
Internasional
10 Tahun Pasca-Krisis, Investor AS Masih Ragu Investasi Saham
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
19 March 2018 18:38

New York, CNBC Indonesia - Luke Thomas, 44, seorang manajer lapangan di perusahaan teknologi informasi yang tinggal di Miami, Amerika Serikat (AS), mulai berinvestasi di bursa saham AS sejak berusia 20-an. Ia tertarik mengetahui bagaimana cara 'menumbuhkan sedikit uang menjadi sangat banyak'.
Saat itu ia menghabiskan sebagian besar uangnya untuk berinvestasi di beberapa saham berkapitalisasi pasar kecil. Namun, ia dihantui kecemasan saat indeks beberapa perusahaan kecil, Russell 2000, anjlok lebih dari 60% selama krisis keuangan tahun 2008-2009. Kini, ia berinvestasi di banyak aset, dilansir dari Reuters.
Saat ini ia berinvestasi di saham-saham perusahaan besar, real estate, kontrak opsi (option), dan mata uang kripto (cryptocurrency), seperti Bitcoin karena berusaha membagi risiko investasinya ke beberapa jenis aset.
"Luke versi muda mungkin akan berfokus 90% pada crypto, menghabiskan uangnya di satu jenis investasi. Namun dengan cara ini [diversifikasi aset], saya tidak akan terekspos [risiko] terlalu besar," ujarnya.
Thomas bukan satu-satunya yang ragu untuk berinvestasi di saham dalam jumlah besar.
Sepuluh tahun setelah dimulainya krisis keuangan yang menyebabkan hilangnya aset senilai US$16,4 triliun (Rp 225.729 triliun) milik investor ritel AS, investor Amerika belum sepenuhnya yakin berinvestasi di pasar saham AS sebagaimana dahulu.
Mereka memiliki lebih sedikit saham dan mengurangi investasi di ekuitas secara keseluruhan meskipun pasar telah bullish selama sembilan tahun berturut-turut dan mendorong naik indeks S&P 500 hampir 310% dari posisi terendahnya pada tahun 2009.
Secara keseluruhan, nilai investasi saham para investor ritel AS lebih rendah hingga US$900 miliar dibandingkan tahun 2007, menurut riset Goldman Sachs, sehingga permintaan terbesar untuk transaksi saham kini datang dari korporasi.
Sementara itu, dalam dana rencana pensiun, para investor sekarang memegang rata-rata 52,4% dana dengan komposisi ekuitas saja, turun dari 64,7% pada tahun 2007, menurut Fidelity.
Sebagai gantinya, investor sekarang memegang rata-rata 33,2% dari keseluruhan aset mereka dalam instrumen blended target-date funds, yang menggabungkan saham, obligasi, dan uang tunai. Instrumen ini disesuaikan dengan tanggal pensiun dari investornya untuk memberikan imbal hasil yang maksimal. Kepemilikan investor rumah tangga AS pada instrumen ini telah mencapai lebih dari dua kali lipat dari nilai tahun 2007, yang sebesar 14,5%.
"Sepertinya tidak ada minat yang tinggi atau semangat besar yang sama" di antara investor sekarang terhadap ekuitas, kata Mark Paccione, direktur riset investasi di Capellust Financial Advisors, yang mengelola aset senilai US$250 miliar.
Ia juga mengatakan klien jauh lebih peduli pada dampak kenaikan suku bunga dan inflasi terhadap portofolio obligasi mereka.
"Mereka sangat khawatir pasar obligasi kita akan bearish dan mereka mencurahkan hampir seluruh fokus mereka ke sana," ujarnya.
ERA MEMBELI SAHAM DIPERKIRAKAN BERAKHIR
Investor tidak hanya memegang lebih sedikit saham secara keseluruhan, namun mereka juga semakin tertarik menaruh dana mereka di indeks dana (index funds) yang melacak indeks secara lebih luas daripada saham-saham atau dana tertentu yang dijalankan oleh stockpicker.
Para penasihat keuangan mengatakan dorongan tersebut disebabkan oleh klien yang kehilangan kepercayaan pada kemampuan manajer dana (fund manager) profesional setelah hampir semuanya gagal mengantisipasi krisis keuangan.
"Investasi indeks lebih banyak terjadi daripada sebelumnya, dan itu karena manajemen tidak melindungi Anda dari kerugian selama krisis dan telah bekerja dengan buruk selama 10 tahun terakhir," ujar Matt Hanson, penasihat kekayaan senior di Kayne Anderson Rudnick yang mengawasi sekitar US$18,9 miliar aset.
Ada sekitar 46% dana pasif saat ini yang terdiri dari aset reksa dana dan ETF, dibandingkan dengan hanya 8% di awal tahun 2008, menurut fund-tracker Morningstar.
Saat ini ada 1.400 reksa dana ekuitas dan ETF yang dikelola secara pasif, dengan total aset US$5,4 triliun, dibandingkan dengan 707 kepemilikan dana senilai US$1,2 triliun pada tahun 2007, menurut data Lipper. Dorongan terhadap investasi pasif telah membantu membuat penyedia dana berbasis indeks, BlackRock Inc, dan Vanguard, yang dimiliki swasta, menjadi dua manajer dana terbesar di dunia.
Dibandingkan perdagangan saham secara individual, tingkat pertumbuhan perdagangan kontrak opsi (option) terakselerasi lebih cepat di broker, seperti E Trade Financial dan TD Ameritrade, kata Mac Sykes, seorang analis saham di Gabelli & Co. Sementara itu volume perdagangan saham bulanan untuk NYSE Group 43% lebih rendah pada tahun 2017 dibandingkan tahun 2007, menurut data NYSE.
Investor skala kecil saat ini lebih banyak berinvestasi di cryptocurrency untuk mencari keuntungan besar, yang mereka yakini tidak lagi bisa diperoleh dari berinvestasi di pasar saham.
Layla Tabatabaie, seorang pengusaha dan penasehat startup teknologi yang tinggal di New York, mulai berinvestasi pada penawaran koin awal atau ICO, sekitar satu setengah tahun yang lalu. Dia saat ini lebih banyak berinvestasi di mata uang kripto, yang dianggapnya menawarkan keuntungan yang lebih besar.
"Saya melihat crypto lebih menguntungkan daripada saham karena sepertinya ada lebih banyak peluang bagi investor ritel untuk memperoleh keuntungan karena berinvestasi lebih awal," katanya. "Pergerakan crypto sekarang sama seperti pergerakan saham 10 atau 15 tahun yang lalu.
(prm) Next Article Saham & Emas Kompak Meroket! Saatnya Taruh Duit Di Sana?
Saat itu ia menghabiskan sebagian besar uangnya untuk berinvestasi di beberapa saham berkapitalisasi pasar kecil. Namun, ia dihantui kecemasan saat indeks beberapa perusahaan kecil, Russell 2000, anjlok lebih dari 60% selama krisis keuangan tahun 2008-2009. Kini, ia berinvestasi di banyak aset, dilansir dari Reuters.
Saat ini ia berinvestasi di saham-saham perusahaan besar, real estate, kontrak opsi (option), dan mata uang kripto (cryptocurrency), seperti Bitcoin karena berusaha membagi risiko investasinya ke beberapa jenis aset.
Thomas bukan satu-satunya yang ragu untuk berinvestasi di saham dalam jumlah besar.
Sepuluh tahun setelah dimulainya krisis keuangan yang menyebabkan hilangnya aset senilai US$16,4 triliun (Rp 225.729 triliun) milik investor ritel AS, investor Amerika belum sepenuhnya yakin berinvestasi di pasar saham AS sebagaimana dahulu.
Mereka memiliki lebih sedikit saham dan mengurangi investasi di ekuitas secara keseluruhan meskipun pasar telah bullish selama sembilan tahun berturut-turut dan mendorong naik indeks S&P 500 hampir 310% dari posisi terendahnya pada tahun 2009.
Secara keseluruhan, nilai investasi saham para investor ritel AS lebih rendah hingga US$900 miliar dibandingkan tahun 2007, menurut riset Goldman Sachs, sehingga permintaan terbesar untuk transaksi saham kini datang dari korporasi.
Sementara itu, dalam dana rencana pensiun, para investor sekarang memegang rata-rata 52,4% dana dengan komposisi ekuitas saja, turun dari 64,7% pada tahun 2007, menurut Fidelity.
Sebagai gantinya, investor sekarang memegang rata-rata 33,2% dari keseluruhan aset mereka dalam instrumen blended target-date funds, yang menggabungkan saham, obligasi, dan uang tunai. Instrumen ini disesuaikan dengan tanggal pensiun dari investornya untuk memberikan imbal hasil yang maksimal. Kepemilikan investor rumah tangga AS pada instrumen ini telah mencapai lebih dari dua kali lipat dari nilai tahun 2007, yang sebesar 14,5%.
"Sepertinya tidak ada minat yang tinggi atau semangat besar yang sama" di antara investor sekarang terhadap ekuitas, kata Mark Paccione, direktur riset investasi di Capellust Financial Advisors, yang mengelola aset senilai US$250 miliar.
Ia juga mengatakan klien jauh lebih peduli pada dampak kenaikan suku bunga dan inflasi terhadap portofolio obligasi mereka.
"Mereka sangat khawatir pasar obligasi kita akan bearish dan mereka mencurahkan hampir seluruh fokus mereka ke sana," ujarnya.
ERA MEMBELI SAHAM DIPERKIRAKAN BERAKHIR
Investor tidak hanya memegang lebih sedikit saham secara keseluruhan, namun mereka juga semakin tertarik menaruh dana mereka di indeks dana (index funds) yang melacak indeks secara lebih luas daripada saham-saham atau dana tertentu yang dijalankan oleh stockpicker.
Para penasihat keuangan mengatakan dorongan tersebut disebabkan oleh klien yang kehilangan kepercayaan pada kemampuan manajer dana (fund manager) profesional setelah hampir semuanya gagal mengantisipasi krisis keuangan.
"Investasi indeks lebih banyak terjadi daripada sebelumnya, dan itu karena manajemen tidak melindungi Anda dari kerugian selama krisis dan telah bekerja dengan buruk selama 10 tahun terakhir," ujar Matt Hanson, penasihat kekayaan senior di Kayne Anderson Rudnick yang mengawasi sekitar US$18,9 miliar aset.
Ada sekitar 46% dana pasif saat ini yang terdiri dari aset reksa dana dan ETF, dibandingkan dengan hanya 8% di awal tahun 2008, menurut fund-tracker Morningstar.
Saat ini ada 1.400 reksa dana ekuitas dan ETF yang dikelola secara pasif, dengan total aset US$5,4 triliun, dibandingkan dengan 707 kepemilikan dana senilai US$1,2 triliun pada tahun 2007, menurut data Lipper. Dorongan terhadap investasi pasif telah membantu membuat penyedia dana berbasis indeks, BlackRock Inc, dan Vanguard, yang dimiliki swasta, menjadi dua manajer dana terbesar di dunia.
Dibandingkan perdagangan saham secara individual, tingkat pertumbuhan perdagangan kontrak opsi (option) terakselerasi lebih cepat di broker, seperti E Trade Financial dan TD Ameritrade, kata Mac Sykes, seorang analis saham di Gabelli & Co. Sementara itu volume perdagangan saham bulanan untuk NYSE Group 43% lebih rendah pada tahun 2017 dibandingkan tahun 2007, menurut data NYSE.
Investor skala kecil saat ini lebih banyak berinvestasi di cryptocurrency untuk mencari keuntungan besar, yang mereka yakini tidak lagi bisa diperoleh dari berinvestasi di pasar saham.
Layla Tabatabaie, seorang pengusaha dan penasehat startup teknologi yang tinggal di New York, mulai berinvestasi pada penawaran koin awal atau ICO, sekitar satu setengah tahun yang lalu. Dia saat ini lebih banyak berinvestasi di mata uang kripto, yang dianggapnya menawarkan keuntungan yang lebih besar.
"Saya melihat crypto lebih menguntungkan daripada saham karena sepertinya ada lebih banyak peluang bagi investor ritel untuk memperoleh keuntungan karena berinvestasi lebih awal," katanya. "Pergerakan crypto sekarang sama seperti pergerakan saham 10 atau 15 tahun yang lalu.
(prm) Next Article Saham & Emas Kompak Meroket! Saatnya Taruh Duit Di Sana?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular