Lifestyle

Fakta Baru Corona, dari Masker hingga Nempel di Kulit 9 Jam

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
06 October 2020 16:03
A man wearing a protective mask to help curb the spread of the coronavirus rides a bicycle past a scarecrow depicting coronavirus displayed at a street Monday, Sept. 28, 2020, in Tokyo. The Japanese capital confirmed more than 70 coronavirus cases on Monday. (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Foto: Ilustrasi (AP/Eugene Hoshiko)

Jakarta, CNBC Indonesia - Penelitian soal virus corona (Covid-19) dan cara menghindarinya banyak beredar. Namun beberapa, tak bisa dipungkiri bahkan hoaks.

Berikut ringkasan beberapa studi ilmiah terbaru mengenai Covid-19 yang muncul di masyarakat sebagaimana dilansir dari Reuters.



Penggunaan masker mempengaruhi paru-paru?

Penggunaan masker rata-rata memang tidak membuat nyaman, tetapi hal ini tidak serta-merta membuat masker membatasi aliran oksigen ke paru-paru. Ini juga berlaku pada orang dengan penyakit paru-paru yang parah.

Hal ini dijelaskan melalui penelitian berjudul "Effect of Face Masks on Gas Exchange in Healthy Persons and Patients with COPD" yang diterbitkan melalui American Thoracic Society (ATS) Journal pada Jumat (2/10/2020).

Para peneliti menguji efek memakai masker bedah pada pertukaran gas, yakni proses di mana tubuh menambahkan oksigen ke darah sambil mengeluarkan karbon dioksida. Ini dilakukan pada 15 orang dokter sehat dan 15 orang veteran militer dengan paru-paru yang rusak parah.

Mereka diminta untuk menggunakan masker dan melakukan jalan cepat di atas permukaan yang datar dan keras selama enam menit. Sebelumnya kadar oksigen dan karbon dioksida dalam darah mereka diukur sebelum dan sesudah tes jalan kaki.

Hasilnya, baik dokter yang sehat maupun pasien dengan penyakit paru-paru tidak menunjukkan perubahan besar dalam pengukuran pertukaran gas setelah tes berjalan hingga 30 menit kemudian.

Ketidaknyamanan penggunaan masker kemungkinan besar bukan karena penghirupan ulang karbon dioksida dan penurunan kadar oksigen. Sebaliknya, masker dapat menyebabkan ketidaknyamanan dengan mengiritasi saraf wajah yang sensitif, menghangatkan udara yang dihirup, atau memicu perasaan klaustrofobia.



Virus corona dapat bertahan 9 jam pada permukaan kulit manusia?

Para peneliti Jepang mengatakan virus corona kini dapat bertahan selama 9 jam di kulit manusia. Hal ini muncul melalui penelitian berjudul "Survival of SARS-CoV-2 and influenza virus on the human skin: Importance of hand hygiene in COVID-19" yang diterbitkan oleh Oxford University Press for the Infectious Diseases Society of America pada Sabtu (3/10/2020).

Guna menghindari kemungkinan menginfeksi sukarelawan yang sehat, peneliti melakukan percobaan laboratorium menggunakan kulit mayat yang seharusnya digunakan untuk cangkok kulit.

Sementara virus influenza A bertahan kurang dari dua jam pada kulit manusia, virus corona baru bertahan selama lebih dari sembilan jam. Keduanya benar-benar dinonaktifkan dalam waktu 15 detik dengan pembersih tangan yang mengandung alkohol 80%.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat saat ini merekomendasikan penggunaan antiseptik berbasis alkohol dengan alkohol 60% hingga 95%, atau mencuci tangan secara menyeluruh dengan sabun dan air setidaknya selama 20 detik.

Penelitian telah menunjukkan bahwa penularan Covid-19 sebagian besar terjadi melalui aerosol dan tetesan. Namun, penelitian ini mengemukakan jika "kebersihan tangan yang benar penting untuk mencegah penyebaran infeksi SARS-CoV-2".

Apnea memperburuk pasien Covid-19?

Laporan menyatakan gangguan tidur, yakni apnea tidur obstruktif (OSA) dapat memperburuk kondisi pasien Covid-19. Ini dilaporkan dalam riset "Sleep apnoea is a risk factor for severe COVID-19" yang dirilis situs Medrxiv pada Senin (28/9/2020)

Basis data-nya menggunakan data nasional Finlandia. Di mana para peneliti menemukan keadaan bisa lima kali lebih buruk bagi kasus terinfeksi Covid-19 dan memiliki OSA, dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki OSA.

Saat penderita OSA tertidur, napas mereka berhenti sebentar dan kemudian mulai kembali. Hal ini seringkali beberapa kali pada malam hari. OSA dikaitkan dengan masalah kesehatan seperti obesitas, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan diabetes.

Termometer inframerah tidak akurat untuk orang dewasa?

Termometer inframerah non-kontak, yang lazim digunakan saat ini untuk mengetahui seseorang demam di area publik, mungkin tidak secara akurat mengukur suhu tubuh pada orang dewasa. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah penelitian kecil berjudul "Comparative accuracy testing of non-contact infrared thermometers and temporal artery thermometers in an adult hospital setting" yang diterbitkan American Journal of Infection Control (AJIC).

Termometer inframerah non-kontak merupakan perangkat yang diletakan agak jauh dari permukaan dahi. Karena tidak pernah menyentuh kulit, alat ini membantu mencegah penularan kuman dan tidak perlu disterilkan setelah digunakan.

Namun dalam sebuah penelitian terhadap 265 orang dewasa di dua rumah sakit Australia, yang membandingkan termometer inframerah dengan termometer "arteri temporal" yang digosokkan di dahi, ditemukan data yang berbeda.

Ketika suhu tubuh di bawah 37,5 C, kedua perangkat tersebut menghasilkan hasil yang serupa. Tetapi saat suhu tubuh yang lebih tinggi, termometer non-kontak "menunjukkan akurasi yang buruk" dengan perbedaan yang lebih besar saat suhu naik.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Begini Kondisi Kasus Covid di Indonesia setelah PPKM Dicabut

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular