
Perkembangan Teknologi
AI Bisa Memicu Perang Nuklir di 2040
Roy Franedya, CNBC Indonesia
26 April 2018 12:09

Jakarta, CNBC Indonesia - Artificial intelligence atau kecerdasan buatan (AI) berpotensi memicu perang nuklir pada 2040, menurut makalah penelitian dari lembaga think thank Amerika Serikat (AS).
Makalah yang dibuat lembaga nirlaba, Rand Corporation, memperingatkan akan adanya potensi pengikisan stabilitas geopolitik dan menghapus status senjata nuklir sebagai alat penangkal. AI dan machine learning yang bisa memutuskan tindakan militer dapat berarti merusak jaminan stabilitas.
Para peneliti yang mengerjakan makalah ini melakukan serangkaian lokakarya dengan para ahli dan menemukan di masa depan AI dapat mengganti peran manusia dalam membuat keputusan ketidak ada bencana.
AI juga dapat mendorong negara-negara untuk meluncurkan serangan terhadap negara lain untuk menciptakan nilai tawar, bahkan jika negara tersebut tidak memiliki niat melakukan serangan, kata para peneliti.
"Beberapa ahli khawatir dengan meningkatnya ketergantungan pada kecerdasan buatan yang dapat menyebabkan kesalahan katastropik baru," kata Andrew Lohn, rekan penulis makalah dan insinyur rekanan di Rand seperti dikutip dari CNBC International, Kamis (26/4/2018).
"Mungkin ada tekanan untuk menggunakan AI sebelum teknologi matang. Oleh karena itu, mempertahankan stabilitas strategis dalam beberapa dekade mendatang mungkin terbukti sangat sulit dan semua kekuatan nuklir harus berpartisipasi untuk membantu membatasi nuklir. Risiko."
Makalah Rand menyoroti bahaya penggunaan AI untuk mengambil keputusan militer daripada ancaman drone otonom dan apa yang disebut "robot pembunuh".
Alarm Nuklir Palsu 1983
Para peneliti menunjuk insiden alarm palsu nuklir pada 1983 sebagai contoh pengembangan AI pasca Perang Dingin.
Pada 1983, perwira militer Uni Soviet bernama Stainslav Petrov melihat peringatan di komputer bahwa AS telah meluncurkan beberapa rudal. Peringatan tersebut ternyata saah, dan Petrov yang menunggal akhir tahun lalu, telah diberi gelas sebagai orang yang menyelamatkan dunia dari kehancuran nuklir.
"Hubungan antara perang nuklir dan kecerdasan buatan bukanlah hal baru; faktanya, keduanya memiliki sejarah yang saling terkait," kata Edward Geist, penulis bersama dari makalah dan peneliti kebijakan asosiasi di RAND.
"Banyak pengembangan awal AI dilakukan untuk mendukung upaya militer atau dengan tujuan militer."
Banyak pemimpin dan ahli bisnis telah memperingatkan terhadap penggunaan AI dalam pengaturan militer.
CEO Tesla dan SpaceX Elon Musk berada di antara 100 ahli AI yang menyerukan kepada PBB untuk mencegah pengembangan senjata otonom mematikan.
Musk memperingatkan bahwa AI dapat menciptakan "diktator abadi yang tidak dapat kita hindari" dan bahwa teknologi tersebut dapat mengakibatkan perang dunia ketiga.
(roy/roy) Next Article Alibaba Dirikan Pusat Penelitian AI di Singapura
Makalah yang dibuat lembaga nirlaba, Rand Corporation, memperingatkan akan adanya potensi pengikisan stabilitas geopolitik dan menghapus status senjata nuklir sebagai alat penangkal. AI dan machine learning yang bisa memutuskan tindakan militer dapat berarti merusak jaminan stabilitas.
Para peneliti yang mengerjakan makalah ini melakukan serangkaian lokakarya dengan para ahli dan menemukan di masa depan AI dapat mengganti peran manusia dalam membuat keputusan ketidak ada bencana.
"Mungkin ada tekanan untuk menggunakan AI sebelum teknologi matang. Oleh karena itu, mempertahankan stabilitas strategis dalam beberapa dekade mendatang mungkin terbukti sangat sulit dan semua kekuatan nuklir harus berpartisipasi untuk membantu membatasi nuklir. Risiko."
Makalah Rand menyoroti bahaya penggunaan AI untuk mengambil keputusan militer daripada ancaman drone otonom dan apa yang disebut "robot pembunuh".
Alarm Nuklir Palsu 1983
Para peneliti menunjuk insiden alarm palsu nuklir pada 1983 sebagai contoh pengembangan AI pasca Perang Dingin.
Pada 1983, perwira militer Uni Soviet bernama Stainslav Petrov melihat peringatan di komputer bahwa AS telah meluncurkan beberapa rudal. Peringatan tersebut ternyata saah, dan Petrov yang menunggal akhir tahun lalu, telah diberi gelas sebagai orang yang menyelamatkan dunia dari kehancuran nuklir.
"Hubungan antara perang nuklir dan kecerdasan buatan bukanlah hal baru; faktanya, keduanya memiliki sejarah yang saling terkait," kata Edward Geist, penulis bersama dari makalah dan peneliti kebijakan asosiasi di RAND.
"Banyak pengembangan awal AI dilakukan untuk mendukung upaya militer atau dengan tujuan militer."
Banyak pemimpin dan ahli bisnis telah memperingatkan terhadap penggunaan AI dalam pengaturan militer.
CEO Tesla dan SpaceX Elon Musk berada di antara 100 ahli AI yang menyerukan kepada PBB untuk mencegah pengembangan senjata otonom mematikan.
Musk memperingatkan bahwa AI dapat menciptakan "diktator abadi yang tidak dapat kita hindari" dan bahwa teknologi tersebut dapat mengakibatkan perang dunia ketiga.
(roy/roy) Next Article Alibaba Dirikan Pusat Penelitian AI di Singapura
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular