
Rupiah Melemah, Saham Apa Saja yang Layak Koleksi
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 March 2018 08:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah melemah dalam dua hari ini. Penguatan dolar AS tersebut tak hanya terhadap rupiah, tetapi juga terjadi pada hampir seluruh mata uang dunia, yang tampak dari kenaikan indeks dolar AS sebesar 0,28%.
Terhadap rupiah, nilai tukar rupiah terkoreksi berdaya ke level Rp 13.740/dolar AS atau terdepresiasi 0,51% jika dibandingkan penutupan hari Selasa. Posisi ini merupakan yang terlemah semenjak Februari 2016 silam.
Bahkan, DBS Bank memperkirakan rupiah bisa terus melemah sampai Rp 14.000/dolar AS. Berdasarkan riset DBS Bank yang diterima CNBC Indonesia, volatilitas terhadap nilai tukar rupiah akan tetap berlanjut. Pada kuartal I-2018 hingga kuartal IV-2018 rupiah diperkirakan berada di kisaran Rp 13.700/dolar AS hingga Rp 14.000/dolar AS.
Pelemahan rupiah tentu saja akan menjadi perhatian investor dalam berinvestasi saham. Pasalnya, IHSG terlihat sudah mulai sulit merangkak naik sejak akhir Januari silam. Valuasi yang sudah relatif mahal (tergambar dari price-to-earnings ratio/PER yang tinggi) menjadi salah satu alasannya.
Lalu sektor apa saja yang harus dicermati dan hindari ditengah pelemahan rupiah saat ini?
CNBC Indonesia mencoba menganalisanya menggunakan metode regresi linear. Data yang digunakan adalah rupiah dan indeks saham sektoral sejak awal 2015 sampai dengan penutupan perdagangan kemarin (27/02/2018).
Secara sektoral, kesepuluh sektor saham yang ada di dalam IHSG menunjukkan korelasi negatif dengan depresiasi nilai tukar Rupiah. Artinya, pelemahan rupiah akan menyebabkan kesepuluh sektor saham tersebut melemah. Namun, respon yang ditunjukkan setiap sektor berbeda-beda.
Agrikultur dan Pertambangan
Dengan melihat data di atas, terlihat jelas bahwa sektor agrikultur dan pertambangan merupakan dua sektor utama yang harus dihindari kala rupiah berada dalam tekanan. Setiap satu poin rupiah melemah, indeks saham sektor agrikultur akan tekoreksi sebesar 0,3854 poin, sementara untuk indeks saham sektor pertambangan koreksinya adalah sebesar 0,2262 poin.
Hal ini lantas menciptakan suatu pertanyaan, mengingat emiten-emiten di kedua sektor tersebut berorientasi ekspor. Seharusnya, pelemahan rupiah berdampak positif terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Nampaknya, ada kekhawatiran bahwa depresiasi rupiah akan menyebabkan kesulitan bagi emiten-emiten di dua sektor tersebut ketika melunasi utang luar negeri (ULN) yang dimilikinya. Pasalnya, kedua sektor tersebut terbilang cukup aktif dalam menarik pinjaman luar negeri, terutama sektor pertambangan.
Pada akhir 2017 misalnya, ULN sektor agrikultur tercatat sebesar US$ 6,85 miliar atau 4% dari total ULN sektor swasta di Indonesia, sementara ULN sektor pertambangan mencapai US$ 22,9 miliar atau setara dengan 13% dari total ULN swasta.
Walaupun pada perdagangan kemarin indeks saham sektor agrikultur dan pertambangan menguat masing-masing sebesar 1,92% dan 0,17%, sejarah menunjukkan bahwa investor sebaiknya berhati-hati sebelum mengambil keputusan.
Terlebih, ada emiten dari sektor tersebut yang menerbitkan global bond dengan nilai jumbo belum lama ini. PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) diketahui menerbitkan global bond senilai US$ 300 juta pada awal tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Aset Capai Rp101 T, Intip Perayaan Digital 51 Tahun Bank Mega
Terhadap rupiah, nilai tukar rupiah terkoreksi berdaya ke level Rp 13.740/dolar AS atau terdepresiasi 0,51% jika dibandingkan penutupan hari Selasa. Posisi ini merupakan yang terlemah semenjak Februari 2016 silam.
Bahkan, DBS Bank memperkirakan rupiah bisa terus melemah sampai Rp 14.000/dolar AS. Berdasarkan riset DBS Bank yang diterima CNBC Indonesia, volatilitas terhadap nilai tukar rupiah akan tetap berlanjut. Pada kuartal I-2018 hingga kuartal IV-2018 rupiah diperkirakan berada di kisaran Rp 13.700/dolar AS hingga Rp 14.000/dolar AS.
Lalu sektor apa saja yang harus dicermati dan hindari ditengah pelemahan rupiah saat ini?
CNBC Indonesia mencoba menganalisanya menggunakan metode regresi linear. Data yang digunakan adalah rupiah dan indeks saham sektoral sejak awal 2015 sampai dengan penutupan perdagangan kemarin (27/02/2018).
Secara sektoral, kesepuluh sektor saham yang ada di dalam IHSG menunjukkan korelasi negatif dengan depresiasi nilai tukar Rupiah. Artinya, pelemahan rupiah akan menyebabkan kesepuluh sektor saham tersebut melemah. Namun, respon yang ditunjukkan setiap sektor berbeda-beda.
Agrikultur dan Pertambangan
Dengan melihat data di atas, terlihat jelas bahwa sektor agrikultur dan pertambangan merupakan dua sektor utama yang harus dihindari kala rupiah berada dalam tekanan. Setiap satu poin rupiah melemah, indeks saham sektor agrikultur akan tekoreksi sebesar 0,3854 poin, sementara untuk indeks saham sektor pertambangan koreksinya adalah sebesar 0,2262 poin.
Hal ini lantas menciptakan suatu pertanyaan, mengingat emiten-emiten di kedua sektor tersebut berorientasi ekspor. Seharusnya, pelemahan rupiah berdampak positif terhadap kinerja keuangan perusahaan.
![]() |
Nampaknya, ada kekhawatiran bahwa depresiasi rupiah akan menyebabkan kesulitan bagi emiten-emiten di dua sektor tersebut ketika melunasi utang luar negeri (ULN) yang dimilikinya. Pasalnya, kedua sektor tersebut terbilang cukup aktif dalam menarik pinjaman luar negeri, terutama sektor pertambangan.
Pada akhir 2017 misalnya, ULN sektor agrikultur tercatat sebesar US$ 6,85 miliar atau 4% dari total ULN sektor swasta di Indonesia, sementara ULN sektor pertambangan mencapai US$ 22,9 miliar atau setara dengan 13% dari total ULN swasta.
Walaupun pada perdagangan kemarin indeks saham sektor agrikultur dan pertambangan menguat masing-masing sebesar 1,92% dan 0,17%, sejarah menunjukkan bahwa investor sebaiknya berhati-hati sebelum mengambil keputusan.
Terlebih, ada emiten dari sektor tersebut yang menerbitkan global bond dengan nilai jumbo belum lama ini. PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) diketahui menerbitkan global bond senilai US$ 300 juta pada awal tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Aset Capai Rp101 T, Intip Perayaan Digital 51 Tahun Bank Mega
Most Popular