
Kadin: Pembatasan Impor Baja & Alumunium Rugikan AS
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
02 March 2018 12:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan Amerika Serikat (AS) yang menerapkan bea masuk (tariff barrier) tinggi impor baja dan aluminium bisa berdampak negatif bagi AS sendiri. Hal ini merupakan pandangan wakil ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) bidang hubungan internasional, Shinta Kamdani.
(roy/roy) Next Article Bursa Eropa Ikut Rontok karena Rencana Bea Impor Baja Trump
Menurut Shinta, kebijakan bea masuk impor baja dan almunium akan membebani industri domestik AS secara umum karena kedua bahan baku tersebut sangat dibutuhkan industri otomotif dan migas dan tidak seluruhnya mampu dipenuhi produsen dalam negeri.
"AS ingin menjadi eksportir migas pada 2019 dan mulai mengeksplorasi sumber-sumber migas mereka sehingga membutuhkan pembangunan kilang dan pipa yang cukup besar," kata Shinta dalam pesan singkatnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (2/3/2018).
Pada Kamis (1/3/2018) Presiden Donald Trump mengumumkan rencana pengenaan bea masuk sebesar 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium. Aturan ini akan diumumkan secara resmi minggu depan. Trump meyakini kebijakan bea masuk tersebut akan melindungi pekerja-pekerja dalam negeri.
Shinta menambahkan, AS di bawah Trump sebenarnya ingin menargetkan China dalam "perang dagang" ini. Namun, China sebagai target dari pengenaan bea masuk tinggi ini sebenarnya sudah mengurangi ekspor baja mereka karena kebutuhan dalam negeri yang terus naik.
Pemerintah RI disarankan lobi AS
Data impor baja AS Januari-September 2017 yang dihimpun dari US Department of Commerce menunjukkan China tidak masuk dalam 10 besar negara yang berkontribusi atas 78% impor baja ke AS dalam periode tersebut. Justru, negara yang paling terpukul dengan kebijakan Trump ini adalah Kanada dan Brasil dengan volume impor dari kedua negara tersebut masing-masing sebesar 16% dan 13%, diikuti Korea Selatan 10%, Meksiko 9%, Rusia 9%, Turki 7%, Jepang 5%, Taiwan 4%, Jerman 3% dan India 2%. Dengan pengecualian pada Rusia, hampir seluruh negara tersebut adalah sekutu dan mitra dagang AS.
Untuk Indonesia sendiri, menurut Shinta, pemerintah RI tidak perlu melakukan tindakan reaktif reciprocal berupa pembatasan impor komoditas utama dari AS. Tetapi pemerintah RI perlu melobi pemerintah AS melalui berbagai channel agar kebijakan tidak dikeluarkan.
Salah satu jalurnya melalui forum bilateral Trade and Investment Framework Agreement (TIFA). Apabila kebijakan ini benar-benar diterapkan, pemerintah bisa memprotes melalui Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) WTO.
"Yang perlu kita lakukan adalah melihat jalan keluar terbaik dari permasalahan ini. Saya yakin posisi pengusaha AS pun sebenarnya menentang, karena sangat kontraproduktif terhadap kebijakan industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja di sana," jelas Shinta.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan ekspor komoditas baja dan alumunium RI ke AS pada tahun 2016 masing-masing senilai US$ 55 juta dan US$ 116 juta.
"Dan bila dilihat tren industrialisasi di AS yang sedang berjalan saat ini saya rasa 2017 dan tahun ini nilainya akan naik lagi," ujar Shinta.
"AS ingin menjadi eksportir migas pada 2019 dan mulai mengeksplorasi sumber-sumber migas mereka sehingga membutuhkan pembangunan kilang dan pipa yang cukup besar," kata Shinta dalam pesan singkatnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (2/3/2018).
Pemerintah RI disarankan lobi AS
Data impor baja AS Januari-September 2017 yang dihimpun dari US Department of Commerce menunjukkan China tidak masuk dalam 10 besar negara yang berkontribusi atas 78% impor baja ke AS dalam periode tersebut. Justru, negara yang paling terpukul dengan kebijakan Trump ini adalah Kanada dan Brasil dengan volume impor dari kedua negara tersebut masing-masing sebesar 16% dan 13%, diikuti Korea Selatan 10%, Meksiko 9%, Rusia 9%, Turki 7%, Jepang 5%, Taiwan 4%, Jerman 3% dan India 2%. Dengan pengecualian pada Rusia, hampir seluruh negara tersebut adalah sekutu dan mitra dagang AS.
Untuk Indonesia sendiri, menurut Shinta, pemerintah RI tidak perlu melakukan tindakan reaktif reciprocal berupa pembatasan impor komoditas utama dari AS. Tetapi pemerintah RI perlu melobi pemerintah AS melalui berbagai channel agar kebijakan tidak dikeluarkan.
Salah satu jalurnya melalui forum bilateral Trade and Investment Framework Agreement (TIFA). Apabila kebijakan ini benar-benar diterapkan, pemerintah bisa memprotes melalui Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) WTO.
"Yang perlu kita lakukan adalah melihat jalan keluar terbaik dari permasalahan ini. Saya yakin posisi pengusaha AS pun sebenarnya menentang, karena sangat kontraproduktif terhadap kebijakan industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja di sana," jelas Shinta.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan ekspor komoditas baja dan alumunium RI ke AS pada tahun 2016 masing-masing senilai US$ 55 juta dan US$ 116 juta.
"Dan bila dilihat tren industrialisasi di AS yang sedang berjalan saat ini saya rasa 2017 dan tahun ini nilainya akan naik lagi," ujar Shinta.
(roy/roy) Next Article Bursa Eropa Ikut Rontok karena Rencana Bea Impor Baja Trump
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular