Cerita Mahendra Siregar Soal Diplomasi Ekonomi Hingga Vaksin

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
26 October 2020 06:10
Mahendra Siregar, Duta Besar Indonesia untuk AS, datang ke Istana. (Andhika Prasetya/detikcom
Foto: Mahendra Siregar (Andhika Prasetya/detikcom)

Siapa Mahendra Siregar?
Mungkin kalau dilihat dari sejarahnya, betul (saya) mulai di Kementerian Luar Negeri. Tapi perjalanan keseluruhannya banyak berjalan di birokrasi pemerintah. Sebagian besar ada di kompartemen ekonomi. Walaupun saat ini kembali ke Kemlu, dan ditugaskan khusus untuk diplomasi ekonomi.

Jabatan yang paling berkesan?
Mungkin agak klise menjawabnya, tapi yang saya lihat justru karena ada di beberapa posisi tadi, sehingga pemahaman, cara pandang, dan juga konteksnya, saya berharap tentunya tidak mau menyombongkan diri, menjadi lebih lengkap dan relevan untuk konteks yang makin kompleks, saya rasa begitu.

Sekarang diplomasi ekonomi paling penting. Instruksi presiden, Duta Besar RI adalah duta investasi. Bagaimana anda menerjemahkan perintah presiden?
Interpretasi dan eksekusinya itu adalah menyampaikan potensi dan peluang ekonomi dan investasi Indonesia ke pihak investor, maupun keseluruhan pemangku kepentingan di negara masing-masing, tempat bertugas dubes.

Tetapi yang menjadi penekanan saat ini dan perbedaan yang lalu adalah pengawalan sampai tuntas dari langkah-langkah pendekatan promosi di awal, terus penjajakannya, prosesnya, pelaksanaannya, dan tentu sampai sedapat mungkin pemenuhan izin-izin dan operasionalisasi.

Ini yang sebelumnya dianggap bagian dari pihak lain, kalau dilihat dari kacamata kedutaan besar adalah mereka yang bertugas di kementerian lembaga terkait. Tapi saat ini adalah sampai ke eksekusinya.

Mengawal sampai bisa datang untuk investasi di Indonesia?
Dan tidak mudah, apalagi dalam kondisi Indonesia sekarang. Tetapi sekalipun dalam kondisi pandemi seperti ini, pengawalan yang mengikuti, atau mengambil perumpamaan pesepakbola man to man marking, di mana dari kedubes apakah pimpinannya atau staf bidang ekonominya ditugaskan sehingga yang bersangkutan bisa melihat langsung ke Indonesia, bahkan melihat lokasinya, bahkan bertemu dengan pejabat yang berhubungan dengan bisnisnya, dan juga mulai membahas pelaksanaan kalau ada yang masuk ke tahap negosiasi.

Tentu tidak sampai ke tahap negosiasi, tapi (kami) mengantarkan sehingga mereka, walaupun di tengah pandemi merasa bahwa kebutuhan, penjagaan, dan pengawalan bagi mereka extra effort dan terus terang, saya yakin sampai sekarang yang sulit membuat investor maupun calon mitra kita itu adalah datang ke Indonesia.

Begitu datang, mereka akan melihat sendiri dan kita hanya perlu eksekusi, tidak perlu jual banyak kecap lagi. Beda kalau mereka belum datang ke Indonesia dan hanya mendengar dari pihak lain.

Berapa jumlah perwakilan Indonesia di luar negeri?
Seluruh KBRI, KJRI, dan Perwakilan Tetap kita di PBB ada 132.

Perlu (ada perwakilan di LN)?
Perlu. Memang dengan penajaman, konsentrasi, dan pembagian tugas yang harus lebih customize, tidak bisa lagi pukul rata bagi semua pihak, sebab ada negara yang memang dari segi ekonomi sudah mapan, ada yang sedang emerging, tapi memang ada yang secara pendapatan belum terlalu tinggi tetapi secara konkrit untuk kebutuhan perdagangan, investasi real bagi kita.

Misalnya kebetulan tadi siang kami baru melakukan virtual meeting dengan belasan Duta Besar negara-negara Afrika yang ada di Jakarta. Untuk kita, kemitraan dengan Afrika ini adalah kemitraan yang tepat bagi sejumlah produsen dan eksportir dari produk-produk kita yang tidak harus high-end tapi memang kurang lebih sama dengan kebutuhan kita dan dengan persyaratan yang tidak terlalu berat.



Jadi gak harus selalu soal investasi, bukan tujuan dagang?
Sebaliknya dengan Afrika ini kita (Indonesia) yang investasi di sana. Tadi kami sampaikan sejumlah perusahaan, baik perusahaan swasta di bidang migas, farmasi, di beberapa bidang manufacturing, ada juga perkebunan dan beberapa BUMN untuk konstruksi, pembangunan infrastruktur, kita yang investasi. Jadi Indonesia sekarang pun sudah masuk ke dalam outworld investment.

Apa yang dilihat Kemlu untuk menempatkan dubes di sebuah negara, misalnya di Rumania, apa keuntungan ekonominya dan tujuan dagangnya?
Pertama pertimbangannya di awal untuk membuka satu perwakilan tentu tidak hanya dari satu sisi. Ekonomi, perdagangan, investasi salah satunya. Kebutuhan lain tentu dari pertimbangan politik, dan segi strategic.

Saya rasa kurang etis menyebut salah satu negara tertentu. Seperti yang saya sampaikan tadi, suatu negara yang memang secara ekonomi, dibandingkan kawasannya, atau belum tentu sebanding dengan Indonesia, tetapi kita tidak menutup mata bahwa justru dari segi kebutuhan atau keunggulan tertentu, memberikan peluang yang tidak terbayangkan.

Contohnya di negara-negara Afrika itu, mulai dari furniture, garmen, sepatu, elektronik, makanan dan minuman, farmasi kita. Ini memang tidak bisa kita lihat sebagai one size fits all. Apalagi kalau kita melihat tingkat pertumbuhan negara-negara secara umum, negara yang makin tinggi ekonominya, pertumbuhannya jadi rendah. Sementara sebaliknya, negara yang ekonominya rendah, pertumbuhannya lebih cepat.

Kemlu dan Kedubes di LN merupakan etalase Indonesia. Bagaimana upaya Menlu berkoordinasi dengan BKPM, dan kedua, kita sering melihat kampanye negatif yang dilakukan oleh negara-negara tertentu, contohnya Australia, Norwegia, Singapura, Malaysia yang sering kampanye negatif terhadap Indonesia?
Saya melihatnya memang dalam perspektif yang lebih luas. Pertama memang ada pihak-pihak di negara tertentu yang fokus terhadap isu-isu tertentu, dan tidak mau melihat realita di belakangnya dan juga tidak peduli dengan persoalan kompleksitas dari masalah yang ada di situ. (masalah di Indonesia yang dilihat oleh negara lain)

Tetapi di lain pihak, terkadang cara pandang yang superfokus itu juga tidak mencerminkan perspektif yang lengkap. Konkretnya, saya membaca berapa besarnya area kebakaran liar (wildfire) di Amerika Serikat dan di Australia sepanjang tahun 2020. Di Australia, itu 12 juta hektare. Di Indonesia, bahkan dalam tahun tertentu, yang paling berat kebakaran hutannya tahun 2015, itu tidak sampai setengahnya itu.

Setelah 2015, (kebakaran hutan) kita turun terus. Kemampuan kita untuk mengurangi emisi karbon, sehingga baik dengan Norwegia maupun dengan Global Climate Fund kita diakui, dan kemudian ada semacam kompensasi karena kita telah melakukan carbon emission reduction.

Tetapi di lain pihak, begitu saya melihat Amerika sama, itu perkiraannya 10 juta ha (hutan terbakar). Untuk tahun 2020 hingga selesai, kita tidak pernah sebesar itu. Kalau di peribahasa kita, "Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak terlihat".

Pertanyaan saja belum terjawab, kampanye negatif yang dilakukan oleh negara-negara tertentu, contohnya Australia, Norwegia, Singapura, Malaysia terhadap Indonesia?
Dalam konteks apa yang kita lakukan, apabila ada indikasi hal seperti itu, tentu kita konfrontasi, dalam arti kita cek langsung apakah benar dan sebagainya, dan kemudian kita sampaikan pertanyaan-pertanyaan dan bukti sebagainya, dan kemudian tentu kita melihat dan menunggu responnya, dan kita tindak lanjuti dan memang ada hal-hal seperti itu.

(Dari yang ditanyakan oleh Pak Peter) memang ada organisasi-organisasi yang dibiayai oleh dana bantuan dari pemerintah tertentu yang kemudian dana itu antara lain dipakai untuk mengkritisi secara tajam dan tidak proporsional kontekstual oleh organisasi itu terhadap UU Ciptaker pada saat RUU belum selesai atau baru saja disetujui padahal jumlahnya 800-an lembar, terdiri dari revisi untuk 80 UU, dan 1.500-an pasal. Jadi tidak mungkin hal itu bisa dilakukan dalam waktu begitu singkat.

Memang ada hal seperti itu, ini yang kita konfrontasikan dan kroscek persoalannya, dan tentu langkah kita ke depan akan tergantung dari bagaimana kita melihat hal itu, dan membuktikannya, termasuk dari pihak yang terkait apabila memang terbukti itu terjadi sepengetahuannya dan persetujuannya.

Kembali ke pertanyaan saya, Australia sering memberitakan yang negatif tentang Indonesia, tapi jarang sekali dubes kita melakukan protes, selain itu soal Norwegia yang mengiring soal anti Omnibus Law, kita tidak pernah mendengar dubes kita memprotes hal ini. Apakah itu bukannya salah satu tugas dubes?
Oh iya itu (tugas dubes). Kalau itu di media dan berita yang berat sebelah, tidak obyektif dan justru tidak kroscek kepada narasumber dari pihak Indonesia harus kita klarifikasi, kita counter, dan kita hak untuk menjawab. Tetapi memang, saya sendiri mengalami, dan melihat bahwa hak jawab dan akses kita untuk merespon itu dari media-media di LN itu memang diminimalisir.

Tugas dubes tidak diberitakan di media lokal?
Saya lihat itu masuk akal. Ini menjadi koreksi di masa depan, sebab saya lebih berfokus kepada bagaimana mengklarifikasi dalam konteks yang terjadi di LN.

(miq/sef)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular