Korea Selatan Mau 'Paksa' Transgender Ikut Wajib Militer
Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Korea Selatan dilaporkan akan menurunkan standar penilaian fisik untuk wajib militer (wamil) demi "memaksa" perempuan transgender melaksanakan kewajiban tersebut.
Laporan eksklusif Hankyoreh menyebut, perubahan ini terlihat dalam rancangan revisi aturan pemeriksaan fisik untuk menilai kelayakan dan kemampuan laki-laki untuk melaksanakan wajib militer. Sebelumnya, Kemenhan telah mengumumkan terkait rancangan revisi ini pada 13 Desember 2023 lalu.
Berdasarkan aturan baru dalam rancangan revisi tersebut, perempuan transgender yang tidak rutin melakukan terapi hormon setidaknya selama enam bulan akan diklasifikasikan sebagai Kelas 4 alias harus bergabung dengan militer sebagai personel layanan sosial.
Jika aturan yang diusulkan diterapkan dalam bentuknya yang sekarang, perempuan transgender yang belum memenuhi batas waktu enam bulan untuk melakukan terapi hormon harus bergabung militer setelah menyelesaikan masa tugas mereka sebagai agen layanan sosial.
Penambahan standar klasifikasi Kelas 4 ini meningkatkan kemungkinan perempuan transgender harus bertugas di militer.
Saat ini, perempuan transgender yang telah menyelesaikan setidaknya enam bulan terapi hormon diklasifikasikan sebagai Kelas 5 sehingga mereka dikecualikan dari layanan.
Namun, mereka yang belum menyelesaikan pengobatan hormon selama enam bulan masih dapat diklasifikasikan sebagai Kelas 7 atau penilaian ulang jika mereka memerlukan lebih banyak waktu untuk observasi.
Seorang pejabat di Kemenhan mencatat bahwa keluhan sering datang dari orang-orang yang mengalami disforia gender. Sebab, mereka harus terus datang untuk pemeriksaan fisik sampai menerima terapi hormon setidaknya selama enam bulan.
Sebagai informasi, disforia gender adalah pengalaman psikologis yang mengidentifikasikan diri sebagai gender yang berbeda dengan jenis kelamin saat dilahirkan.
"Kami menyimpulkan bahwa selama mereka tidak mengalami disforia gender pada tingkat yang serius, mereka seharusnya bisa menangani layanan alternatif," kata pejabat terkait alasan usulan revisi peraturan tersebut, dikutip Kamis (25/1/2024).
Dianggap pelanggaran HAM
Perubahan aturan terkait wamil ini memanen kritik karena para perempuan transgender dikhawatirkan mengalami pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama melakukan wajib militer, yakni terkait budaya homofobia dan transfobia.
Kelompok hak asasi LGBTQ menilai bahwa rencana pemerintah tersebut diskriminatif dan menunjukkan kurangnya pemahaman tentang kaum transgender.
"Orang-orang transgender memiliki pandangan yang berbeda terkait berapa lama mereka harus menjalani terapi hormon atau apakah mereka harus menjalaninya, serta tentang perlunya operasi [penegasan gender]," ujar aktivis Solidaritas untuk HAM LGBT Korea, Kim Yong-min.
"Itu semua tergantung pada tingkat keparahan disforia gender mereka dan kondisi lingkungan [di sekitarnya]. Pemerintah harus mencabut sepenuhnya rancangan revisi ini karena sangat mengabaikan penderitaan transgender dalam masyarakat yang menganggap remeh biner gender," lanjutnya.
Lebih lanjut, para ahli khawatir bahwa perempuan transgender yang dipaksa masuk militer akan menghadapi diskriminasi dan kefanatikan di dalam militer.
"Beberapa perempuan transgender yang mengikuti pelatihan cadangan telah diintimidasi oleh laki-laki yang mengenali mereka sebagai transgender dan mengunggah foto mereka di komunitas daring," kata pengacara dari Pengacara Korea untuk Kepentingan Umum dan HAM, Park Han-hee.
Berdasarkan laporan 2020 tentang yang diterbitkan oleh Komisi HAM Korea Selatan, sebanyak 84,8 persen perempuan transgender yang bertugas di militer mengaku pernah diremehkan saat bertugas di militer.
Selain itu, hampir separuh responden, yakni 47,4 persen mengatakan bahwa mereka telah dikategorikan "tidak dapat menyesuaikan diri" atau menjadi sasaran kekerasan, termasuk tidak terbatas pada pelecehan seksual.
(hsy/hsy)