Ulasan Kinerja Bank Mandiri

Jalan Menuju Pemulihan Kian Terbuka

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
01 March 2018 19:26
Jalan Menuju Pemulihan Kian Terbuka
Foto: CNBC Indonesia
Tahun 2017 merupakan titik balik bagi PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), pasca tahun 2016 yang penuh tantangan. Sepanjang tahun lalu, perseroan mencatatkan laba bersih sebesar Rp 21,4 triliun, naik 46,4% dari capaian tahun 2016 yang hanya senilai Rp 14,6 triliun (-30,7% dibandingkan tahun 2015).

Sebagai bank yang mayoritas kreditnya mengucur pada sektor korporasi, pertumbuhan ekonomi yang nyaris melandai pada tahun lalu cukup menekan kinerja perseroan, terlihat dari cenderung flatnya pendapatan bunga bersih yang dibukukan. Pada tahun 2017, pendapatan bunga bersih Bank Mandiri tercatat senilai Rp 52,33 triliun, atau naik hanya 1% dibandingkan dengan posisi setahun sebelumnya (Rp 51,83 triliun).

Di sisi lain, margin bunga bersih (net interest margin/ NIM) menurun tipis dari 6,08% (2016) menjadi 5,69% pada tahun lalu. NIM adalah perbandingan antara nilai bunga yang dihasilkan oleh bank dan beban bunga yang dibayarkannya kepada pemilik dana yang disimpan di bank. Makin besar NIM, bisa dibilang sebuah bank makin lihai memutar dana masyarakat yang tersimpan di bank tersebut.

Sebaliknya, NIM yang turun seperti yang dialami Bank Mandiri mengindikasikan bahwa kenaikan aset produktif tidak diimbangi perputaran aset tersebut menjadi keuntungan. Problemnya bisa dipicu dua hal yakni dari demand side, atau supply side. Jika berkaca pada laporan keuangan perseroan, problem penurunan pendapatan bunga bersih tahun lalu bukan pada faktor supply side, atau dalam hal ini kemampuan Bank Mandiri menyalurkan kredit. Pasalnya, rasio utang terhadap dana pihak ketiga (DPK), atau loan to deposit ratio (LDR), pada tahun lalu naik dari 85,16% pada 2016 menjadi 94,99% (2017).

Namun yang perlu diperhatikan, kenaikan LDR tersebut utamanya dipicu penurunan nilai pembaginya, dalam hal ini DPK, yang pada tahun lalu totalnya menurun dari Rp 762,5 triliun menjadi Rp 749,58 triliun. Penurunan terutama terjadi pada pos deposito, yang secara kumulatif mencapai Rp35,11 triliun. Di sisi lain, kredit masih tumbuh sebesar Rp 62,72 triliun, dengan total (termasuk pembiayaan syariah) senilai Rp 712,04 triliun.
Jalan Menuju Pemulihan Kian TerbukaSumber: Laporan Keuangan 2017
Penurunan DPK dan kenaikan LDR semestinya membantu Bank Mandiri mencetak penguatan NIM karena beban bunga yang dibayar perseroan ke nasabah menjadi lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan bunga yang dikumpulkannya dari para debitor. Kenaikan LDR hingga sebesar 95% ini menunjukkan bahwa perseroan berhasil menyalurkan nyaris semua dana masyarakat yang ditampungnya menjadi kredit ke sektor riil. Dipadu dengan penurunan DPK, mestinya NIM akan melambung.

Namun hal itu tidak dialami oleh Bank Mandiri pada tahun lalu karena faktor kredit bermasalah (non performing loan/ NPL).
Problem yang menjerat Bank Mandiri dalam membukukan NIM tinggi terletak pada kolektibilitas kreditnya. Dalam dua tahun terakhir, perseroan memang tengah menghadapi persoalan NPL. Pertumbuhan ekonomi 2017 yang hanya berkisar 5,07% terbukti tidak cukup membantu para pengusaha debitor Bank Mandiri untuk mencatatkan kinerja keuangan positif, sehingga mereka cenderung kesulitan membayarkan kewajibannya kepada bank pelat merah tersebut.

Persoalan kolektibilitas kewajiban debitor Bank Mandiri ini terjadi bahkan ketika Bank Indonesia (BI) pada periode yang sama berusaha membantu sektor riil dengan menurunkan suku bunga acuannya, yakni BI 7-days repurchase rate (BI repo rate) dari 4,75% (2016) menjadi 4,25%. Penurunan ini secara teoritis berujung pada penurunan bunga kredit yang dipikul para debitor bank di lapangan. Namun ini tidak terjadi pada tahun lalu.

Berbeda dari PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang mayoritas debitornya adalah pengusaha kecil dan menengah, Bank Mandiri fokus menggarap segmen korporasi. Ini terlihat dari komposisi terbesar kreditnya dalam 4 tahun terakhir yang terfokus pada tiga sektor, yakni sektor industri, sektor ‘lainnya’, dan sektor ‘perdagangan, restoran dan hotel’. 
Jalan Menuju Pemulihan Kian TerbukaSumber: Laporan Keuangan 2017
Secara bersamaan, perusahaan yang bergerak di sektor-sektor tersebut menunjukkan persoalan dalam pemenuhan kewajiban, terlihat dari tingginya angka kredit bermasalah dari sektor-sektor utama di mana kredit Bank Mandiri terkucur dua tahun terakhir. Sektor industri melaporkan NPL senilai Rp 8,13 triliun, naik dari posisi 2016 sebesar Rp 8,07 triliun.

Di sisi lain, sektor perdagangan, hotel, dan restoran membukukan NPL senilai Rp 8,48 triliun, atau tidak berubah dari posisi 2016.
Jika ditotal, nilai NPL Bank Mandiri turun sebesar 4,09% pada 2017, menjadi Rp 25,05 triliun. Rasio NPL (terhadap total kreditnya) pun dapat ditekan menjadi 3,46%, dari sebelumnya 3,96%. Penurunan ini menekan secara drastis nilai pencadangan perseroan yang disisihkan dari laba bersihnya.

Tidak heran, Bank Mandiri masih bisa membukukan lompatan laba bersih sebesar 46% di tengah situasi menantang tahun lalu.

Jalan Menuju Pemulihan Kian TerbukaSumber: Laporan Keuangan 2017
Penurunan rasio kredit bermasalah salah satunya disebabkan oleh melandainya kredit bermasalah sektor pertambangan. Seperti diketahui, sektor pertambangan pada tahun lalu mengalami tekanan karena rendahanya harga jual komoditas, terutama batu bara.

Pada tahun 2014 silam, kredit macet dari sektor pertambangan tercatat hanya sebesar Rp 328,4 miliar. Nilainya lantas melonjak menjadi Rp 659,5 miliar dan Rp 2,2 triliun pada dua tahun berikutnya. Pada tahun 2017, angka tersebut melandai menjadi Rp 1,6 triliun.
Jalan Menuju Pemulihan Kian TerbukaSumber: Laporan Keuangan 2017
Bank beraset terbesar kedua setelah BRI ini dalam dua tahun terakhir berupaya mengurangi persentase kredit yang disalurkannya ke sektor pertambangan, dari 6% pada 2014 dan 2015, menjadi 5% pada 2016 dan 2017.

Hanya saja, dari sisi nilai, kredit yang mengucur ke sektor tambang masih tumbuh, yakni dari Rp 32,68 triliun (2015), Rp 33,82 triliun (2016), menjadi Rp 38,63 triliun pada tahun lalu.
Portofolio terbesar kredit Bank Mandiri mengucur pada sektor lain-lain, sebesar Rp 169,52 triliun, disusul sektor manufaktur sebesar Rp 151,97 triliun dan perdagangan, restoran, dan hotel Rp 107,45 triliun.

Jika ditotal, nilai kredit Bank Mandiri yang mengucur ke sektor riil pada tahun lalu mencapai Rp 712,04 triliun, atau naik 9,66% dari posisi 2016 senilai Rp 649,32 triliun.
Sebagai hasil dari melandainya kredit bermasalah, alokasi pencadangan pun turun tajam sebesar 35,3% menjadi hanya Rp 15,95 triliun pada tahun 2017, dari sebelumnya Rp 24,6 triliun.
Jalan Menuju Pemulihan Kian TerbukaSumber: Laporan Keuangan 2017
Dengan membaiknya aset perseroan, rasio pengembalian aset (return on asset/ ROA) pun meningkat signifikan menjadi 2,41% pada tahun lalu, naik dibandingkan dengan posisi 2016 sebesar 1,79%. Jika mengacu pada standar ROA Bank Indonesia (BI) yakni minimal sebesar 1,5%, posisi ROA Bank Mandiri ini terhitung masih sangat sehat.

Di tahun politik ini, harapan percepatan kinerja Bank Mandiri sepenuhnya bergantung pada stabilitas perekonomian, di tengah makin dekatnya tahun politik. Satu hal yang pasti, penyelesaian kredit-kredit bermasalah di korporasi yang menjadi debitor Bank Mandiri sepanjang tahun lalu terbukti sukses, dan membuka jalan pemulihan lanjutan bagi kinerja perseroan pada tahun ini.
Bank Mandiri justru mencatatkan perbaikan siginifikan pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO)-nya pada tahun lalu, dari 82,2% pada 2016 menjadi 74,65%. Rasio BOPO yang mengecil mengindikasikan keberhasilan manajemen dalam menciptakan efisiensi operasi.

Faktor pengubah kinerja perseroan pada tahun lalu lagi-lagi terlihat dari NPL yang berkurang, sehingga beban penyisihan menyusut drastis dibandingkan dengan setahun sebelumnya. Porsi beban penyisihan pada 2016 mencapai sepertiga dari beban operasional Bank Mandiri, dengan nilai Rp 24,94 triliun. Beban penyisihan ini turun drastis dari 2017 yang tersisa hanya Rp 15,65 triliun atau 20% dari total beban operasional.
Jalan Menuju Pemulihan Kian TerbukaSumber: Laporan Keuangan 2017
Di sisi lain, pendapatan operasional tercatat masih didominasi pendapatan bunga dan Syariah di kisaran 75%. Pendapatan bunga, syariah, dan premi neto tercatat flat dari Rp 54,48 triliun (2016), menjadi Rp 54,79 triliun (2017).

Penyelamatnya, lagi-lagi pada turunnya beban cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), yang menyusut Rp 9,29 triliun ke Rp 15,65 triliun tahun lalu. Penurunan itu terhitung masih cukup besar untuk mengompensasi kenaikan beban operasional lainnya yang naik Rp 3,74 triliun menjadi Rp 35,01 triliun.
Jalan Menuju Pemulihan Kian TerbukaSumber: Laporan Keuangan 2017
Dengan penurunan NPL tersebut, sebesar Rp 9 triliun, laba operasional perseroan pun terdongkrak dalam kisaran yang sama (Rp 9 triliun). Tahun ini, kinerja perseroan juga masih akan bergantung pada keberhasilannya untuk merestrukturisasi kredit-kredit bermasalah lainnya. Risiko-risiko yang mesti diantisipasi adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan gangguan non-bisnis (seperti misalnya intervensi politik) dalam proses restrukturisasi tersebut. ***
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular