Perang Dagang Mulai, Dampaknya Terhadap Indonesia

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 March 2018 11:36
Jika AS dan China Perang Dagang, Siap-Siap Angkat Kaki Dari Pasar Saham
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Genderang perang dagang telah ditabuh. Pada hari Kamis (8/3) waktu setempat, Trump resmi menandatangani kebijakan bea masuk untuk baja dan aluminium dengan besaran masing-masing sebesar 25% dan 10%. Seperti yang sudah diindikasikan oleh gedung putih sebelumnya, dua negara yaitu Kanada dan Meksiko dikecualikan dalam kebijakan ini.

Walaupun seorang pejabat pemerintahan Amerika Serikat (AS) yang tak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa kelanjutan dari hal ini akan bergantung kepada kesepakatan NAFTA ke depannya, seperti dikutip dari CNBC.

Di lain sisi, China yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia tidak masuk dalam daftar pengecualian tersebut. Reaksi keras dari China pun menjadi sangat mungkin terjadi. Pasalnya, melalui menteri luar negerinya pemerintah China telah menegaskan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan jika Trump bersikukuh menerapkan kebijakannya tersebut.

Kini, bukan tidak mungkin bahwa negeri panda tersebut akan balas mengenakan bea masuk yang tinggi terhadap produk-produk ekspor AS. Ketika hal ini terjadi, perang dagang pun resmi dimulai.

Lantas, apa yang selanjutnya terjadi kala AS dan China terlibat dalam perang dagang?

Penting Bagi China
Ekspor merupakan elemen penting bagi perekonomian China. Sampai dengan akhir kuartal 3 tahun 2017, ekspor berkontribusi sekitar 18% terhadap total output ekonomi China. Dapat dipastikan bahwa ketika ekspor China tertekan (salah satunya akibat perang dagang), maka pertumbuhan ekonominya juga akan tertekan.

Lebih lanjut, CNBC Indonesia mencoba melihat ketergantungan China terhadap AS dalam hal ekspor. Hasilnya, AS merupakan pasar yang sangat penting bagi China.

Pada 9 bulan pertama 2017, total ekspor China ke AS mencapai US$ 310 miliar. Nilai ini setara dengan 19% total ekspor China pada periode tersebut. Sementara itu, ekspor AS ke China pada 9 bulan pertama 2017 tercatat hanya sebesar US$ 91 miliar atau setara dengan 8% dari total ekspornya pada periode tersebut.

Pada tahun ini, negara pimpinan Xi Jinping tersebut menargetkan pertumbuhan ekonomi yang konservatif yaitu sebesar 6,5%. Sebagai perbandingan, pada tahun lalu pertumbuhan ekonomi China mencapai 6,9%. Jika kini kenyataan yang dihadapi adalah perang dagang, maka target yang sudah konservatif itu mendadak menjadi sebuah target yang optimis.

Indonesia Bisa Tertular
Melemahnya perekonomian China sebagai dampak dari perang dagang dengan AS dipastikan ikut menekan perekonomian dunia, termasuk Indonesia, seiring turunnya permintaan China atas produk-produk ekspor. Celakanya bagi Indonesia, China merupakan sebuah pasar ekspor yang paling penting.

Pada tahun, 2017 China merupakan negara tujuan ekspor nonmigas nomor 1 Indonesia dengan nilai mencapai US$ 21 miliar atau setara dengan 14% dari total ekspor nonmigas. Padahal pada tahun 2016, posisi puncak masih dipegang oleh Amerika Serikat dengan nilai sebesar US$ 16 miliar.

Perang Dagang Mulai, Siap Negara Angkat KaFoto: Ist

Tak hanya ekonomi, bursa saham dunia termasuk Indonesia juga dipastikan berada dalam tekanan jika perang dagang antara China dan AS terjadi. Pada tahun 2017, rally bursa saham dunia ditopang oleh dua faktor utama: kuatnya laju perekonomian China dan pemangkasan pajak korporasi di Amerika Serikat.

Jika pertumbuhan ekonomi China tahun ini jatuh dibawah target yang sebesar 6,5%, investor nampak harus siap-siap angkat kaki dari pasar saham dan beralih ke instrumen-instrumen yang lebih aman seperti obligasi. Terlebih, kini sudah tidak banyak sentimen positif yang mampu menjadi penggerak bursa saham dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(hps/hps) Next Article Saham Baja dan Alumunium Turun, Dampak Pengenaan Bea Impor AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular