Internasional

Heboh Panic Buying Landa Dunia: dari Jepang, Prancis ke AS

Lynda Hasibuan, CNBC Indonesia
05 March 2020 15:50
Panic buying landa dunia karena corona.
Foto: Orang-orang yang mengenakan masker pelindung mengantri untuk membeli kertas toilet dan tisu di sebuah toko obat di Tokyo. (AP)
Jakarta, CNBC Indonesia - Penyebaran COVID-19 mengalami peningkatan tajam dari hari ke hari. Diketahui, penyebaran virus corona hingga Kamis (5/3/2020) pagi telah dikonfirmasi positif di 85 negara.


Hal tersebut tentu memicu kepanikan di masyarakat. Bahkan tak sedikit warga yang "panic buying" atau melakukan aksi borong kebutuhan pokok.



Terlihat dari beberapa negara, seperti Jepang, Prancis dan Amerika Serikat para warganya panik dan membeli barang-barang kebutuhan berlebihan sehingga mengganggu rantai pasokan.

Secara obsesif didokumentasikan di media sosial, rak-rak yang kosong tersebut menambah kepanikan dan kebingungan dalam perang melawan epidemi yang telah menewaskan ribuan orang ini. Serta menempatkan jutaan orang di bawah karantina dan menghancurkan pasar global.

Sebagai contoh, supermarket terbesar Australia minggu ini mulai menjatah penjualan kertas toilet setelah polisi harus dipanggil ke sebuah toko di Sydney ketika adanya bentrokan atas komoditas langka itu.


Pada hari Sabtu (29/2) Perdana Menteri Jepang menuliskan cuitan ke Twitter untuk menenangkan kekhawatiran akan kekurangan nasional, sementara foto-foto media sosial dari AS menunjukkan rak-rak kertas toilet tak tersisa.

Psikolog mengatakan hal ini bisa terjadi lantaran adanya campuran mentalitas kawanan dan paparan yang berlebihan terhadap berita virus. Hal tersebutlah yang harus disalahkan.

"Kami mungkin kurang irasional jika kami tidak begitu diingatkan akan potensi bahaya oleh berita tersebut. Kita menghindari topik itu atau kita benar-benar gila dan membeli apa pun yang mungkin kita butuhkan," kata psikolog konsumen yang bermarkas di London Kate Nightingale kepada AFP.



Para psikolog dari Andy Yap dan Charlene Chen mengatakan kepanikan membeli barang-barang non-medis seperti kertas toilet memberi orang ini kendali bahwa dia akan mendapatkan apa yang dibutuhkan.

Kota di setiap negara mengalami pelarian baru-baru ini untuk memburu kertas toilet. Terdapat juga desas-desus yang dapat dipercaya tentang kekurangan yang akan terjadi karena penutupan di China yang dilanda virus sebagai produsen utama.

Menggulir tanpa henti melalui media sosial juga mengubah persepsi kita dan membuat kita berpikir bahwa segala sesuatunya jauh lebih serius daripada yang sebenarnya.

Ketika ketidakpastian tumbuh, mereka menambahkan, barang-barang seperti masker bedah dan pembersih tangan yang berubah menjadi barang pemecahan masalah dan tampaknya membantu orang mendapatkan kendali atas virus.

Masker bedah sekali pakai yang biasanya dijual hanya dengan harga tak mahal kini jadi barang berharga dan mahal, apalagi ini diperburuk oleh pembatasan ekspor dari China sebagai produsen utama, karena pemerintah lebih mempertahankan penggunaan dalam negeri.


Bulan lalu sepuluh ribu orang antri di luar toko Hong Kong yang telah mengamankan kiriman, dan beberapa hari kemudian masker dipilih sebagai hadiah yang paling diinginkan untuk diterima pada Hari Valentine.


Di London, masker sekarang harganya lebih dari 100 kali lipat dari harga eceran normal mereka, sementara pihak berwenang Prancis mengatakan mereka akan meminta semua stok masker dan produksi.


"Permintaan itu didorong oleh panic buying, penimbunan, dan spekulasi," kata juru bicara Organisasi Kesehatan Dunia, Fadela Chaib kepada AFP.

Terlepas dari hal itu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS mengatakan pemakaian masker itu tidak direkomendasikan bagi mereka yang sehat tapi untuk membantu memerangi wabah corona.

Tetapi di kota-kota yang padat dan paranoid di mana orang lain sudah memakainya, mengenakan masker bisa juga jika tidak efektif.

"Kamu tidak ingin menjadi yang aneh. Pada akhirnya, kita benar-benar membutuhkan kelompok sosial kita untuk bertahan hidup, jadi itu adalah naluri utama untuk mematuhi apa pun yang dibutuhkan oleh masyarakat terhadap kita," kata Nightingale.


Ketika lebih banyak negara melaporkan kasus baru, Yap dan Chen mengatakan penting bagi pihak berwenang untuk membangun kembali kendali atas informasi dan desas-desus yang memicu penimbunan dan panic buying.

"Di saat ketidakpastian, bagus untuk menetapkan aturan karena aturan memberikan rasa keteraturan dan kontrol," ucap mereka.

Pemerintah juga harus jelas dalam menjelaskan aturan baru dan mengapa aturan itu penting dalam memerangi virus. Nightingale mengatakan, dengan ketidakpercayaan otoritas kesehatan pada kenaikan atas vaksinasi wajib dan dengan pemerintah dan perusahaan di antara lembaga yang paling dipercaya ini mungkin sulit.

"Menyewa wajah terpercaya itu bisa membantu. David Attenborough mungkin bekerja untuk mengenal jenis profil pelanggan tertentu, seperti lebih dari 40-an. Untuk profil yang lebih muda, Anda bisa beralih ke influencer media sosial," kata dia.



[Gambas:Video CNBC]








(sef/sef) Next Article Begini Kondisi Kasus Covid di Indonesia setelah PPKM Dicabut

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular