
Eksklusif: Menteri ESDM Buka Kondisi Migas RI Saat Pandemi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 telah berdampak siginifikan terhadap aktivitas perekonomian global, termasuk Indonesia. Menurunnya aktivitas warga, terutama karena adanya pembatasan mobilitas masyarakat di kala pandemi tak ayal berdampak pada penurunan permintaan energi nasional.
Lantas seberapa besar ini berdampak pada sektor energi nasional? Dan bagaimana strategi dan kebijakan pemerintah agar para pelaku industri di sektor energi dan minyak dan gas bumi (migas) bisa bertahan selama masa pandemi ini? Bagaimana rencana jangka pendek dan jangka panjang agar bangkit dari kondisi ini?
Melalui wawancara khusus dengan CNBC Indonesia pada Senin (28/09/2020), bertepatan dengan Hari Jadi Pertambangan dan Energi ke-75 RI, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memaparkan kondisi sektor energi terkini dan apa saja strategi pemerintah ke depannya.
Arifin mengakui pandemi ini berdampak signifikan terhadap konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG nasional. Dia mengatakan, bila konsumsi BBM di kondisi normal atau sebelum terjadinya pandemi bisa mencapai 6 juta barel per bulan, namun saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan di sejumlah daerah pada April, konsumsi BBM anjlok hingga 3,8 juta barel. Namun kini permintaan mulai meningkat menjadi sekitar 5,5 juta barel per bulan.
Tak hanya mengalami penurunan konsumsi, sektor energi menurutnya juga terdampak dari penurunan harga minyak mentah dunia. Dari sebelumnya mencapai US$ 70-80 per barel, namun kini jatuh separuhnya, bahkan sempat negatif.
Begitu pun dari sisi produksi minyak, karena kini Indonesia masih mengandalkan sumur-sumur migas tua, tak ayal membuat produksi minyak terus menurun.
Dengan kondisi terpuruk tersebut, upaya apa yang akan dilakukan Kementerian ESDM untuk membangkitkan sektor energi dan migas di Tanah Air? Berikut petikan wawancara CNBC Indonesia dengan Arifin Tasrif.
Seperti apa kondisi industri migas kita sampai hari ini khususnya di tengah sentimen yang banyak, ancaman resesi ekonomi, pandemi Covid-19?
Jadi memang konsumsi energi di Indonesia itu meningkat sebelum Covid, cukup konstan, rata-rata konsumsi BBM peningkatannya 2,7%, LPG rata-rata naik 5%, tapi saat Covid-19 terjadi, terindikasi bahwa sejak Januari 2020 ada tren penurunan terutama di sektor konsumsi BBM dari yang tadinya di atas 6 juta per bulan, menurun puncaknya di April 3,8 juta barel dan sekarang 5,5 juta barel. LPG juga demikian, tapi kegiatan-kegiatan yang membutuhkan LPG di rumah meningkat.
Di lain sisi, harga minyak dunia juga turun cukup signifikan yang tadinya US$ 70-80 per barel, sekarang jatuh setengahnya, dan pada puncak penurunannya dulu sempat juga negatif.
Lalu dari sisi suplai, crude oil juga turun, yang tadinya surplus beberapa dekade lalu, sekarang kita harus melakukan inovasi, di sektor gas juga demikian. Ini memang disebabkan karena sumur-sumur penghasil migas kita usianya sudah cukup tua. Di samping itu juga, kebijakan-kebijakan yang harus kita perbaiki demi meningkatkan minat investor masuk ke industri migas.
Naik turunnya permintaan migas seperti apa dalam perjalanannya, sehingga kita bisa mencari tahu titik imbang supply dan demand, khususnya migas? Idealnya bagaimana?
Kalau dilihat dari demand-nya, seharusnya permintaan itu meningkat terus karena pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, kebutuhan konsumsi dari konsumen itu meningkat. Tapi kalau dilihat dari sektor suplainya, kita tidak bisa andalkan terlalu banyak suplai dari dalam negeri kalau kita tidak melakukan langkah-langkah strategis ke depan. Kita harus melakukan antara lain meningkatkan eksplorasi yang masif karena kita masih ada wilayah yang masih berpotensi untuk menghasilkan, lalu kita juga harus meningkatkan kemampuan kilang-kilang kita, dan jangka panjang kita harus memikirkan langkah akuisisi lapangan-lapangan yang ada di luar negeri yang minyaknya bisa dibawa ke kita.
Kalau dilihat dari skala prioritas, mana saja yang akan didahulukan untuk peningkatan sisi suplai di Tanah Air?
Kalau di sisi migas, posisi Indonesia menurut kajian itu masih cukup pada posisi favorable yaitu kita di rangking 30, cuma ada catatan-catatan terkait dengan masalah fiskal yang harus kita perbaiki. Nah ini sudah kita lakukan komunikasi dan banyak peraturan baru yang memberikan kemudahan bagi investor. Kita selalu melakukan dialog-dialog dengan pelaku industri migas, masukan-masukan apa yang diperlukan untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Untuk jangka pendek, bagaimana kita bisa mengupayakan untuk mempertahankan tingkat produksi dari sumur-sumur yang ada karena trennya sekarang menurun, makanya kita harus menambah pengeboran lebih banyak lagi. Kemudian kita harus segera mengubah sumber-sumber dari resource menjadi produksi. Kita juga berupaya implementasikan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) sehingga kita bisa meningkatkan kembali dari potensi sumur-sumur yang sudah berproduksi, masih ada sisa-sisa di sumur itu yang memang perlu teknologi tertentu untuk bisa diangkat kembali.
Untuk jangka panjang, kita juga harus lakukan eksplorasi yang masif. Kita berada pada posisi sekarang ini, sedang merencanakan untuk mengkonsolidasikan data-data, sumber-sumber yang sudah ada dan bagaimana dengan penggunaan teknologi yang baru data-data ini bisa dipertajam sehingga bisa berikan gambaran yang lebih jelas bahwa sumber-sumber itu masih ada dan nanti akan memudahkan investor migas untuk bisa melaksanakan pekerjaan eksplorasi dan eksploitasi.
Jadi, itu lah langkah-langkah yang sedang kita siapkan.
Jika bicara eksplorasi, tentu saja butuh cost yang sangat besar, sumber pendanaan seperti apa? Apalagi global investor juga masih wait and see di tengah resesi global seperti ini?
Selama ini kita kenal, kita ketahui bahwa kontraktor-kontraktor kita, mereka yang membawa dana untuk melakukan investasi produksi migas kita. Dulu di dalam negeri kita tawarkan skema Cost Recovery yang pad intinya adalah memberikan jaminan kepada para kontraktor asing itu agar mereka memiliki jaminan dari sisi investasi. Beberapa waktu lalu kita juga dapat masukan konsep baru yaitu Gross Split untuk bisa diaplikasikan di sektor migas ini. Kita melakukan komunikasi. Dari hasil komunikasi kita dengan para pelaku industri migas ini, ternyata kalau untuk melaksanakan pekerjaan di lapangan existing, maka skema Gross Split menjadi favorit dari para pelaku karena mereka sudah mengetahui lebih dahulu dari potensi-potensi yang sudah ada. Tapi untuk sumur-sumur baru ternyata karena uncertainty-nya besar, tentu saja investor ini perlu adanya keamanan dari investasinya, sehingga mereka prefer ke Cost Recovery. Banyak skema yang ditawarkan negara-negara penghasil minyak, ini tentu saja ini jadi pelajaran buat kita. Sebagaimana diketahui, di sektor migas ini di negara-negara luar banyak ditemukan sumber-sumber baru yang kemudian kita harus bisa mengantisipasi daya saing kita, daya tarik investasi migas di dalam negeri agar kita tidak ditinggali oleh para pelaku investasi migas ini.
Perubahan skema kontrak migas, skema Gross Split khususnya, menimbulkan ketidakpastian dan appetite dari investor jadi terdisrupsi?
Kita sekarang akomodasi baik Gross Split dan Cost Recovery. Skema Gross Split lebih banyak yang ingin melaksanakan karena wilayah kerjanya sudah ada data-datanya, sehingga bisa memperhitungkan risiko-risiko yang akan timbul. Sedangkan untuk lapangan-lapangan baru, pengembang lebih suka skema Cost Recovery. Untuk itu, kita sudah buka dua skema ini. Mudah-mudahan ke depannya ini bisa menjadi daya tarik. Tapi kita ketahui pada saat pandemi Covid ini, memang demand minyak belum kembal pulih seperti biasa, memang butuh waktu agar demand ini kembali seperti biasa.
Kita sudah mempersiapkan lelang 12 wk migas baru, tapi kita tunda. Sementara masih ada waktu tersisa, kita pikirkan bagaimana kita mematangkan data-data yang ada supaya nanti wilayah baru yang ditawarkan sudah memiliki data yang representatif. Kita ingin memudahkan calon investor untuk menentukan keputusannya lebih cepat untuk Indonesia.
Dua opsi skema kontrak migas ini dibuka dan diberikan pada calon investor, baik Gross Split maupun Cost Recovery?
Ya betul.
Berbicara daya saing Indonesia dibandingkan negara-negara lain, kita berada di posisi mana?
Berdasarkan study, kita berada pada level 30. Masih berada pada level favorable. Tapi masih ada catatan dua aspek lagi yaitu terkait aspek fiskal dan faktor keberhasilan untuk bisa mendapatkan investasi. Di sektor fiskal, sudah banyak yang kita perbaiki, bekerjasama dengan kementerian keuangan, banyak kemudahan di sektor perpajakan, penyesuaian terhadap besaran hasil dari PSC Gross Split, insentif kegiatan hulu. Untuk di sektor keberhasilan untuk mendapatkan investasi, kita harus menyempurnakan data-data lapangan kita, contoh di Mesir, dulunya shortage gas, tapi dalam tempo singkat dari 2015-2017, ternyata dia bisa menarik investor dan dapatkan sumber lapangan yang besar. Pertama adalah data yang harus kita sempurnakan dan kerjasama dengan perusahaan pengelola data yang bisa backup dari sisi teknologi, kemudian ada kemudahan di mana di Mesir itu dia bisa melakukan penunjukan secara langsung karena memang banyak perusahaan-perusahaan migas, termasuk 'big five' di dunia.
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) jadi prioritas Pemerintahan Jokowi saat ini, sampai sejauh mana kementerian Anda turut berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional di Tanah Air?
Kita sudah melakukan stimulus listrik terutama keringanan di tagihan listrik untuk rumah tangga, bisnis, industri, sosial dan layanan khusus itu mencakup kurang lebih 33 juta pelanggan, jadi kurang lebih total alokasinya sampai Rp 15 triliun dan ini sudah berjalan dan akan berlangsung sampai Desember 2020. Secara bersamaan di tahun ini kita juga berhasil menyesuaikan harga gas untuk industri karena sebetulnya sudah dirancang sejak 2016, tapi kita baru bisa melaksanakannya di awal tahun, q2 2020 harga gas sudah turun jadi US$ 6 per MMBTU dan ini tentu saja sangat membantu para industri karena bisa tekan biaya produksi dari sektor energi, dan ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing kita untuk dapat membendung produk-produk importasi, dan malah industri kita akan ekspor. Tapi sekali lagi, masalahnya kita sekarang lagi mengalami hal yang sangat kritis yakni Covid-19, sehingga ini kita butuh waktu untuk bisa realisasikan. Tapi saya rasa komitmen para pelaku industri, mereka semangat untuk tingkatkan produksi dan ekspor, bisa menyerap banyak tenaga kerja. Ini peran energi dalam pemulihan ekonomi nasional.
Tekanan sepertinya masih banyak dan situasi belum membaik dalam waktu dekat, stimulus-stimulus yang Anda sebutkan tadi dari sisi time frame, masih kah akan bisa diperpanjang?
Jadi, kalau pandemi Covid-19 ini berkepanjangan, pemerintah tidak menutup mata dan tidak akan membiarkan masyarakatnya yang terkena langsung dari sisi pendapatan mereka, ini nanti akan dibahas. Kebijakan ini akan menjadi prioritas pemerintah untuk bisa respons pada waktu mendatang. Kita harapkan pandemi ini bisa segera teratasi dan vaksin bisa segera ditemukan, sehingga kita bisa kembali seperti biasa.
Outlook migas pada akhir 2020 dan 2021?
Memang tren kita menurun karena mengandalkan sumur-sumur yang sudah ada, di samping juga demand akibat Covid-19 yang mengakibatkan produktivitas sumber-sumber produksi kita juga harus menyesuaikan. Tapi kita sudah lakukan effort yang cukup kuat bahwa pada 2021 kita tetapkan lifting migas sekitar 1,7 juta barel setara minyak per hari (boepd), terdiri dari minyak sekitar 700 ribu bph dan gas 1 juta boepd.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masukan Menteri Energi Era Soeharto untuk Industri Migas RI