China Bakal Susah Ngopi-Ngopi Lagi, Starbucks Ngeri Sendiri

Muhammad Azwar, CNBC Indonesia
30 May 2023 16:00
A worker puts away patio furniture at a Starbucks Corp drive-through location closes down this afternoon for anti-bias training as the coffee chain closed all 8,000 of their company-owned cafes in the U.S. including this location in Oceanside, California, U,S. May 29, 2018.    REUTERS/Mike Blake
Foto: REUTERS/Mike Blake

Jakarta, CNBC Indonesia - Lambatnya pemulihan ekonomi China dan maraknya kedai kopi lokal membuat Starbucks pusing. Kedai kopi asal Amerika Serikat (AS) tersebut terancam makin ditinggalkan konsumen.

Laporan yang dirilis oleh Morgan Stanley pada pekan lalu menunjukkan jika belanja konsumen China diprediksi tidak akan kembali ke level sebelum pandemi dalam waktu dekat. Hal ini menjadi masalah bagi banyak perusahaan, termasuk Starbucks.

Salah satu alasan utama adalah kehati-hatian yang masih dirasakan oleh masyarakat China. Mereka menjadi lebih berhati-hati dalam berbelanja dan saat ini memiliki lebih banyak pilihan.

Namun, ada tiga faktor lain yang mempengaruhi belanja konsumen China tahun ini, seperti yang disampaikan Morgan Stanley, yang mesti diwaspadai Starbucks.

Pertama, China tidak memberikan stimulus tunai kepada konsumen seperti yang dilakukan Amerika Serikat dan negara-negara lain pasca-pandemi Covid.
Kedua, pembatasan akibat pandemi dan perubahan regulasi telah menghilangkan 30 juta pekerjaan di sektor jasa yang seharusnya ada sebelum pandemi Covid. 

Sekitar 20 juta pekerjaan diperkirakan akan pulih pada tahun ini dan tahun depan, namun 10 juta pekerjaan sisanya kemungkinan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih.

Pasalnya, kondisi terpengaruh oleh langkah keras pemerintah Beijing terkait pendidikan, teknologi internet, dan properti.
Ketiga, pasar properti di China yang masih mengalami penurunan yang signifikan setelah upaya pemerintah untuk mengendalikan spekulasi.

Pada paruh pertama tahun 2021, penjualan properti menjadi faktor utama dalam pemulihan ekonomi China, seperti yang disorot oleh analis-analis Morgan Stanley.

Namun, pandemi Covid-19 dan langkah-langkah pengendalian yang dilakukan antara 2020 hingga 2022 telah menekan pertumbuhan ekonomi China. Setelah pembatasan tersebut berakhir pada bulan Desember, pertumbuhan ekonomi hanya pulih secara moderat.

Menurut perkiraan analis-analis Morgan Stanley, belanja konsumen China diprediksi akan mengalami rebound sebesar 9% tahun ini. Pertumbuhan tersebut diproyeksikan hanya sebesar 4,8% tahun depan, atau turun 0,5% dari level sebelum pandemi.

Tantangan Starbucks di China


Morgan Stanley memperkirakan pertumbuhan kedai kopi seperti Starbucks akan menyentuh sekitar 7% tahun ini. Angka tersebut masih "turun sekitar belasan persen" dibandingkan dengan level tahun 2019.

Selain tantangan dari belanja konsumen yang belum pulih, merek-merek internasional seperti Starbucks juga menghadapi persaingan lokal yang semakin ketat di pasar China.

Menurut laporan Morgan Stanley, pada bulan April lalu, jumlah kedai kopi di China mengalami peningkatan sebesar 16% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sebagian besar dari mereka adalah merek lokal.

"Akibatnya, perusahaan multinasional seperti Starbucks kehilangan pangsa pasar (meski tetap membuka toko dengan laju yang tinggi)," demikian laporan tersebut menjelaskan.

"Starbucks menghadapi persaingan yang semakin sengit dari konsep-konsep yang relatif baru namun berkembang pesat seperti Luckin, Cotti, dan Tim Hortons." Imbuh laporan tersebut.

Kedai kopi lokal Luckin telah memiliki 9.000 cabang. Sementara itu, Tim Hortons kini sudah membuka cabang di 600 lokasi setelah masuk ke China pada 2019.  Pemasaran Cotti juga makin agresif dengan menawarkan hal-hal baru yang ditawarkan melalui website mereka.

Starbucks sendiri kini memiliki 6.000 cabang di China hingga September 2022.


(mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 3 Fakta Gerakan Boikot Starbucks, Benarkah Sokong Israel?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular