
Internasional
Bisakah Starbucks Bertahan Jika AS Resesi Tahun Depan?
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
07 November 2019 17:13

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa waktu terakhir, isu mengenai resesi kian menggema setelah ekonomi dunia diproyeksikan oleh berbagai lembaga besar global akan mengalami perlambatan. Bahkan, negara maju sepertiĀ Amerika Serikat (AS) pun juga tidak luput dari ancaman resesi.
Ini terjadi setelah ekonomi negara itu menunjukkan berbagai tanda perlambatan dalam beberapa waktu terakhir, termasuk kurva imbal hasil (yield) Treasury AS yang terbalik (inverted). Selain itu, AS dilanda kerugian yang cukup besar akibat perang dagang yang diluncurkan Presiden Donald Trump dengan China.
Saat ini, lebih dari setengah warga AS yang disurvei oleh MetLife yakin bahwa resesi akan melanda negeri itu tahun depan. Dari 8.000 orang dewasa Amerika yang disurvei MetLife pada bulan September, 51% mengatakan percaya resesi akan terjadi dalam satu tahun ini, seperti dikutip dari Business Insider.
Ketika resesi melanda, dalam The Motley Fool, merek-merek mewah umumnya akan menjadi yang paling terdampak. Sebab, di saat resesi, konsumen akan lebih cenderung menghabiskan uang untuk barang-barang pokok saja dan berhemat.
Oleh karenanya, berbagai barang dan jasa seperti pakaian mewah, layanan spa, tas buatan desainer, jam tangan mahal, atau perhiasan, akan mengalami penurunan penjualan. Berdasarkan alasan itu, hal-hal lainnya seperti makanan dan minuman mewah seperti Starbucks pun dipastikan akan ditinggalkan pelanggan.
Namun, menurut penulis dan editor Daniel B. Kline, gerai kopi Starbucks tampaknya tidak akan terpengaruh cukup besar. Ini dikarenakan Starbucks memiliki strategi penjualan yang cukup matang, kata mantan pekerja di aplikasi pembayaran Microsoft dan di The Boston Globe.
"Mungkin saja Starbucks akan kehilangan sebagian pelanggan karena ekonomi, tetapi masih akan mendapat kunjungan dari orang-orang yang masih ingin memanjakan diri mereka dengan cara-cara kecil," katanya.
"Starbucks juga dapat memanfaatkan basis pengguna digitalnya untuk memberi insentif kepada pelanggan yang menggilai diskon sambil memasarkan ke pengunjung sesekali yang mungkin mencari cara yang relatif murah untuk memanjakan diri."
Starbucks adalah gerai kopi asal AS yang harga per cup kopinya relatif lebih mahal dibandingkan gerai kopi lainnya, yaitu sekitar US$ 3 hingga US$ 7 per cup atau sekitar Rp 42 ribu sampai Rp 98 ribu (estimasi kurs Rp 14.000/dolar). Perusahaan yang didirikan pada 1971 ini merupakan perusahaan penjual kopi terbesar di dunia, memiliki 27.339 toko ritel di seluruh dunia per kuartal keempat 2018.
Berdasarkan laporan Knoema, di 2017, perusahaan ini meraup laba bersih mencapai US$ 2,9 miliar. Starbucks juga memiliki kapitalisasi pasar senilai US$ 70,9 miliar.
Kline juga mengatakan bahwa Starbucks memahami pertumbuhan dan konsumennya. Perusahaan menggunakan komunikasi sebagai cara pemasaran dan menggaet pelanggan tetap. Selain itu, Starbucks juga terus berinovasi menghadirkan minuman baru yang mampu menarik pelanggan.
Starbucks sebelumnya mengalami kerugian hebat karena resesi pada 2008-2009. Saat itu Starbucks terpaksa menutup sebagian gerainya, bahkan sahamnya juga turun tajam.
(sef/sef) Next Article Heboh, Starbucks Pakai Bahan Kadaluarsa di China
Ini terjadi setelah ekonomi negara itu menunjukkan berbagai tanda perlambatan dalam beberapa waktu terakhir, termasuk kurva imbal hasil (yield) Treasury AS yang terbalik (inverted). Selain itu, AS dilanda kerugian yang cukup besar akibat perang dagang yang diluncurkan Presiden Donald Trump dengan China.
Saat ini, lebih dari setengah warga AS yang disurvei oleh MetLife yakin bahwa resesi akan melanda negeri itu tahun depan. Dari 8.000 orang dewasa Amerika yang disurvei MetLife pada bulan September, 51% mengatakan percaya resesi akan terjadi dalam satu tahun ini, seperti dikutip dari Business Insider.
Oleh karenanya, berbagai barang dan jasa seperti pakaian mewah, layanan spa, tas buatan desainer, jam tangan mahal, atau perhiasan, akan mengalami penurunan penjualan. Berdasarkan alasan itu, hal-hal lainnya seperti makanan dan minuman mewah seperti Starbucks pun dipastikan akan ditinggalkan pelanggan.
Namun, menurut penulis dan editor Daniel B. Kline, gerai kopi Starbucks tampaknya tidak akan terpengaruh cukup besar. Ini dikarenakan Starbucks memiliki strategi penjualan yang cukup matang, kata mantan pekerja di aplikasi pembayaran Microsoft dan di The Boston Globe.
"Mungkin saja Starbucks akan kehilangan sebagian pelanggan karena ekonomi, tetapi masih akan mendapat kunjungan dari orang-orang yang masih ingin memanjakan diri mereka dengan cara-cara kecil," katanya.
"Starbucks juga dapat memanfaatkan basis pengguna digitalnya untuk memberi insentif kepada pelanggan yang menggilai diskon sambil memasarkan ke pengunjung sesekali yang mungkin mencari cara yang relatif murah untuk memanjakan diri."
Starbucks adalah gerai kopi asal AS yang harga per cup kopinya relatif lebih mahal dibandingkan gerai kopi lainnya, yaitu sekitar US$ 3 hingga US$ 7 per cup atau sekitar Rp 42 ribu sampai Rp 98 ribu (estimasi kurs Rp 14.000/dolar). Perusahaan yang didirikan pada 1971 ini merupakan perusahaan penjual kopi terbesar di dunia, memiliki 27.339 toko ritel di seluruh dunia per kuartal keempat 2018.
Berdasarkan laporan Knoema, di 2017, perusahaan ini meraup laba bersih mencapai US$ 2,9 miliar. Starbucks juga memiliki kapitalisasi pasar senilai US$ 70,9 miliar.
Kline juga mengatakan bahwa Starbucks memahami pertumbuhan dan konsumennya. Perusahaan menggunakan komunikasi sebagai cara pemasaran dan menggaet pelanggan tetap. Selain itu, Starbucks juga terus berinovasi menghadirkan minuman baru yang mampu menarik pelanggan.
Starbucks sebelumnya mengalami kerugian hebat karena resesi pada 2008-2009. Saat itu Starbucks terpaksa menutup sebagian gerainya, bahkan sahamnya juga turun tajam.
(sef/sef) Next Article Heboh, Starbucks Pakai Bahan Kadaluarsa di China
Most Popular