
Adu Cuan Produk Investasi untuk Milenial, Saat Bunga Tinggi
Irvin Avriano Arief & Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
04 February 2019 16:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Bandana khas hitam-emas, jaket kulit, dan kacamata hitam yang dikenakan endorser dan youtuber Atta Halilintar pekan lalu mematahkan stigma bahwa penawaran produk syariah harus diperkaya peralatan gimmick seperti peci, sarung, angklung, rebana, atau beduk.
Tak melulu menjajakan merek fashion (clothing) milik sendiri, pekan lalu Atta digandeng Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) turut meresmikan peluncuran instrumen pembiayaan pemerintah berprinsip syariah yaitu Sukuk Tabungan seri 003 (ST-003).
Sayangnya, acara itu absen sama sekali di Instagram si selebgram, sekaligus di channel King of Youtube Indonesia yang turut menjadi individu pertama dengan pengikut (subscriber) lebih dari 9,8 juta di Asia Tenggara tersebut.
Strategi tersebut tentu diharapkan dapat menulari penghuni kelas umur milenial untuk berinvestasi untuk negara tercinta, apalagi pemesanan sudah dibuka melalui jaringan online.
Maklum juga, bahwa saat ini milenial mulai menyalip pangsa investor terbesar setiap penerbitan obligasi ritel pemerintah sejak obligasi tabungan ritel (saving bond retail/SBR) 003 (SBR-003) pada 2018 silam, kecuali pada penawaran sukuk retail (SR) seri 010 (SR-010).
Pada penawaran SR-010, kelas umur lebih dari 40 tahun masih mendominasi pada angka 38,26%.
Pembeli Obligasi Ritel Pemerintah
Sumber: DJPPR, diolah
Meskipun masih kerap dibandingkan dengan kupon SBR tahun lalu yaitu SBR-004 yang premiumnya 225 basis poin (bps) terhadap suku bunga acuan 7 days reverse repo rate (7DRRR), kupon bagi hasil ST-003 8,15% tersebut (215 bps di atas 7DRRR) tentu menggiurkan jika dibanding instrumen lain.
Instrumen lain yang biasa dibandingkan dengan ST dan SBR adalah yang bersifat konservatif di tengah rezim bunga tinggi seperti sekarang ini.
Meskipun memang kurang adil jika dibandingkan langsung karena tenor, peruntukan, dan sifatnya, tetapi masih ada saja yang membandingkan obligasi ritel pemerintah dengan reksa dana pasar uang atau deposito perbankan.
Maklum saja, ketiganya merupakan instrumen yang paling terjangkau dari sisi minimal nominal pembelian dan aksesbilitasnya yang mudah.
Apalagi, rezim bunga tinggi seakan mengucap janji akan ada kenaikan suku bunga deposito dan reksa dana pasar uang.
Saat ini, rerata bunga deposito 3 bulan di bank buku IV (kelas bank paling besar) adalah 5,5% per tahun (dikurang pajak 20% sama dengan 4,4%), dan rerata return reksa dana pasar uang setahun terakhir adalah 4,94% (tanpa pajak lagi).
Angka 8,15% juga dengan hitungan pajak 15% akan menciut menjadi 6,9275%. Dengan modal kupon yang lumayan besar tersebut, tentu ada trade-off-nya yaitu sifat dari SBR dan ST yang tidak dapat dijual sewaktu-waktu, harus menunggu periode early redemption setelah setahun diterbitkan.
Sifat tidak dapat dijual sewaktu-waktu ini bertolak belakang dibanding obligasi negara ritel (ORI), dan sekali sukuk ritel (SR) yang punya pasar sekunder. (Baca artikel: Mengenal Obligasi Ritel Pemerintah, Apa Saja?)
Pemerintah juga tidak menetapkan target yang muluk-muluk, yaitu hanya Rp 2 triliun.
Kemungkinan kecilnya penetapan target Rp 2 triliun itu karena berkaca pada penerbitan obligasi ritel konvensional pertamanya tahun ini yaitu obligasi tabungan ritel (saving bond retail/SBR) 004 yang laku Rp 4 triliun.
Target Naik Jadi Rp 80 T
Meskipun di atas target yang disebutkan Rp 2 triliun, tetapi penetapan target Rp 2 triliun tersebut tampak sangat rendah karena target seluruh penerbitan obligasi ritel pemerintah tahun ini, baik konvensional maupun sukuknya, baru dinaikkan menjadi Rp 80 triliun dari rencana awal Rp 60 triliun.
Jadwal penerbitan juga sudah dipublikasikan, yaitu total ada empat kali SBR, empat kali ST, sekali ORI, dan sekali SR.
Target Rp 60 triliun memang terbilang lebih realistis dibanding yang Rp 80 triliun mengingat tahun lalu rerata penerbitan SBR Rp 4,62 triliun dan penerbitan ST-002 Rp 4,94 triliun.
Jika hasilnya mirip-mirip per penerbitan seperti tahun lalu, anggap saja setiap SBR dan ST senilai Rp 5 triliun, maka dari dua instrumen itu saja dalam pemerintah baru mendapatkan Rp 40 triliun.
Dengan pekerjaan rumah dan target yang lebih tinggi tersebut, tentu pemerintah harus berharap banyak dari hasil penerbitan ORI dan SR yang harus mendapuk tanggung jawab untuk laku masing-masing Rp 20 triliun, padahal SR-010 tahun lalu hanya mampu Rp 8,4 triliun.
Belum lagi, rezim bunga tinggi tentu harus memperhitungkan adanya pertarungan berebut likuiditas dengan industri lain.
Dengan hitungan yang pernah dilakukan jika penerbitan Rp 60 triliun (baca artikel: SBN Receh 2019 Ditarget Rp 60 T, Amankah Likuiditas?), tentu dana tambahan yang harus diserap pemerintah dari publik (dan juga dari perbankan) hanya Rp 2,74 triliun karena adanya jatuh tempo obligasi receh beserta bunga Rp 57,25 triliun.
Dan tahun ini dengan target yang dinaikkan menjadi Rp 80 triliun, tentu jumlah dana yang diharapkan dapat dikumpulkan DJPPR dari 13 agen penjual ST dan SBR-nya membludak menjadi Rp 22,74 triliun, yang diharapkan tidak menganggu periuk nasi industri lain.
Penerbitan Obligasi Ritel Pemerintah 2018
Sumber: Diolah
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/hps) Next Article Perlambatan Ekonomi Global Bikin Obligasi RI Terkoreksi
Tak melulu menjajakan merek fashion (clothing) milik sendiri, pekan lalu Atta digandeng Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) turut meresmikan peluncuran instrumen pembiayaan pemerintah berprinsip syariah yaitu Sukuk Tabungan seri 003 (ST-003).
Sayangnya, acara itu absen sama sekali di Instagram si selebgram, sekaligus di channel King of Youtube Indonesia yang turut menjadi individu pertama dengan pengikut (subscriber) lebih dari 9,8 juta di Asia Tenggara tersebut.
Maklum juga, bahwa saat ini milenial mulai menyalip pangsa investor terbesar setiap penerbitan obligasi ritel pemerintah sejak obligasi tabungan ritel (saving bond retail/SBR) 003 (SBR-003) pada 2018 silam, kecuali pada penawaran sukuk retail (SR) seri 010 (SR-010).
Pada penawaran SR-010, kelas umur lebih dari 40 tahun masih mendominasi pada angka 38,26%.
Pembeli Obligasi Ritel Pemerintah
Seri Obligasi Ritel | Milenial (18-40 tahun) | Gen X (41-55 tahun) | Kelas umur lain |
SBR-001 | - | 74% | - |
SBR-002 | - | 77.50% | - |
ST-001 | 24% | 39% | 37.00% |
ORI-014 | - | 77.28% | - |
SBR-003 | 36.72% | 31.34% | 31.94% |
SBR-004 | 40.99% | 30.92% | 28.09% |
ORI-015 | 24.46% | 34.52% | 41.02% |
SR-010 | 21.45% | 38.26% | 40.29% |
ST-002 | 44.61% | 29.36% | 26.03% |
SBR-005 | 50.61% | 27.56% | 21.83% |
Meskipun masih kerap dibandingkan dengan kupon SBR tahun lalu yaitu SBR-004 yang premiumnya 225 basis poin (bps) terhadap suku bunga acuan 7 days reverse repo rate (7DRRR), kupon bagi hasil ST-003 8,15% tersebut (215 bps di atas 7DRRR) tentu menggiurkan jika dibanding instrumen lain.
Instrumen lain yang biasa dibandingkan dengan ST dan SBR adalah yang bersifat konservatif di tengah rezim bunga tinggi seperti sekarang ini.
Meskipun memang kurang adil jika dibandingkan langsung karena tenor, peruntukan, dan sifatnya, tetapi masih ada saja yang membandingkan obligasi ritel pemerintah dengan reksa dana pasar uang atau deposito perbankan.
Maklum saja, ketiganya merupakan instrumen yang paling terjangkau dari sisi minimal nominal pembelian dan aksesbilitasnya yang mudah.
Apalagi, rezim bunga tinggi seakan mengucap janji akan ada kenaikan suku bunga deposito dan reksa dana pasar uang.
Saat ini, rerata bunga deposito 3 bulan di bank buku IV (kelas bank paling besar) adalah 5,5% per tahun (dikurang pajak 20% sama dengan 4,4%), dan rerata return reksa dana pasar uang setahun terakhir adalah 4,94% (tanpa pajak lagi).
Angka 8,15% juga dengan hitungan pajak 15% akan menciut menjadi 6,9275%. Dengan modal kupon yang lumayan besar tersebut, tentu ada trade-off-nya yaitu sifat dari SBR dan ST yang tidak dapat dijual sewaktu-waktu, harus menunggu periode early redemption setelah setahun diterbitkan.
Sifat tidak dapat dijual sewaktu-waktu ini bertolak belakang dibanding obligasi negara ritel (ORI), dan sekali sukuk ritel (SR) yang punya pasar sekunder. (Baca artikel: Mengenal Obligasi Ritel Pemerintah, Apa Saja?)
Pemerintah juga tidak menetapkan target yang muluk-muluk, yaitu hanya Rp 2 triliun.
Kemungkinan kecilnya penetapan target Rp 2 triliun itu karena berkaca pada penerbitan obligasi ritel konvensional pertamanya tahun ini yaitu obligasi tabungan ritel (saving bond retail/SBR) 004 yang laku Rp 4 triliun.
Target Naik Jadi Rp 80 T
Meskipun di atas target yang disebutkan Rp 2 triliun, tetapi penetapan target Rp 2 triliun tersebut tampak sangat rendah karena target seluruh penerbitan obligasi ritel pemerintah tahun ini, baik konvensional maupun sukuknya, baru dinaikkan menjadi Rp 80 triliun dari rencana awal Rp 60 triliun.
Jadwal penerbitan juga sudah dipublikasikan, yaitu total ada empat kali SBR, empat kali ST, sekali ORI, dan sekali SR.
Target Rp 60 triliun memang terbilang lebih realistis dibanding yang Rp 80 triliun mengingat tahun lalu rerata penerbitan SBR Rp 4,62 triliun dan penerbitan ST-002 Rp 4,94 triliun.
Jika hasilnya mirip-mirip per penerbitan seperti tahun lalu, anggap saja setiap SBR dan ST senilai Rp 5 triliun, maka dari dua instrumen itu saja dalam pemerintah baru mendapatkan Rp 40 triliun.
Dengan pekerjaan rumah dan target yang lebih tinggi tersebut, tentu pemerintah harus berharap banyak dari hasil penerbitan ORI dan SR yang harus mendapuk tanggung jawab untuk laku masing-masing Rp 20 triliun, padahal SR-010 tahun lalu hanya mampu Rp 8,4 triliun.
Belum lagi, rezim bunga tinggi tentu harus memperhitungkan adanya pertarungan berebut likuiditas dengan industri lain.
Dengan hitungan yang pernah dilakukan jika penerbitan Rp 60 triliun (baca artikel: SBN Receh 2019 Ditarget Rp 60 T, Amankah Likuiditas?), tentu dana tambahan yang harus diserap pemerintah dari publik (dan juga dari perbankan) hanya Rp 2,74 triliun karena adanya jatuh tempo obligasi receh beserta bunga Rp 57,25 triliun.
Dan tahun ini dengan target yang dinaikkan menjadi Rp 80 triliun, tentu jumlah dana yang diharapkan dapat dikumpulkan DJPPR dari 13 agen penjual ST dan SBR-nya membludak menjadi Rp 22,74 triliun, yang diharapkan tidak menganggu periuk nasi industri lain.
Penerbitan Obligasi Ritel Pemerintah 2018
Seri | Kupon | Tenor | Jatuh tempo | Nilai penerbitan (Rp miliar) |
SBR-003 | 6.80% | 2 tahun | 2020 | 1,920 |
SBR-004 | 8.05% | 2 tahun | 2020 | 7,320 |
ORI-015 | 8.25% | 3 tahun | 2021 | 23,378 |
SR-010 | 5.90% | 3 tahun | 2021 | 8,400 |
ST-002 | 8.30% | 2 tahun | 2020 | 4,945 |
Jumlah | 45,963 |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/hps) Next Article Perlambatan Ekonomi Global Bikin Obligasi RI Terkoreksi
Most Popular