
Internasional
Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi Sejak 2014
Prima Wirayani, CNBC Indonesia
10 January 2018 08:30

New York, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia kembali merangkak naik hari Selasa (9/1/2018) ke level tertinggi sejak Desember 2014 disebabkan oleh pengurangan produksi oleh negara-negara eksportir minyak dan turunnya persediaan minyak Amerika Serikat selama delapan minggu berturut-turut.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/ OPEC) dan rekanannya, seperti Rusia, masih memberlakukan pembatasan suplai minyak tahun ini, yang merupakan tahun kedua penerapan pembatasan, untuk mengurangi kelebihan persediaan yang menjatuhkan harga.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik US$1,23 (Rp 16.526) menjadi $62,96 per barel setelah sebelumnya menyentuh level tertinggi sejak Desember 2014 di $63,24. Brent ditutup naik $1,04 menjadi $68,82 per barel. Keduanya adalah angka penutupan tertinggi sejak Desember 2014, dilansir dari Reuters.
Harga merangkak naik setelah asosiasi industri minyak Amerika Serikat (AS), American Petroleum Institute, menyatakan persediaan minyak AS turun 11,2 juta barel di minggu pertama Januari menjadi 416,6 juta barel. Sebelumnya analis memperkirakan persediaan hanya akan turun 3,9 juta barel.
Jika pernyataan itu dikonfirmasi oleh data pemerintah AS yang akan diumumkan hari Rabu, penurunan itu akan jadi yang terbesar sejak 2 September 2016 ketika jumlah persediaan turun 14,5 juta barel di minggu itu.
OPEC mengurangi produksinya bahkan lebih dari yang dijanjikan dan hal tersebut menurunkan persediaan minyak global. Tren tersebut paling terlihat di AS yang merupakan pasar minyak paling besar dan transparan di dunia.
“Kami memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak akan melampaui pertumbuhan suplai OPEC di tahun 2018 dan 2019,” tulis analis Standard Chartered dalam sebuah riset. “Kami berpandangan kurva harga Brent dan WTI masih di bawah harga yang seharusnya [underprice]. Kami pikir harga di bawah $65 per barel tidak akan bertahan dalam jangka waktu menengah.”
Banyak negara produsen minyak masih merasakan efek buruk dari jatuhnya harga minyak tahun 2014. Dan kini mereka menikmati rally harga minyak walaupun tetap khawatir rivalnya akan meningkatkan produksi. Iran sebelumnya mengatakan negara anggota OPEC tidak suka akan harga minyak yang naik.
Naiknya harga minyak diperkirakan akan meningkatkan produksi AS tahun 2018 dan menyeimbangkan pembatasan yang dilakukan negara lain.
Produksi minyak mentah AS diproyeksikan akan melewati 10 juta barel per hari (bpd) bulan depan, menurut Administrasi Informasi Energi AS (Energy Information Administration) hari Selasa. Produksi diperkirakan akan naik menjadi rata-rata 10,04 juta bpd selama kuartal 1-2018.
Beberapa analis menyatakan kenaikan produksi minyak dangkal (shale oil) AS akan membuat OPEC dan Rusia menghentikan pembatasan produksinya hingga akhir tahun karena khawatir kehilangan pasar.
“Saya sekarang berpandangan bearish [melemah] terhadap pola teknikal kenaikan harga minyak karena saya yakin kenaikan hingga $65-$75 per barel akan sulit tercapai karena pertimbangan fundamental tersebut,” kata Fawad Razaqzada, technical analyst di Forex.com. “Jika WTI kembali turun di bawah $60,09, yang merupakan level tertinggi tahun lalu, dan harga pembukaan 2018 adalah $60,09, maka proyeksi teknikalnya akan bearish untuk minyak. Tapi sekarang tren bullish [menguat] masih akan terus terjadi karena harga minyak tetap berada di atas faktor-faktor pendukungnya.”
(prm) Next Article Produksi AS Meningkat, Harga Minyak Turun
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/ OPEC) dan rekanannya, seperti Rusia, masih memberlakukan pembatasan suplai minyak tahun ini, yang merupakan tahun kedua penerapan pembatasan, untuk mengurangi kelebihan persediaan yang menjatuhkan harga.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik US$1,23 (Rp 16.526) menjadi $62,96 per barel setelah sebelumnya menyentuh level tertinggi sejak Desember 2014 di $63,24. Brent ditutup naik $1,04 menjadi $68,82 per barel. Keduanya adalah angka penutupan tertinggi sejak Desember 2014, dilansir dari Reuters.
Jika pernyataan itu dikonfirmasi oleh data pemerintah AS yang akan diumumkan hari Rabu, penurunan itu akan jadi yang terbesar sejak 2 September 2016 ketika jumlah persediaan turun 14,5 juta barel di minggu itu.
OPEC mengurangi produksinya bahkan lebih dari yang dijanjikan dan hal tersebut menurunkan persediaan minyak global. Tren tersebut paling terlihat di AS yang merupakan pasar minyak paling besar dan transparan di dunia.
“Kami memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak akan melampaui pertumbuhan suplai OPEC di tahun 2018 dan 2019,” tulis analis Standard Chartered dalam sebuah riset. “Kami berpandangan kurva harga Brent dan WTI masih di bawah harga yang seharusnya [underprice]. Kami pikir harga di bawah $65 per barel tidak akan bertahan dalam jangka waktu menengah.”
Banyak negara produsen minyak masih merasakan efek buruk dari jatuhnya harga minyak tahun 2014. Dan kini mereka menikmati rally harga minyak walaupun tetap khawatir rivalnya akan meningkatkan produksi. Iran sebelumnya mengatakan negara anggota OPEC tidak suka akan harga minyak yang naik.
Naiknya harga minyak diperkirakan akan meningkatkan produksi AS tahun 2018 dan menyeimbangkan pembatasan yang dilakukan negara lain.
Produksi minyak mentah AS diproyeksikan akan melewati 10 juta barel per hari (bpd) bulan depan, menurut Administrasi Informasi Energi AS (Energy Information Administration) hari Selasa. Produksi diperkirakan akan naik menjadi rata-rata 10,04 juta bpd selama kuartal 1-2018.
Beberapa analis menyatakan kenaikan produksi minyak dangkal (shale oil) AS akan membuat OPEC dan Rusia menghentikan pembatasan produksinya hingga akhir tahun karena khawatir kehilangan pasar.
“Saya sekarang berpandangan bearish [melemah] terhadap pola teknikal kenaikan harga minyak karena saya yakin kenaikan hingga $65-$75 per barel akan sulit tercapai karena pertimbangan fundamental tersebut,” kata Fawad Razaqzada, technical analyst di Forex.com. “Jika WTI kembali turun di bawah $60,09, yang merupakan level tertinggi tahun lalu, dan harga pembukaan 2018 adalah $60,09, maka proyeksi teknikalnya akan bearish untuk minyak. Tapi sekarang tren bullish [menguat] masih akan terus terjadi karena harga minyak tetap berada di atas faktor-faktor pendukungnya.”
(prm) Next Article Produksi AS Meningkat, Harga Minyak Turun
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular