
Menlu Retno Buka-bukaan Soal Diplomasi Vaksin di Era Pandemi

Jakarta, CNBC Indonesia - Diplomasi yang dilakukan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia di bawah komando Menteri Luar Negeri RIĀ Retno Marsudi merupakan salah satu kunci penanganan pandemiĀ Covid-19 di tanah air. Betapa tidak, sejak awal pandemi tahun lalu, Retno bersama sejumlah menteri dalam Kabinet Kerja turut serta mengamankan pasokan vaksin Covid-19.
Pasokan itu tidak hanya datang datang dari sisi komersial semata, melainkan juga bilateral dan multilateral via COVAX. Kendati demikian, semua itu bukannya tanpa tantangan. Sebab, ada situasi di mana negara-negara lain pun memperebutkan pasokan vaksin.
Dalam CNBC Indonesia Economic Update yang tayang pada, Selasa (13/7/2021), Retno buka-bukaan perihal diplomasi Kemenlu RI di tengah pandemi Covid-19. Berikut adalah petikan wawancaranya:
Bisa diceritakan diplomasi vaksin yang Anda lakukan selama pandemi Covid-19?
Dari kontak, komunikasi, serta kunjungan saya bersama Pak Menteri BUMN (Erick Thohir), Menteri Kesehatan pada saat itu (Terawan Agus Putranto), kalau kita lihat sampai titik ini kita sudah mengamankan lebih dari 100 juta dosis baik dari secara komersial namun juga ada dukungan dari bilateral dan melalui jalur multilateral via COVAX.
Jadi per 12 Juli kita sudah memiliki 132.727.140 dosis vaksin yang terdiri dari Sinovac 118 juta. Ini paling banyak berbentuk bulk, kemudian AstraZeneca dari COVAX itu 8.228.400, kemudian dari Sinopharm ada 2 juta, kemudian AstraZeneca dari Jepang hampir 1 juta dan akan datang lagi 1 juta dan yang terakhir dari AS itu Moderna kurang lebih 3 juta yang dilewatkan melalui jalur COVAX.
Intinya dari awal kita sudah garap dan banyak dinamikanya dan dinamika itu berdampak pada keterlambatan pasokan dan oleh karena itu kita mencari cara agar ketersediaan vaksin untuk masyarakat Indonesia tercukupi. Kita juga sekarang mencoba mekanisme dose sharing yang dilakukan Jepang dan AS.
Mekanisme dose sharing itu seperti apa?
Jadi begini, saya salah satu co-chair COVAX AMC engagement grup. Di dalam konteks multilateral konsep dose sharing itu sudah dibahas dari awal. Jadi di awal pandemi kita sudah lakukan dua hal, yakni melakukan penggalangan dana sehingga bisa beli vaksin di pool kemudian dibagi kepada negara-negara yang berpenghasilan menengah ke bawah. Jadi uang untuk beli vaksin. Yang kedua, untuk negara-negara yang memiliki vaksin lebih banyak dari yang dibutuhkan penduduk maka sangat dianjurkan WHO agar kelebihan ini bisa dibagi melalui COVAX.
Nah saya mau memulai begini, uang sudah terkumpul namun ada dinamika begini. Jadi di India yang merupakan pusat farmasi dunia tiba-tiba kasusnya naik tajam sehingga pemerintahnya melarang ekspor vaksin dan obat. Akibatnya pasokan vaksin ke seluruh dunia mengalami delay. Oleh karena itu kita sekarang masuk ke opsi 2 ke dose sharing. Jadi dari mekanismenya sudah dibahas sejak awal tapi kelebihan ini kan baru terjadi akhir-akhir ini.
Seperti apa kontribusi RI untuk mendorong penghapusan hak paten vaksin?
Jadi ke manapun kita pergi dalam forum internasional termasuk yang saya hadiri terakhir yakni pertemuan Menlu G20 di Italia selalu kita membahas isu-isu kesehatan. Jadi kesehatan merupakan hal yang utama dalam diplomasi. Dalam setiap momen diplomasi tentu setiap negara pertama kali berjuang untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Ini kita lakukan. Contohnya kita berdiskusi dengan semua pihak terkait seperti produsen vaksin dan menghasilkan hal-hal yang saya paparkan.
Yang kedua, Indonesia kan bagian dari dunia sehingga di situ juga ada tanggung jawab terhadap dunia dan kalau Indonesia bicara selalu mewakili kepentingan negara berkembang. Jadi karena itu saat saya terpilih menjadi salah satu cochair COVAX AMC engagement group buat saya ini adalah tanggung jawab yang sangat besar. Di sini kita dapat memperjuangkan banyak hal pertama, yaitu menjamin kesetaraan akses vaksin ke seluruh negara. Ini nggak mudah. Vaksin ada, distribusi gimana. Dan data menyatakan bahwa sebagian besar vaksin dimiliki negara-negara maju dengan angka yang minim dimiliki negara berkembang. Oleh karena itu prinsip kesetaraan vaksin kita tonjolkan dan ini diamini seluruh negara.
Kedua, kalau kita ingin mempercepat berarti produksi harus didiversifikasi. Ada ketentuan mengenai paten dan di dalam kondisi emergency harus ada pengecualian dari kewajiban. Oleh karena itu RI menjadi salah satu trips waiver di tatanan WTO. Intinya ingin mengesampingkan beberapa ketentuan untuk mengatasi hambatan produksi alat kesehatan. Jadi konteksnya emergency dan harus ada yang dipercepat. Oleh karena itu Indonesia jadi bagian terdepan untuk memperjuangkan trips waiver.
Lalu juga berbicara mengenai vaksin dan alat kesehatan serta komponen kerja sama kesehatan lainnya, seperti apa diplomasi yang dilakukan Kemlu RI dengan negara lain dalam kerja sama ini?
Sebenarnya sejak awal ada dua hal yang kita lakukan. Jangka pendek pemenuhan kebutuhan sekarang. Tapi karena penduduk besar mau nggak mau kita harus berpikir ketahanan kesehatan di Indonesia. Nah ini dilakukan berlapis dengan ketahanan kesehatan nasional, kawasan, dan dunia. Namun ketahanan kesehatan dunia tidak akan tercapai bila ketahanan nasional negara-negara dunia tidak tercapai.
Oleh karena itu, Indonesia serius untuk menciptakan ketahanan kesehatan. Antara lain yang penting adalah mengenai ketahanan dalam memproduksi obat-obatan karena kita tahu bahwa obat-obatan menjadi bagian penting dan sebagian bahan baku obat masih impor. Dalam kondisi krisis ini usaha untuk mencukupi kebutuhan sangat luar biasa dan kita harus belajar dari pandemi ini salah satunya adalah melakukan lompatan besar dan serius agar kita dapat membangun ketahanan paling tidak di bidang farmasi soal bahan baku.
Ada kah langkah-langkah dari Kemenlu untuk mencoba menarik investasi dari luar negeri untuk membangun ketahanan kesehatan?
Jadi kita sudah mulai membahas isu ini bersamaan secara pararel saat kita sedang mencoba memenuhi kebutuhan saat ini. Saya masih ingat PT Bio Farma melakukan kerja sama dengan CEPI yang melaksanakan RnD vaksin sehingga in terms of capacity ada kerja sama multilateral.
Untuk investasi kita bicara dengan banyak pihak, dengan AS, Rusia, China, untuk membahas kerja sama produksi vaksin dan obat-obatan di Indonesia. Dengan China waktu State Counsellor Wang Yi datang ke Indonesia, kita membahas mengenai kemungkinan Indonesia jadi hub vaksin Asia Tenggara. Kalau melihat kapasitas kita, terlepas dari hanya vaksin Covid-19, tapi juga polio dan sebagainya, maka yang diproduksi Bio Farma merupakan yang terbesar di Asia Tenggara.
Tapi karena perkembangan dengan makin banyaknya penyakit dan ini bukanlah pandemi yang terakhir, maka kita berpikir perlu adanya penguatan kapasitas. Maka itu kita bicara juga dengan Rusia, termasuk kunjungan Menlu Rusia baru-baru ini dan ini kita sdh bahas bagaimana kita bisa kerja sama untuk produksi vaksin, demikian juga dengan produsen vaksin di AS. Jadi kita betul-betul menjajaki dengan beberapa pihak untuk membentuk ketahanan kesehatan.
Lalu kita juga memiliki beberapa kandidat vaksin seperti Vaksin Merah Putih yang mudah-mudahan hasilnya baik karena pengembangan vaksin ini tidak mudah. Tapi mudah-mudahan pengembangan vaksin ini hasilnya bagus sehingga ini jadi penopang ketahanan kesehatan Indonesia di masa depan.
