak awal tahun, koreksi IHSG mencapai 0,67%. Masih bisa dimanfaatkan investor untuk melakukan aksi borong.
Sejumlah emiten juga masih akan melaporkan kinerjanya seperti PNBS dan INTP. Bila hasilnya positif, maka akan menjadi tambahan energi untuk laju IHSG.
Posisi dolar AS yang galau juga bisa dimanfaatkan rupiah untuk menguat. Penguatan rupiah diharapkan bisa berkontribusi positif untuk IHSG, setidaknya mengurangi minat investor asing untuk melepas asetnya.
Harga komoditas juga sepertinya kondusif bagi IHSG. Harga minyak masih melanjutan reli, kali ini penguatannya mencapai 3%.
Kenaikan harga si emas hitam dipicu oleh kepatuhan anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dalam mengurangi produksi. Pengurangan produksi bulan ini mencapai 138%.
Selain itu, lonjakan harga minyak juga disebabkan oleh kekhawatiran meningkatnya tensi di Timur Tengah. Hal ini mengemuka setelah pertemuan Trump dengan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman. Kemungkinan sanksi bagi Iran akan diterapkan kembali, setelah sempat dicabut di mana pemerintahan Presiden Barack Obama, pun mengemuka.
Namun, masih ada risiko bagi IHSG untuk kembali terjerembab di zona merah. Koreksi Wall Street bisa menjadi sentimen negatif bagi bursa Asia termasuk Indonesia.
Meski semua masih sesuai ekspektasi, tetapi jangan dilupakan bahwa masih ada kemungkinan (walau kecil) The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga. Bila pelaku pasar di Asia membacanya demikian, maka koreksi Wall Street bisa menular ke Benua Kuning.
Berikutnya adalah pasar juga menantikan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang akan diumumkan hari ini. Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, BI masih akan menahan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate di 4,25%.
Masa penantian menunggu pengumuman BI bisa membuat pasar bersikap hati-hati. Ini bisa memperlambat laju IHSG.
Risiko lainnya adalah meski IHSG sudah minus sejak awal tahun, tetapi valuasinya masih relatif mahal. Price to earnings ratio (P/E) IHSG masih di 17,84%. Lebih tinggi ketimbang Straits Times (11,64 kali), KLCI (16,85 kali), SETi (17,04 kali), Nikkei 225 (15,43 kali), Hang Seng (13,06 kali), SSEC (14,84 kali), sampai Kospi (12,1 kali).
Investor, terutama di pasar obligasi, juga perlu waspada terhadap dampak kenaikan Federal Funds Rate. Biasanya setelah kenaikan suku bunga di AS, ada dana asing yang mengalir keluar. Meski mungkin hanya berlangsung beberapa hari, tetapi risiko ini tetap perlu dicermati.
(roy/roy) Next Article Pasca Libur Lebaran, IHSG Anjlok
Most Popular